Kamis, 01 Mei 2014

MENJAJAKAN MINAT BACA, MENAFKAHI TRADISI INTELEKTUAL



Oleh Tarli Nugroho
Pencinta Buku
 

Ibarat tubuh, perpustakaan adalah jantungnya universitas. Dari jantung-perpustakaan inilah ilmu pengetahuan dipompa ke sekujur tubuh-universitas sehingga kehidupan akademik terus berdenyut. Menuju ke jantung ini pula hasil seluruh pertengkaran ilmiah dikirimkan untuk diperiksa, dikaji-ulang, dikuliti, dikembangkan, lalu disebarkan kembali. Sebagai organ vital, ia tak boleh berhenti berdetak, karena perguruan tinggi secara “medis” akan mati.

Sayangnya, dalam deretan meja kosong dan kursi-kursi menjelujur rapi sebagaimana rutin dijumpai di perpustakaan kita, jantung ilmu pengetahuan tadi dibiarkan sekarat. Beberapa orang boleh jadi tidak terlampau khawatir, sebab toh perguruan tinggi bisa terus memproduksi ribuan sarjana tiap tahun meski perpustakaannya sunyi senyap. Tapi itu tentu saja pikiran yang menghinakan. Sebab pada titik yang demikian, perguruan tinggi tak ubahnya seolah sebatang bangkai: tubuh yang tak lagi bernyawa.

Tulisan ini hendak menyoroti posisi perpustakaan dalam kaitannya dengan tradisi intelektual di perguruan tinggi. Jika selama ini masalah minat baca didudukkan sebagai persoalan teknis yang harus dipecahkan pustakawan, maka tulisan ini berpendapat bahwa masalah tersebut merupakan masalah seluruh elemen perguruan tinggi.




Perpustakaan dan Dunia Ilmiah

Kekeliruan berpikir paling mendasar ketika membincangkan perpustakaan adalah mendudukkan perpustakaan semata sebagai unit teknis dari institusi perguruan tinggi. Ketika perpustakaan hanya dibicarakan sebagai sebuah unit teknis (untuk melayani kebutuhan baca dan pinjam-meminjam pustaka), maka perpustakaan telah dicabut dari kompleksitas keterkaitannya dengan dunia ilmiah.

Sudut pandang ini membuat segenap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaanpun kemudian dianggap teknis, bukan sebagai persoalan yang menyangkut dunia ilmiah. Ini bisa ditengarai dari minimnya respon sebagian besar aparatus akademik terhadap segala persoalan yang berkaitan dengannya. Mereka mengira bahwa perpustakaan adalah urusannya pengelola lembaga yang bersangkutan—yaitu pustakawan, tidak ada sangkut-pautnya dengan akademisi. Kalaupun ada tenaga akademik terlibat, biasanya mereka adalah yang sedang menjabat di struktur birokrasi perguruan tinggi.

Pikiran serupa juga dimiliki oleh para pustakawan. Mereka menganggap wilayah kerjanya bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan non-pustakawan. Sehingga, setiap persoalan yang berkaitan dengan perpustakaan hanya akan diselesaikan lewat perspektif profesi mereka. Pada akhirnya penyelesaian akan ditarik ke soal profesionalitas serta teknik manajerial, wilayah yang sangat teknis sifatnya. Soal minimnya pengunjung perpustakaan, misalnya. Dengan sudut pandang profesi, mereka akan cenderung melihat persoalan ini sebagai tantangan untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang ada agar pengguna menjadi lebih nyaman dan tertarik datang.

Peningkatan profesionalitas layanan dan penambahan fasilitas tentu saja bukan hal yang tidak berguna. Hal itu memang bisa berimplikasi positif terhadap antusiasme pengguna. Hanya saja, hal itu akan lebih berguna jika ditunjang oleh hal lain yang lebih vital sifatnya, yaitu minat baca penghuni kampus. Dalam kaitannya dengan minat baca inilah perpustakaan memiliki hubungan non-teknis dengan dunia ilmiah.




