Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
Ibarat
tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari
jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur
tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke
jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk
diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan
kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena
perguruan tinggi secara “medis” akan mati.
Sayangnya,
dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana
rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi
dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir,
sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap
tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran
yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak
ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.
Tulisan
ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi
intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca
didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan,
maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah
seluruh elemen perguruan tinggi.
Perpustakaan dan Dunia Ilmiah
Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari
institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan
sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan
pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari
kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.
Sudut
pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan
perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang
menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon
sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang
berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya
pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada
sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat,
biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi
perguruan tinggi.
Pikiran serupa juga dimiliki oleh
para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan
bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan
yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat
perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke
soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis
sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut
pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai
tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar
pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.
Peningkatan
profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal
yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap
antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika
ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.
Ilmu Pengetahuan dan Buku
Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan
(teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef,
1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.
Pengertian
mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa
minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang
umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan
bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah
seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia
berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas
menekuri buku-buku daras.
Tetapi, sebagaimana juga
diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium
atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan
merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada
proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah
aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu
pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses
untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di
laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi,
maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada
ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori,
memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya
segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.
Kembali
ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan
ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala
pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian
dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk
menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para
ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan
ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana
pengetahuan diabadikan.
Jika kegiatan ilmiah tidak bisa
dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung
jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat
baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung
segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam
radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut
ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.
Integritas Kesarjanaan
Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual
dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial
perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang
lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara
peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.
Setelah
memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat
baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!
Barangkali
beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi
pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa
hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah
buku yang dipinjam.
Kinerja perpustakaan sejauh ini
memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat
kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang
dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena
terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola
perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi
menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di
lapangan.
Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif
penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak
dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat
baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas
di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.
Jika
dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi
baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca
skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di
perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca.
Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para
mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian
besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari
skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin
membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu
sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan
membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan
majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik
aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun
memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih
celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.
Kegiatan
membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita
sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas,
mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa
disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan
ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas
tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.
Buku
teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti
sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau
bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang
keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung
dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para
penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu
persoalan secara lebih kompleks dan utuh.
Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook
ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi
merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat
perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi
pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata
dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.
perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata
Tanpa
etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas
akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi,
yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan
tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah
universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa
sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.
Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia
yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi
seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan
dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat
terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga
diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki
keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari
masyarakatnya.
Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal
yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik
memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di
perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos
intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas
kesarjanaan patut dipersoalkan.
Aparatus akademik bukan
hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana
dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen
intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan
dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian
maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas
ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada
sekarang.
Menegakkan Etos Intelektual
Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam
keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang
telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan
rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung
jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian,
melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.
intelektual
bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep
“buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan.
Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya
Ketatnya
kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya
etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk
menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya.
Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk
menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman
berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik
tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku
mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan
disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar
pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk
menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas
ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih
berwibawa karena lebih kaya wacana.
Hal penting yang
kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan
teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk
penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk
di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di
sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan
mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.
Sebelumnya,
perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial
tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas
menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan
latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos.
Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani,
militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan
intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama.
Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan
datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah
menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang
memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut
teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas,
koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara
berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling
berhubungan.
Kelompok Panel Penimbang Buku
Kelemahan
sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada
hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi
sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan.
Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka
yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus)
masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak
diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya
bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi
bahan pustaka.
Pengadaan buku selama ini sangat minim
melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan
mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan
buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat
partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.
Pertama,
sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya,
meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot
kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan
sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.
Keterlibatan
aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli
barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting
yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup
untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi
intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan
keluar lain yang lebih kreatif.
Sebuah jalan yang bisa
dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku”
(KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur
yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola
perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan
dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas
yang bersangkutan.
Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper,
wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti
koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter
lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya
pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi
keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari
elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri
dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli
perpustakaan.
Anggota KPPB harus bisa mengemukakan
argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang
diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan
yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera
dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB
diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih
dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya
berbobot dan variatif.
Epilog
Perpustakaan
memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung
jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga
ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi
fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di
perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia
layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah
simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan
tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan
menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang
nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.
Karanggayam, 8 September 2006
Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Bang Bens
“Hanya
satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu
betawi yang nyaris mati, itu jasanya.” Kalimat itu keluar dari mulut
Mus Mualim, musisi jazz terkemuka, yang juga suami dari Titiek Puspa,
artis kawakan tiga zaman. Mus melontarkan kalimat itu ketika Benyamin
Sueb, yang biasa disingkat Benyamin S. (baca: ‘Benyamin Es’), atau biasa
dipanggil Bang Ben, baru saja merilis film barunya yang laris manis dan
sekaligus memanen pujian, Si Doel Anak Modern (1976). Dalam
film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja itu, pada 1977 Benyamin
mendapatkan Piala Citra keduanya. Sebelumnya, pada 1973, dalam karirnya
sebagai aktor yang masih terbilang seumur jagung, Ben mendapatkan Piala
Citra pertamanya, juga sebagai aktor terbaik, melalui film Intan Berduri (1972), yang disutradarai Turino Djunaidi.