Ilmu Pengetahuan dan Buku

Kegiatan ilmiah merupakan kegiatan mengubah fakta menjadi teori—membuat masalah (fakta) menjadi permasalahan (teori), mengerjakannya dan merumuskan pemecahannya (Daoed Joesoef, 1986). Jadi, ilmu pengetahuan terbentuk dari dorongan untuk memecahkan masalah. Kegiatan yang relevan dengan tujuan untuk memecahkan masalah adalah meneliti, investigasi, serta mengkaji secara mendalam suatu persoalan.

Pengertian mengenai kegiatan ilmiah sengaja dikemukakan untuk memperjelas bahwa minat baca sebenarnya tidak semata “bawaan sejak lahir” sebagaimana yang umumnya kita bayangkan. Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa aktivitas membaca merupakan tuntutan kegiatan ilmiah. Apakah seseorang mewarisi bakat atau tidak untuk membaca, ketika dia berkecimpung di dunia ilmiah maka dia wajib terlibat dalam aktivitas menekuri buku-buku daras.

Tetapi, sebagaimana juga diingatkan oleh Daoed Joesoef, tidak setiap kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan adalah kegiatan ilmiah. Bekerja di laboratorium atau di perpustakaan ataupun memberikan kuliah, misalnya, bukan merupakan kegiatan ilmiah. Pada aktivitas mengajar, misalnya, tidak ada proses sebagaimana pengertian kegiatan ilmiah di muka. Mengajar adalah aktivitas menyampaikan ilmu pengetahuan yang telah jadi (ilmu pengetahuan sebagai produk), sementara kegiatan ilmiah merupakan proses untuk mencari dan merumuskan pengertian. Demikian pula dengan bekerja di laboratorium, jika sekadar mempraktikkan pengetahuan yang telah jadi, maka itu bukanlah kegiatan ilmiah. Jadi, persyaratannya terletak pada ada atau tidak adanya motif untuk mengubah fakta menjadi teori, memecahkan masalah untuk merumuskan kerangka teoritiknya, dan bukannya segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan.

Kembali ke perbincangan awal mengenai perpustakaan, jelas tidak ada kegiatan ilmiah yang bisa lepas dari buku. Buku adalah tempat dimana segala pengetahuan dicatatkan, dipersoalkan, dikaji, dihabisi, untuk kemudian dituliskan kembali. Lewat buku seorang ilmuwan bisa terpandu untuk menemukan jawaban atas persoalan yang ditelitinya, lewat buku pula para ilmuwan menemukan inspirasi masalah yang harus dipecahkan. Kegiatan ilmiah pada akhirnya bermuara pada teks: sebuah cara dalam mana pengetahuan diabadikan.

Jika kegiatan ilmiah tidak bisa dipisahkan dari teks, maka aparatus akademik jelas memiliki tanggung jawab pada persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut minat baca. Irisan keduanya sangat besar. Sehingga, secara tidak langsung segenap dinamika yang terjadi di perpustakaan juga harus masuk dalam radar aparatus akademik, karena masa depan kegiatan ilmiah turut ditentukan oleh aktivitas yang berkaitan dengannya.




Integritas Kesarjanaan

Dari uraian ringkas di atas kita bisa menyimpulkan bahwa menumbuhkan minat baca pertama-tama adalah perkara memperbaiki etos intelektual dan bukannya menambah fasilitas ataupun perbaikan teknis manajerial perpustakaan. Sebab tanpa etos intelektual, berbagai fasilitas yang lengkap hanya akan habis dimakan rayap dan digerus waktu, sementara peningkatan pelayanan akan sia-sia karena hasilnya tidak akan optimal.

Setelah memahami posisi demikian, persoalannya sekarang adalah kenapa minat baca rendah sehingga perpustakaan kita sepi pengunjung?!

Barangkali beberapa orang akan menolak penilaian bahwa perpustakaan kita sepi pengunjung. Mereka yang menolak ini akan mengajukan argumen berupa hitung-hitungan kuantitatif mengenai jumlah pengunjung ataupun jumlah buku yang dipinjam.

Kinerja perpustakaan sejauh ini memang hanya diukur melalui parameter-parameter yang bersifat kuantitatif dan sederhana, seperti jumlah pengunjung, jumlah buku yang dipinjam, jumlah pertambahan buku, dan parameter sejenisnya. Karena terbatas di pengukuran kuantitatif semacam itu, para pengelola perpustakaan atau pejabat perguruan tinggi yang dilapori kinerja tadi menjadi tidak peka terhadap gejala-gejala penting yang terjadi di lapangan.

Boleh jadi, misalnya, secara kuantitatif penggunaan perpustakaan suatu ketika adalah tinggi. Tetapi itu tidak dengan sendirinya menunjukkan hal yang positif berkenaan dengan minat baca, apalagi dengan etos intelektual atau modus ilmiah. Jika aktivitas di dalam perpustakaan kita golongkan menjadi dua, yaitu aktivitas membaca dan menulis, misalnya, di lapangan akan terlihat kalau masing-masing kategori akan didominasi oleh tiga materi bacaan, yaitu skripsi/tesis/disertasi, buku teks, serta koran dan majalah. Urutannya bisa berubah-ubah, tapi unsurnya tetap tiga materi tercetak tadi.

Jika dipikirkan, ini jelas merupakan gejala memprihatinkan. Meskipun tradisi baca masyarakat kita memang rendah, tetapi kegiatan membaca skripsi/tesis/disertasi, buku teks dan koran di perpustakaan di perguruan tinggi kita bukanlah merupakan bentuk kemajuan budaya baca. Alasannya sederhana saja. Sudah bukan merupakan rahasia jika para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir, keseluruhan atau sebagian besar dasar teorinya tidak diambil dari buku sumbernya, melainkan dari skripsi/tesis/disertasi pendahulunya. Sehingga, kalau mahasiswa rajin membuka-buka skripsi/tesis/disertasi yang bertumpuk di perpustakaan, itu sebenarnya bukanlah bentuk ke-rajin-an, melainkan bentuk kemalasan membaca buku-buku daras. Begitu pula halnya dengan buku-buku teks dan majalah. Sayangnya, tak banyak yang memperhatikan fenomena ini, baik aparatus akademik maupun pengelola perpustakaan. Atau, kalaupun memperhatikan tidak ada respon yang berarti terhadap fenomena ini. Lebih celaka lagi kalau gejala ini malah direstui.

Kegiatan membaca dan menulis sebagaimana yang dipertontonkan di perpustakaan kita sejauh ini baru merupakan rutinitas akademik: mengerjakan tugas, mencari hiburan, atau memenuhi tuntutan kelulusan. Jadi, jauh untuk bisa disebut sebagai kegiatan ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bisa disebutkan bahwa aktivitas tersebut hanya sekadar memenuhi syarat minimal (necessary condition) saja, tapi sangat tidak memenuhi syarat kecukupan (suficient condition) untuk bisa disebut menegakkan etos ilmiah.

Buku teks, misalnya, jelas bukan merupakan sumber utama untuk menguliti sisik-melik ilmu pengetahuan. Buku teks hanyalah sumber sekunder—atau bahkan tersier berkaitan dengan sistem gagasan, apapun bidang keilmuannya. Sedapat mungkin mahasiswa mestinya bersentuhan langsung dengan sumber-sumber utama, yaitu buku-buku yang ditulis oleh para penggagas teori atau buku-buku diskursif yang mendedahkan suatu persoalan secara lebih kompleks dan utuh.