Pada
mulanya banyak orang mengira Benyamin adalah badut yang sekadar
menjajakan kekonyolan. Ya, ia baru bermain seni peran pada 1970, melalui
film Benyamin Biang Kerok, yang langsung membuat namanya
melejit. Majalah TEMPO pada 1977 menulis bahwa sebelum bermain film
Benyamin lebih dikenal sebagai “penyanyi dan pelawak kampung”. Namanya
identik dengan gambang kromong, kesenian khas Betawi. Namun, meski film
pertamanya langsung membuatnya terkenal, film itu dianggap sebagai
peneguhan citra konyol sosok Benyamin. Oleh karenanya, ketika ia
diganjar Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1973, banyak orang
menjadi terhenyak. Si Badut ini bisa berakting bagus juga!
Membaca
kembali riwayat Benyamin memang gampang menerbitkan tawa dan decak.
Ketika kecil ia bercita-cita ingin menjadi pilot, namun nasib membawanya
menjadi kondektur PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ia melayani
rute Banteng-Jalan Minangkabau-Manggarai. Tapi ia tak puas dengan
profesinya itu. Di balik tampang konyolnya, Benyamin pernah mengecap
status sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sawerigading
hingga tingkat dua. Ketika bekerja di PPD, ia menggunakan ijazah
SMA-nya, yang diperoleh dari perguruan Taman Siswa. Padahal, untuk
pekerjaannya itu, yang dibutuhkan sebenarnya hanya lulusan sekolah
dasar. Jadi, ia tidak puas ijazah SMA-nya hanya digunakan untuk
pekerjaan selevel lulusan SD. Setelah keluar dari PPD, selama tujuh
tahun berikutnya ia bekerja di perusahaan negara, PN Asbes. Ketika
perusahaannya akan melakukan rasionalisasi, Ben memilih cabut. Ia ingin
mengabdikan hidupnya untuk musik. Dan sejarah hidupnya membuktikan itu.
Meski
terlihat konyol, Ben sebenarnya sangat penuh perhitungan. Dan ia sama
sekali bukan badut sebagaimana dikira banyak orang. Dari cara ia
mengutarakan riwayat hidupnya, yang dimuat berbagai media hingga akhir
hayatnya, Ben bukan hanya seorang yang memiliki spontanitas yang
mengagumkan, terutama dalam hal melahirkan lelucon, tapi juga memiliki
wawasan hidup yang tegas dan jernih. Di balik tampang bloonnya, Ben
memang adalah pembaca buku yang serius dan penyuka filsafat. Ia juga
gemar membaca biografi tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bismarck dan
Napoleon.
Suatu ketika Benyamin mengaku bahwa rahasia
suksesnya sebagai musisi adalah karena ia menggunakan strategi Napoleon
ketika menciptakan lagu. Dalam strategi perang, demikian Ben, jika kita
punya gagasan jangan pertama-tama ditanyakan kepada jenderal, karena
pasti akan “dihabisi”, tapi bertanyalah kepada kopral lebih dulu. Jadi,
ketika ia menulis lagu, untuk mengukur apakah lagu itu bagus atau tidak
Ben tidak minta komentar kepada musisi atau kritikus, tapi bertanya
kepada anaknya. Jika anaknya senang dengan lagunya, maka menurut Ben
berarti lagunya bisa dipahami dan diterima orang lain.
Tampang dan peran yang dilakoninya boleh jadi kebanyakan memerankan tokoh-tokoh bloon, tapi isi kepala Ben tidaklah demikian.
Pembacaan
sosialnya yang tajam pula yang telah membuat lagu-lagunya terus
dikenangkan hingga kini, dan membuat namanya terpacak sebagai seniman
Betawi kontemporer terbesar hingga hari ini. Ketika musik
“ngak-ngik-ngok” dilarang bersamaan dengan masa konfrontasi dengan
Malaysia pada awal 1960-an, Ben melihat bahwa lagu-lagu Minang tiba-tiba
saja mengorbit dan mendapat tempat. Sebagai orang Betawi ia merasa
tertantang: kenapa lagu-lagu Betawi tidak bisa mengambil tempat juga?!
Maka
dimulailah petualangannya menggali lagu-lagu Betawi. Belakangan, ketika
hasil kerjanya diapresiasi banyak orang, dan reputasi kesenimanannya
terus menerbitkan hormat, dengan rendah hati Ben hanya berujar bahwa
dirinya sebenarnya tidak tahu apakah ikhtiarnya itu memang telah
membangkitkan kembali atau justeru sebenarnya malah telah mengacaukan kebudayaan Betawi. Sungguh, jawaban rendah hati yang kocak.
Ketika
ketenaran berhasil direngkuhnya, Ben tidak terjebak menjadi robot
industri. Dia menjadi seniman dalam arti yang sebenar-benarnya, tak
sekadar menjadi selebritas yang mengandalkan popularitas. Selepas
mencipta lagu, menyanyi dan menjadi aktor, Ben belajar menulis skenario
dan juga sutradara. Ia belajar dari Sjuman Djaja dan Turino Djunaidi,
dua orang penulis dan sutradara yang dihormatinya. Usaha yang
dirintisnya di luar karirnya juga masih berada dalam lingkungan dunia
seni dan budaya. Bens Radio yang didirikannya masih mengudara hingga
kini. Dia mendirikan PT Jiung Film dan PT Benyamin Bina Bersaudara, yang
memproduksi film dan sinetron-sinetron Betawi. Pendek kata, sedari
awal, karirnya memang menjadi seorang seniman. Menjadi selebritas adalah
konsekuensi dari kesenimanannya.
Membaca lagi riwayat
Benyamin pada hari ini bisa membawa kita pada semacam oase. Sulit untuk
dimungkiri jika dunia seni peran, musik, dan pentas komedi di tanah air
saat ini semakin didominasi para badut, yang sekadar menampilkan
kekonyolan dan tak menawarkan konsep apapun.
Ya, ketika
dunia hiburan hanya tinggal merayakan kegemparan tanpa pemikiran, kita
memang sangat membutuhkan orang-orang seperti Benyamin, yang ketika
berpulang pada 1995 silam, banyak orang tak segan menyebutnya sebagai
simbol “Renaisans Betawi”.
Dunia hiburan kita memang sedang sangat membutuhkan “pencerahan”. Bukan begitu, Pemirsa?!
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Tiga tahun lalu, ketika menulis buku “Pemikiran Agraria Bulaksumur: Sebuah Tinjauan Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto”
(Yogyakarta: STPN Press, 2010), yang ditulis bersama dua orang kawan,
dalam kata pengantar saya menulis ada empat penjelasan kenapa kajian
atas pemikiran para pemikir Indonesia sangat jarang dilakukan.
Pertama,
tentu saja karena hanya sedikit sekali sarjana Indonesia yang mencoba
membangun pemikirannya sendiri. Kebanyakan sarjana kita, termasuk mereka
yang menyandang gelar guru besar, lebih suka menjadi apa yang disebut
Arief Budiman sebagai “intelektual pengecer”. Ini menyebabkan sumber
pemikiran baru yang bisa digali menjadi langka.
Kedua, tidak adanya apa yang disebut peer-group
dalam dunia kesarjanaan di Indonesia. Hal ini telah menyebabkan
absennya kebiasaan untuk saling mengkaji dan mengomentari pemikiran para
kolega di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun
(termasuk juga yang “tidak-penting”) yang pernah dihasilkan pada
akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan
selama penggagasnya masih hidup. Tapi yang lebih fatal dari tidak adanya
peer-group pada sebuah lingkungan akademik adalah pada
akhirnya tak ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan
bersangkutan.
Ketiga, buruknya perpustakaan dan lembaga arsip
di Indonesia. Studi pemikiran tidak mungkin bisa dilakukan tanpa
ditopang oleh lembaga perpustakaan dan kearsipan yang bekerja dengan
baik, terutama di lingkungan perguruan tinggi atau di pusat-pusat
penelitian. Kesulitan teknis yang utama dalam melakukan studi pemikiran
adalah langka dan sulitnya menelusuri arsip-arsip tulisan dari para
sarjana yang pemikirannya hendak dijadikan bahan studi. Hal ini kian
diperburuk oleh lemahnya tradisi mengarsip dan mendokumentasikan di
kalangan sarjana kita sendiri. Ini, misalnya, bisa dilihat dari hanya
sedikit saja sarjana di Indonesia yang memiliki perpustakaan pribadi
yang layak.
Dan keempat, tradisi riset di Indonesia masih didominasi oleh riset berjenis terapan (applied research),
dan itu berlaku bagi hampir seluruh bidang keilmuan. Dalam riset
terapan, para peneliti lebih banyak disibukan oleh pertanyaan mengenai relevansi sosial,
terutama dalam kaitannya dengan kegunaan sebuah kerangka teori/keilmuan
di wilayah yang bersifat praksis. Kajian pemikiran, karena terutama
bersifat teoritis dan konseptual, bukan terapan, dengan sendirinya tidak menjadi bidang penelitian ataupun metode yang populer.
Penjelasan pertama dan kedua, belakangan saya lihat diikat oleh sebuah simpul yang sama,
sehingga keduanya saling berkaitan. Simpul yang sama itu adalah
kenyataan bahwa banyak sarjana kita mempelajari segala ide dan gagasan
hanya dari buku teks. Ya, buku teks!
Karena mereka
terbiasa berkenalan dengan ide-ide dari buku teks, tidak mengikuti
proses formatifnya, maka apresisasi mereka sangat lemah ketika
bersinggungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan yang baru memulai
risalahnya, termasuk ketika bersinggungan dengan ikhtiar-ikhtiar ke arah
itu.
Gagasan sebagaimana yang ditulis dalam buku teks adalah gagasan yang sudah di-“konstitusi”-kan oleh interpreter-middleman atau interpreter-compiler.
Pada tahap ini, gagasan sebenarnya sudah tak lagi menjadi milik
pencetusnya, karena sudah dibentuk sedemikian rupa seturut kebutuhan
pedagogik. Seandainya gagasan adalah sejenis makanan, maka buku-buku
teks telah menjajakan gagasan-gagasan tadi sebagaimana halnya sebuah
warung buffet. Kita ketemu hidangan yang siap santap, mulai dari sayur
asem, ayam kecap, udang goreng tepung, semur jengkol, hingga bakwan
jagung.