Kecenderungan kian merebaknya praktik “mencari” skripsi/tesis/disertasi di perpustakaan dan utuhnya buku-buku non-textbook ataupun buku-buku berbahasa asing, meskipun sangat awal bisa jadi merupakan gejala longgarnya kultur akademik kita. Meskipun hakikat perguruan tinggi adalah menjadi cagar alam intelektualitas—menjadi pengembang ilmu pengetahuan, dalam praktiknya hakikat itu ternyata dikerjakan dengan standar yang teramat longgar.

perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata
Tanpa etos intelektual, pergulatan dengan buku hanyalah sekadar rutinitas akademik yang secara substansial tak berarti. Jika itu yang terjadi, yaitu kegiatan akademik telah menjadi rutin, maka integritas perguruan tinggi sebenarnya tengah terancam. Inilah yang akan membuat sebuah universitas kehilangan ruh, atau tubuh yang tak lagi bernyawa sebagaimana disebut di bagian awal tulisan ini.

Melonggarnya kultur akademik jelas merusak integritas kesarjanaan. Seorang sarjana diharapkan bisa tampil tidak hanya sebagai intelegensia yang menguasai bidang keilmuan profesional, melainkan juga bisa menjadi seorang intelektual yang senantiasa kritis terhadap ilmu pengetahuan dan struktur masyarakatnya. Jadi selain memiliki komitmen yang kuat terhadap nalar dan proses pencarian kebenaran, seorang sarjana juga diharapkan memiliki komitmen moral yang kuat, dalam arti memiliki keprihatinan mendalam terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah dari masyarakatnya.

Artinya, perguruan tinggi sebenarnya diharapkan bisa memupuk lahirnya sarjana-sarjana mental yang memiliki etos intelektual dan bukan hanya sarjana-sarjana formal yang hanya memiliki ijazah semata. Di sinilah aparatus akademik memegang peranan penting dalam membantu lahirnya kultur akademik di perguruan tinggi. Tanpa terlebih dahulu lahir kultur akademik, etos intelektual hanya akan menjadi bintang di langit dan integritas kesarjanaan patut dipersoalkan.

Aparatus akademik bukan hanya agen penyampai ilmu pengetahuan yang telah jadi sebagaimana dominan dipahami selama ini, melainkan perlu terlibat menjadi agen intelektual yang berkomitmen terhadap ditegakkannya etika kesarjanaan dan terciptanya etos serupa di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian maka perpustakaan dengan sendirinya akan mengail dinamika aktivitas ilmiah yang membanggakan, tidak sunyi senyap sebagaimana yang ada sekarang.




Menegakkan Etos Intelektual

Jika masalah pokok pengembangan perpustakaan adalah minat baca—dalam keterkaitannya yang kompleks dengan tradisi ilmiah sebagaimana yang telah kita bicarakan, maka persoalan ini tidak hanya merupakan pekerjaan rumah buat pustakawan, melainkan juga buat aparatus akademik. Tanggung jawab para pendidik tak hanya sebatas di ruang kelas atau ruang ujian, melainkan di seluruh sudut tempat bekerjanya kegiatan ilmiah.

intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya
Ketatnya kultur akademik atau tradisi ilmiah merupakan pemicu bagi terbentuknya etos intelektual. Pada titik itu, minat baca dan segenap keperluan untuk menegakkan saintisme akan berjalan secara inheren dengan sendirinya. Segenap insan akademik yang ada di kampus akan memiliki kegairahan untuk menjelajahi setiap jengkal wawasan yang tercetak di halaman berjilid-jilid buku yang menumpuk di perpustakaan. Tuntutan akademik tidak lagi dipenuhi sekadar untuk formalitas—sehingga mahasiswa terpaku mengejar kelulusan dengan cukup hanya membaca skripsi, tesis, dan disertasi pendahulunya atau dosen hanya asyik mengajar dan mengejar pangkat tanpa pernah mempublikasikan karya penting—melainkan untuk menjaga integritas keintelektualan. Jika kesadaran mengenai integritas ini telah terpupuk dan terpelihara, baku-dalih ilmiah akan lebih berwibawa karena lebih kaya wacana.