Karena
terbiasa berhadapan dengan makanan yang sudah jadi inilah maka banyak
sarjana kita bingung ketika harus berhadapan dengan tepung terigu, ayam
yang masih di kandang, udang yang belum di kupas, jengkol yang belum
dikukus, jagung yang belum dipipil, dan rempah-rempah serta berbagai
bumbu yang berjibun di dapur. Ketika disodori perbincangan mengenai
kualitas daging ayam mereka bingung, sama bingungnya dengan bagaimana
menentukan sebuah daging udang adalah segar atau tidak. Pendek kata,
sebagai penikmat kuliner mereka sangat ahli, dan bahkan bisa sangat
kritis, namun celakanya mereka sama sekali tak memahami pekerjaan chef
dan para koki yang bekerja di dapur. Banyak dari mereka tidak paham,
bahwa dari sekerat jahe yang sama, bisa dibuat wedang jahe, wedang
bandrek, wedang uwuh, atau wedang secang, tergantung selera dan bahan
imbuhannya.
Dengan iklim kesarjanaan yang demikian,
saya tak bisa membayangkan, sudah berapa banyak pemikiran dari para
pemikir kita yang punah begitu saja digilas waktu, karena tidak adanya
apresiasi dan minimnya kajian yang pernah dilakukan. Dan entah sudah
berapa banyak pula tunas pemikiran yang mati kekeringan, hanya karena
tunas itu dituntut memenuhi fungsi sebagaimana sebuah pohon rimbun yang
sudah berurat-akar, sebuah tuntutan yang sepenuhnya ahistoris dan abai
terhadap fase perkembangan tunas tadi.
Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah nasihat Joseph Stiglitz, “Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government.”
Dan sejak zaman Adam Smith, buku teks, seperti halnya taksonomi
keilmuan di perguruan tinggi, memang lebih banyak dibuat untuk
memudahkan dosen daripada tujuan selainnya. Makanya, tak banyak pemikir
yang menulis buku teks, dan juga sebaliknya.
Karena
itu, saya selalu menyukai penggalan pidato Soekarno yang diucapkan di
hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia pada 17 September 1965 ini:
“... for the execution of this, in the execution of this, kita sama sekali harus berpikir baru dan tidak bisa menggendoli atau nggenuki atau berdiri di atas apa-apa jang kita peroleh dari textbook-textbook ekonomi jang terkenal. Entah textbook, kata Pak Bandrio, tadi dari Harvard-kah, atau textbook dari Columbia-kah, entah textbook dari Leiden-kah, entah textbook dari manapun. Bahkan tidak dari texbook, kalau ada textbook itu, tidak dari textbook Sovjet-Uni, tidak dari textbook RRT, tidak dari textbook Korea-Utara, tidak dari textbook any socialist country in this world. Sebab apa? Sebab sosialisme kita sebagai sudah dibenarkan Ampera, sebagai sudah dibenarkan MPRS, adalah Sosialisme Indonesia, bukan sosialisme a la Sovjet, bukan sosialisme a la RRT, bukan sosialisme a la Korea, bukan sosialisme a la Polandia, bukan sosialisme a la Tjekoslowakia, bukan sosialisme a la Hongaria, ...”
Soekarno tahu betul risiko terjebak dalam pemikiran yang textbook minded,
dan konsekuensi ahistoris yang menyertainya. Pada seminar-seminar di
kampus, pada makalah-makalah yang ditulis di perguruan tinggi, di
halaman-halaman jurnal yang kita terbitkan, dan dalam talkshow
di layar kaca televisi kita, kita dengan mudah bisa menyaksikan bahwa
“sarjana kuliner” hanya menghasilkan “obesitas intelektual” saja.
Terlalu banyak teori dan terlalu banyak data yang mereka sajikan, namun
sedikit saja yang relevan dengan persoalan-persoalan yang ingin kita
pecahkan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan meneruskan dan menghidupi tradisi kesarjanaan yang demikian?
Oleh Tarli Nugroho
Mantan penonton film
Kemarin petang, Minggu, 5 Januari 2014, ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pisang coklat, saya menyimak acara "Tea Time with Desi Anwar",
yang kali ini berkunjung ke rumah dan mewawancarai Hanung Bramantyo.
Saya telah membaca ulasan-ulasan kekecewaan mereka yang sudah menonton
film "Soekarno" yang disutradarai Hanung, dan hanya bisa
menebak-nebak, karena belum sempat menonton film tersebut. Makanya,
petang kemarin, saya menyimak betul perbincangan dengan sutradara asal
Yogya tersebut, untuk menambah gambaran agak lebih utuh mengenai
ramai-ramai yang mengekor film tersebut.
Tentu saja,
bagian yang paling saya tunggu adalah tanggapannya atas kritik yang
diberikan beberapa pengamat dan sejumlah pihak atas film laris tersebut.
Saya menduga Hanung akan bertahan pada interpretasinya mengenai
Soekarno. Tak ada yang salah dan aneh dengan hal itu. Yang penting
adalah apa argumennya atas interpretasinya yang banyak digugat orang
itu. Dan argumennya betul-betul membuat saya terkejut. Dengan yakin
Hanung mengatakan bahwa interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek
karena interpretasi itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang
dikemukakan oleh buku Lambert J. Giebels. Bagi saya, pengakuan itu
menjelaskan segalanya, termasuk kritik Salim Said bahwa film tentang
Soekarno itu secara ironis malah justru lebih mengangkat figur Sjahrir
daripada Soekarno sendiri.
Giebels, yang menulis buku "Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie 1900-1950"
(1999), adalah politikus Partai Buruh (Partij van de Arbeid) Belanda.