Hal penting yang kadang dilupakan, dalam menciptakan kultur yang demikian contoh dan teladan dari aparatus akademik tidak bisa diabaikan, termasuk penghargaan mereka terhadap perpustakaan. Penghargaan di sana termasuk di antaranya dengan mengunjungi dan mempergunakan jasa perpustakaan. Di sinilah kemudian hal-hal sekunder yang juga telah kita bicarakan mengemuka, yaitu peningkatan pelayanan dan penambahan koleksi.

Sebelumnya, perlu dipahami kalau intelektual bukanlah sebuah kelas sosial tersendiri, sebagaimana halnya konsep “buruh”, “borjuis” atau “kelas menengah” yang sering diperbincangkan. Intelektual bukanlah persoalan latar belakang, melainkan soal sikap mental dan etos. Artinya, seorang intelektual bisa saja datang dari kelas buruh, petani, militer, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kaitannya dengan intelektualisme, kebutuhan dosen dan mahasiswa pada prinsipnya sama. Dalam hal ini, tidak ada alasan bagi aparatus akademik untuk enggan datang ke perpustakaan. Persoalannya tinggal apakah perpustakaan telah menyediakan kebutuhan mereka secara memadai atau belum. Hal-hal yang memadai itu adalah hal-hal yang di bagian terdahulu disebut teknis-manajerial (profesionalitas pelayanan, penambahan fasilitas, koleksi pustaka, dan lain-lain). Di sini kita melihat pertemuan antara berbagai hal yang sebelumnya sering diperpsepsikan tak saling berhubungan.




Kelompok Panel Penimbang Buku

Kelemahan sistem pendukung perpustakaan yang ada selama ini adalah terletak pada hal-penambahan buku. Perpustakaan selama ini lebih mengedepankan fungsi sirkulasi, yaitu menyediakan peminjaman buku-buku teks perkualiahan. Sedangkan fungsi referensi, yaitu penyediaan koleksi-koleksi pustaka yang lebih berbobot, seperti jurnal dan buku-buku babon (magnum opus) masih minim. Fungsi sirkulasi dan referensi di sini hendaknya tidak diterjemahkan secara teknis sebagai koleksi yang bisa dipinjam dan hanya bisa dibaca di tempat, melainkan sebagai ukuran mengenai kualifikasi bahan pustaka.

Pengadaan buku selama ini sangat minim melibatkan elemen-elemen kampus lainnya, terutama aparatus akademik dan mahasiswa. Memang di perpustakaan disediakan lembaran usulan pengadaan buku untuk mahasiswa, tetapi bisa dipastikan kalau tingkat partisipasinya tidak optimal. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal.

Pertama, sistem pengadaan lembar usulan itu memakai sistem kuota. Artinya, meskipun buku yang diusulkan mahasiswa sangat penting bobot kualifikasinya, kalau dia mengusulkan seorang diri atau hanya dengan sedikit orang secara kuantitatif akan dianggap tidak penting. Kedua, mahasiswa yang terlibat dalam pengisian lembar usulan kebanyakan hanya terbatas mengajukan judul buku-buku teks.

Keterlibatan aparatus akademikpun serupa. Beberapa dari mereka yang peduli barangkali akan mengusulkan atau menyumbangkan salinan literatur penting yang mereka miliki untuk perpustakaan. Tetapi hal ini saja tidak cukup untuk membuat perpustakaan menjadi tempat nyaman buat eksplorasi intelektual. Karena itu pengelola perpustakaan harus mencari jalan keluar lain yang lebih kreatif.

Sebuah jalan yang bisa dicoba mungkin dengan membentuk semacam “Kelompok Panel Penimbang Buku” (KPPB), yaitu sebuah tim yang bertugas untuk menggodok materi literatur yang akan dibeli perpustakaan. Tim ini berisi perwakilan pengelola perpustakaan, dosen, dan mahasiswa. Untuk skup fakultas, perwakilan dosen dan mahasiswa harus merepresentasikan jurusan yang ada di fakultas yang bersangkutan.