Dalam kurun 1970-an hingga 1980-an, ia pernah tinggal di Indonesia
sebagai konsultan di Departemen Pekerjaan Umum, yang juga digunakannya
untuk melakukan riset mengenai Soekarno. Kalau kita membaca buku
biografi Soekarno yang disusunnya, yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia tiga belas tahun silam, buku ini memang berhasil
melakukan 'zoom in' terhadap kehidupan Si Bung, yang membuatnya
seolah hadir sangat dekat dengan pembaca. Tetapi Giebels, sebagaimana
halnya Antonie C.A. Dake, dan Victor Miroslav Fic, sejak lama dianggap
sebagai para penulis yang tendensius. Joesoef Isak bahkan dengan keras
menyebut karya ketiganya mengenai Soekarno sebagai "klinkklare onzin", atau "semurni-murninya omong kosong".
Apa yang disebut sebagai "fakta" dan "informasi" dalam karya-karya
mereka, menurut Isak, seratus persen adalah produk abstraksi benak
mereka sendiri, namun abstraksi itu diperlakukan sebagai kenyataan yang
serba benar.
Mungkin ada yang masih ingat tulisan Rosihan Anwar, "Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta", yang dimuat di Harian Kompas,
15 September 1980. Dalam tulisan yang memancing polemik hingga
berbulan-bulan hingga kuartal pertama 1981 itu, Rosihan menggoreng
sebuah isu yang terselip dalam buku John Ingleson, "Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934"
(1979), ihwal surat permohonan ampun Soekarno kepada pemerintahan
kolonial sebelum dibuang ke Ende. Sumber yang dirujuk Ingleson adalah
salinan surat-surat Soekarno di arsip pemerintah kolonial Belanda.
Karena itu bukan surat-surat asli, banyak yang meragukan isinya.
Beberapa tokoh dan pelaku sejarah menyebut hal itu sebagai rekayasa
polisi rahasia pemerintah kolonial. Mohammad Roem, yang menyebut dirinya
banyak berseberangan dengan Soekarno, dan bahkan pernah dipenjarakan
Soekarno, tak urung ikut mempermasalahkan tulisan Rosihan itu dan
mempertanyakan maksud di baliknya. Roem, setelah mengemukakan sejumlah
data dan kesaksian, yang intinya membantah cerita yang diangkat Ingleson
dan kemudian digoreng Rosihan, bahkan harus menulis lebih jauh,
termasuk mempertanyakan kenapa dalam tulisan-tulisannya Rosihan selalu
menulis Hatta lebih dulu daripada Soekarno, sesuatu yang ganjil bagi
penulisan sejarah Indonesia, yang lazimnya mengenal"Soekarno-Hatta"
sebagai sebuah frasa daripada sebaliknya. Menarik untuk memperhatikan,
karangan-karangan Rosihan, bersama dengan terjemahan karya Dake dan Fic,
yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, pada saat ini
memang merupakan karya-karya tentang 1965 dan mengenai Soekarno yang
paling mudah ditemui di toko buku dibanding buku-buku lainnya. Buku
lainnya yang masih bisa dijumpai adalah karangan Bernard Dahm dan
Onghokham. Dari kesemuanya, hanya karangan Ong yang bisa disebut
“memberikan simpati” kepada Soekarno.
Ingleson, dalam sebuah konfirmasi yang diberikannya di Majalah Tempo,
Maret 1981, mengklaim bahwa Hatta juga mempercayai kebenaran
surat-surat Soekarno itu dalam sebuah perbincangan dengannya. Anehnya,
Iding Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta, dengan tegas mengatakan
bahwa Ingleson tidak pernah mewawancarai Hatta. Sejak 1964, menurut
Wangsa, Bung Hatta tidak lagi memberikan wawancara kepada wartawan dan
sarjana asing. Dalam buku agendanya, dan juga buku agenda kegiatan
Hatta, dia tidak menemukan catatan bahwa Bung Hatta pernah diwawancarai
Ingleson.
Ihwal
surat permintaan ampun Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda ini
menjadi salah satu tikungan dramatis dalam biografi yang ditulis
Giebels. Dan persis pada bagian ini, dengan nada yang akan membuat kita
merasa ganjil, dia kemudian mengetengahkan sosok Hatta dan Sjahrir, yang
disebutnya sebagai tokoh yang lebih radikal daripada Soekarno. Mereka
lebih berbahaya daripada Soekarno, demikian Giebels, karena keduanya
merupakan didikan gerakan revolusioner Eropa!
Saya
yakin Hanung sangat terpesona ketika membaca bagian ini pada buku
Giebels, dan menganggapnya sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya.
Saya bisa mengira demikian berdasarkan rekonstruksi dari sejumlah
catatan yang ditulis oleh beberapa kawan yang sudah menonton film
Soekarno. Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding
atas narasi yang disusun Giebels. Dan saya juga ragu dia memeriksa
bagaimana posisi karya Giebels dalam hiruk-pikuk penulisan sejarah
mengenai diri Soekarno, sebelum memutuskannya menjadi rujukan penting
yang akurat bagi pembuatan filmnya. Dengan langsung merujuk kepada
Giebels sebagai sanggahan atas kritik yang ditujukan kepada filmnya,
sebagaimana yang disampaikannya dalam acara bincang-bincang dengan Desi
Anwar petang kemarin, jelas terlihat bahwa Hanung memang alpa melakukan
penilaian atas sumber yang dirujuknya. Dan, saya kira, ini adalah
penjelasan masuk akal atas semua kritik yang telah dituliskan mengenai
film Soekarno yang dibuatnya.
Meski berhasil menggali
sisi-sisi kemanusiaan Soekarno, buku Giebels memang harus dianggap
tendensius. Selain mengangkat soal surat permintaan ampun yang
kontroversial itu, Giebels juga menulis bahwa Soekarno membuat
kesepakatan dengan seorang agen rahasia Belanda pada masa revolusi.
Intinya, Soekarno setuju Belanda tetap menjajah Indonesia, melalui
pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, asalkan Soekarno
ditunjuk menjadi perdana menteri.
Selain
tendensius, alur narasi yang disusunnya kadang memang menggelikan, yang
tidak jarang malah melemahkan konstruksi yang sebetulnya ingin
ditonjolkannya. Dalam uraian mengenai surat-surat Soekarno, misalnya,
yang dia gunakan untuk mempertentangkan dan mengkontraskan pribadi
Soekarno di satu sisi dengan Hatta-Sjahrir di sisi yang lain, narasinya
juga menggelikan. Setelah ia menyebut bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih
radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno, yang telah dibuang ke
Ende, maka pemerintah kolonial juga kemudian menangkap Hatta dan
Sjahrir. Sjahrir ditangkap ketika ia sedang menunggu kapal yang akan
membawanya berlayar ke Amsterdam untuk menjumpai kekasihnya, Maria
Duchateau! Dengan segala hormat kepada Sjahrir, menurut saya konstruksi
"lebih radikal daripada Soekarno" dan cerita penangkapan yang dibuat
Giebels itu malah membuat Bung Kecil jadi terlihat menggelikan.
Hal
menggelikan lainnya dari narasi Giebels, terlepas dari surat permintaan
ampunnya yang hingga kini masih misterius, Soekarno diasingkan karena
aktivitas politiknya semakin dianggap berbahaya oleh pemerintah
kolonial. Giebels mengakui bahwa analisis sosial yang dilakukan Soekarno
atas kondisi dan watak bangasanya, lebih realistis daripada yang
dilakukan oleh Hatta dan Sjahrir. Itu yang membuatnya lebih bisa
menggerakan orang dan mempengaruhi massa. Tentunya, di luar kemampuan
orasinya yang memang sangat memikat. Lalu, kenapa Giebels memaksa untuk
memberikan penilaian bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan
lebih berbahaya daripada Soekarno?! Sebab, bukankah pada uraian yang
sama, Giebels juga mengemukakan bahwa alasan pembuangan Hatta dan
Sjahrir sebenarnya lebih bersifat preventif, dan itu berbeda dengan
alasan yang dibuat pemerintah kolonial atas pembuangan Soekarno. Giebels
menulis bahwa "pengasingan sebagai tindakan preventif [sebenarnya]
belum ada presedennya". Nah! Lantas, tanpa maksud mengecilkan peran
Hatta dan Sjahrir pada masa itu, dimana sebenarnya konstruksi "radikal" dan "revolusioner" yang dimaksud Giebels dalam uraiannya itu? Ia terlihat hanya bermain-main dengan soal labeling saja dan tidak cukup bertanggung jawab memaparkannya dalam sebuah uraian yang konsisten.
Alhasil,
alih-alih berhasil membuat seorang Soekarno jadi terlihat menggelikan,
jika itu memang maksudnya, dengan uraiannya itu Giebels sebenarnya telah
membuat trio Soekarno, Hatta dan Sjahrir sekaligus jadi sama
menggelikannya. Atas hal-hal menggelikan semacam ini, orang Yogya pasti
akan mengatakan: “edan po piye?” Atau, kalau orang Betawi, mereka pasti akan berujar: “gile nggak tuh?” Dan, saya paham kenapa dulu Joesoef Isak sampai melempar kata-kata pedas atas karya Giebels ini.
Ya,
seperti halnya minum obat, maka membaca buku pun harus memperhatikan
petunjuk dan aturan pakai, selain sebaiknya harus dengan resep dokter.
Dan Hanung sepertinya telah meluputkan keduanya.
Yogyakarta, 6 Januari 2014
Catatan Tambahan:
Saya
mempertahankan mengeja nama Bung Karno dengan "Soekarno", dan bukannya
"Sukarno", karena ejaan itu adalah ejaan nama orang yang harus
dipertahankan sesuai dengan aselinya. Meski ejaan bahasa Indonesia
telah tiga kali disempurnakan, namun nama orang sebaiknya dipertahankan
seperti bentuk awalnya, agar orang jadi tidak kehilangan konteks
sejarah yang melahirkan ejaan itu. Makanya, meskipun Bung Karno
menghendaki namanya dieja sebagai "Sukarno", namun saya sendiri
bertahan pada ejaan "Soekarno". Bukankah Bung Karno sendiri
mempertahankan tanda tangannya yang menggunakan ejaan "Soekarno" dengan
alasan sebagai artefak maka tanda tangan tidak bisa diubah? Sebagai
pengamat, kita mestinya mendudukan ejaan "Soekarno" juga sebagai artefak
bahasa yang harus dipertahankan, dan bukannya manut kepada kehendak si
pemilik nama dalam menuliskan ejaannya. Posisi mempertahankan dan
menjaga artefak bahasa, menurut saya, jauh lebih penting daripada
menuruti kehendak Bung Karno. Makanya saya suka heran dengan orang yang
gampang menyalahkan ejaan "Soekarno". Menurut saya, mereka tidak
memiliki sensitifitas sebagai pencinta bahasa.
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
“Realitasnya
masyarakat kini menginginkan Jokowi.” Kalimat itu sering saya dengar
dalam banyak obrolan di kedai kopi, terutama pada jam-jam makan siang.
Jika kebetulan meluncur dari mulut orang yang dikenal, saya selalu
bertanya, “Apa buktinya kalau masyarakat menginginkan Jokowi?” Jawaban
yang disampaikan umumnya sudah bisa ditebak: “Survei-survei politik
selalu menempatkan namanya pada posisi pemuncak calon presiden.”
Di
luar konteks Jokowi, atau nama-nama lainnya, pernyataan dan jawaban
semacam itu selalu mengusik saya. Perkaranya sederhana, karena
pernyataan dan jawaban itu sebenarnya menggambarkan hubungan yang tidak
searah, sebagaimana diandaikan bahwa realitaslah yang telah memproduksi hasil survei. Benarkah begitu?! Sebab, dari pernyataan dan jawaban yang sama, terdapat juga kemungkinan bentuk hubungan lain, misalnya, hasil surveilah yang sebenarnya telah memproduksi realitas tadi. Atau, kemungkinan lainnya lagi, bahwa sebenarnya terdapat hubungan kausasi sirkuler (circular causation) antara keduanya, dimana realitas dan hasil survei politik sebenarnya bersifat saling mempengaruhi.
Sampai
di situ, saya selalu diingatkan pada satu hal yang kadang banyak
dilupakan, bahwa dalam bidang apapun, yang disebut sebagai fakta dan/atau data
dalam kenyataannya memang selalu tidak bisa berbicara sendiri. Sebab,
fakta dan data yang sama pada kenyataannya tak jarang bisa digunakan
untuk menyampaikan dua narasi yang berbeda, bahkan yang saling bertolak
belakang sekalipun. Oleh karenanya saya sering merasa geli jika ada
orang yang selalu menempatkan fakta atau data sebagai senjata pamungkas
dalam sebuah diskusi atau perdebatan, dengan andaian bahwa fakta atau
data itu mampu berbicara sendiri. Mereka pasti lupa faktor narasi ini,
dimana selain fakta dan data yang sama bisa digunakan untuk menyampaikan
dua narasi yang berbeda, mereka juga telah melupakan kenyataan bahwa
fakta dan data juga sebelumnya dilahirkan oleh sebuah proses naratif.
Jadi, obrolan ringan sebagaimana disebut di muka itu sepertinya memang
tidak boleh dianggap sederhana.
Jika Marx memperkenalkan distingsi M1 dan M2 dari rantai M-C-M (Money, Commodity, Money), dimana M1 adalah uang (money, M) yang digunakan oleh si kapitalis sebagai modal untuk memproduksi komoditas (commodity,
C), dimana selanjutnya komoditas itu akan dijual untuk menghasilkan
uang lagi (M2), maka narasi yang bisa merajut fakta, data, dan realita
juga sebenarnya berlapis-lapis.
Sederhananya begini.
Narasi pertama, sebut saja N1, adalah narasi yang telah melahirkan fakta
(F). Dari fakta (F) menjadi data (D), tak sebagaimana yang sering
dibayangkan, juga melibatkan proses transformasi naratif, karena secara
teoritis data merupakan fakta yang telah mengalami proses seleksi dan
penyusunan ulang sedemikian rupa Proses naratif perubahan F menjadi D
ini kita sebut saja N2. Jadi, jika data (D) itu kita narasikan kembali,
sebagaimana misalnya data-data survei politik dipresentasikan dalam
konferensi pers, maka narasi yang disampaikannya, kita sebut saja N3,
bisa jadi merupakan narasi yang tak lagi sama dan sebangun dengan N2
dan/atau N1.
Sampai di situ muncul pertanyaan: dari
rangkaian tadi, N1-F-N2-D-N3 itu, manakah yang sebenarnya bisa disebut
sebagai realitas itu, apakah N1, F, N2, D, ataukah N3?! Persis di sini,
relasi antara fakta, data, dan narasi dengan realitas tak lagi
sesederhana sebagaimana yang sering dibayangkan.
Film Chaos Theory
(2008), yang disutradarai oleh Marcos Siega, barangkali bisa jadi
ilustrasi yang mengena atas rantai abstraksi tadi. Frank Allen
(diperankan oleh Ryan Reynolds), seorang penceramah profesional dalam
bidang manajemen waktu, suatu kali mengalami hari yang buruk karena
datang terlambat ke sebuah seminar dimana dia harus berceramah soal
manajemen waktu. Cerita buruk belum berakhir, karena di hotel tempatnya
menginap, Frank dijebak untuk berselingkuh oleh seorang perempuan yang
menjadi peserta seminarnya. Beruntung ia bisa meloloskan diri dari
situasi yang tak dikehendaki itu. Namun, celakanya, persis ketika Frank
berhasil meloloskan dari hotel untuk pulang ke rumah, istrinya, Susan
Allen (diperankan Emily Mortimer), menelpon ke kamar hotelnya dan
diangkat oleh perempuan yang hendak memperdaya tadi. Kita sudah bisa
membayangkan persepsi yang muncul di benak Susan atas suaminya.
Cerita
terus memburuk karena dalam perjalanan pulang Frank terjebak pada
situasi dimana ia harus mengantar ke rumah sakit seorang perempuan yang
hendak melahirkan. Di tengah perasaan kalut, karena terlalu fokus pada
pekerjaannya, Frank tak memperhatikan bahwa ia telah memasukan data
pribadinya kepada formulir data pasien dari perempuan yang diantarnya.
Dan perawat di rumah sakit telah melakukan kesalahan karena telah
menganggap bahwa Frank adalah ayah dari bayi yang akan dilahirkan.
Sebelum Frank sampai ke rumahnya, perawat di rumah sakit telah menelpon
ke rumahnya, yang diangkat oleh Susan, dan mengabarkan kelahiran sang
bayi. Bisa dibayangkan, situasi menjadi kian rumit bagi Frank.
Bagi
Susan, fakta bahwa di kamar hotel suaminya ada seorang perempuan lain,
dan kini ditambah sebuah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa
suaminya baru saja memiliki anak dari seorang perempuan lain, dijadikan
data bahwa suaminya, Frank, telah berbohong kepadanya selama ini. Dan
itu sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk mengusir suaminya dari
rumah. Bagi kita, yang menonton film itu, kita tahu persis bahwa narasi
yang dialami Frank (N1) tidaklah sebagaimana narasi yang disimpulkan
oleh Susan (N3), meskipun Susan menarik kesimpulannya dari fakta dan
data yang sungguh-sungguh dialami suaminya.
Persis di
situlah kita perlu menyadari bahwa fakta dan data memang tidak bisa
berbicara atau menulis narasinya sendiri, karena setiap fakta dan data
mengada dalam struktur naratif yang telah menciptakannya. Tanpa
pertama-tama memperhatikan struktur naratif yang telah melahirkan fakta
dan data itu, penarasian ulang dari fakta dan data tadi bisa jauh
panggang dari api.
Oleh karenanya, setiap kali
berhadapan dengan survei-survei politik, saya pertama-tama selalu
teringat pada nasib buruk yang dialami Frank.
*) Tulisan ini dimuat di http://www.the-geotimes.com/component/k2/narasi-dan-realitas-politik.html.
Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film.
Saya pertama kali membaca “One Hundred Years of Solitude”
dengan banyak mengernyitkan dahi. Ini novel yang mengguncang,
bertenaga, dan rumit. Kerumitan yang bikin frustrasi adalah untuk
membedakan nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang
mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda
melewati seratus lima puluh halaman pertama. Coba bayangkan, José
Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan
Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José.
José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio
Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José
Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak,
yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan,
semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional
kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah
keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul
secara bersamaan. Itulah karya Gabriel García Márquez yang pertama saya
baca. Dan itu adalah novel yang sangat memikat.
Sebelum
membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah
mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar
Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan
nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan
sedikit meminjam Tagore, menulis:
“Hidup
kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang
Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih
daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada
kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang
indah dan bernilai.”
Saya adalah
anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki
kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu
itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.
Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”,
sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena
narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali
diprovokasi Ki Hadjar tadi: “Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel
Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore
yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama
kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah
batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh
batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur
zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu
belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus
langsung menunjuknya.” Bagi saya, waktu itu, cara Marquez membuka
halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar
merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan
saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.
Saya
tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului
perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi
yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan
sebuah puisi Borges:
“Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi”
Ketiga
risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi
awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang
yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam,
atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang
terikat kepada nama-nama yang telah terberi.
Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”.
Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai
untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. Dalam film
itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”.
Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca,
kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya
juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoi.
Untuk
mengenang Márquez, yang baru saja berpulang, saya selalu terkenang pada
kata-kata “satire”-nya yang selalu bisa menerbitkan gelak: “The problem with marriage is that it ends every night after making love, and it must be rebuilt every morning before breakfast.” Tapi, tentu saja tak ada yang lebih menggetarkan dari novel “Love in the Time of Cholera”, selain kalimat brengsek yang selalu membuat saya tercenung: “The only regret I will have in dying is if it is not for love.”
Adios, Gabo.
Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film
Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan.
Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya
mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa,
pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi
pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat
dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa
yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara
macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat
penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan
menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada
sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan
negativitas.
Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak
lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan
Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan
dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad
keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan
“kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada
Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata,
Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa
lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.
Dan
untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke
masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan
“masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada
titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi
bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah
menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni.
Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir
tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar
sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran
terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau.
Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan
terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar
sana.
Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita
dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam,
pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan
kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun
bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah
dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa
sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit
pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus
menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga
dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi
kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.
Namun,
dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar
untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan
tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa
Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun
roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih
berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni
rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin
diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda,
Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga
mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu
secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.
Maka,
demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari
dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam;
terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu,
menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan
untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.
Sungguh kontras
sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari
perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita
untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang
merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak
risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan
jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang
bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan
terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat
pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal
pencerahannya.
Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu
bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan
sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan
hari ini? Entahlah.
Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi
karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana
pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas
pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut
pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat
terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana
telah disebut di awal.
Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”,
sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog
yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan
orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang
lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.
Sekarang,
bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan
sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat
mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa
lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir
kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa
lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita
juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara
dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau
melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh
melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap
hari?!
Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari
“ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap
hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.
*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html