Sistem pemilihan tim ini adalah dengan seleksi, seperti pembuatan paper, wawancara yang “mengukur” kecintaan seseorang pada buku (seperti koleksi bacaannya, atau penguasaan literaturnya) dan berbagai parameter lain yang terutama mengukur intelektualitas seseorang dan apresiasinya pada buku. Seleksi diadakan setiap dua tahun sekali untuk memberi keleluasaan kerja bagi KPPB. Tugas KPPB adalah menjaring aspirasi dari elemen yang diwakilinya, atau bisa juga dengan pertimbangannya sendiri dia mengusulkan kira-kira bahan pustaka apa yang harus dibeli perpustakaan.

Anggota KPPB harus bisa mengemukakan argumen yang jelas berkaitan dengan setiap usulan pustaka yang diajukannya. Selain itu, anggota KPPB juga harus kritis terhadap usulan yang diajukan oleh rekan setimnya, sehingga tidak ada dominasi selera dari keputusan yang diambil KPPB secara keseluruhan. Dengan adanya KPPB diharapkan pengadaan buku di perpustakaan bisa lebih dipertanggungjawabkan dan pengguna menjadi lebih tertarik karena isinya berbobot dan variatif.




Epilog

Perpustakaan memang merupakan jantung perguruan tinggi, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh sivitas akademik untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga ini. Kelangsungan hidup perpustakaan bukan hanya diukur dari eksistensi fisiknya, melainkan kontribusinya dalam dinamika kegiatan ilmiah di perguruan tinggi. Dalam hal ini, selain fungsi teknis sebagai penyedia layanan pinjam-meminjam dan menyediakan ruang baca, perpustakaan adalah simbol dari kegairahan terhadap etos intelektual. Jika sebuah perguruan tinggi telah melemah etos intelektualnya, maka perpustakaan hanya akan menjadi kumpulan rak yang sunyi senyap, dan universitas tengah meregang nyawa dan bersiap menjadi bangkai. Semoga itu tidak terjadi pada kita.


Karanggayam, 8 September 2006

BENYAMIN DAN RENAISANS BETAWI



Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Bang Bens


“Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu betawi yang nyaris mati, itu jasanya.” Kalimat itu keluar dari mulut Mus Mualim, musisi jazz terkemuka, yang juga suami dari Titiek Puspa, artis kawakan tiga zaman. Mus melontarkan kalimat itu ketika Benyamin Sueb, yang biasa disingkat Benyamin S. (baca: ‘Benyamin Es’), atau biasa dipanggil Bang Ben, baru saja merilis film barunya yang laris manis dan sekaligus memanen pujian, Si Doel Anak Modern (1976). Dalam film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja itu, pada 1977 Benyamin mendapatkan Piala Citra keduanya. Sebelumnya, pada 1973, dalam karirnya sebagai aktor yang masih terbilang seumur jagung, Ben mendapatkan Piala Citra pertamanya, juga sebagai aktor terbaik, melalui film Intan Berduri (1972), yang disutradarai Turino Djunaidi.

Pada mulanya banyak orang mengira Benyamin adalah badut yang sekadar menjajakan kekonyolan. Ya, ia baru bermain seni peran pada 1970, melalui film Benyamin Biang Kerok, yang langsung membuat namanya melejit. Majalah TEMPO pada 1977 menulis bahwa sebelum bermain film Benyamin lebih dikenal sebagai “penyanyi dan pelawak kampung”. Namanya identik dengan gambang kromong, kesenian khas Betawi. Namun, meski film pertamanya langsung membuatnya terkenal, film itu dianggap sebagai peneguhan citra konyol sosok Benyamin. Oleh karenanya, ketika ia diganjar Piala Citra sebagai aktor terbaik pada 1973, banyak orang menjadi terhenyak. Si Badut ini bisa berakting bagus juga!





Membaca kembali riwayat Benyamin memang gampang menerbitkan tawa dan decak. Ketika kecil ia bercita-cita ingin menjadi pilot, namun nasib membawanya menjadi kondektur PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Ia melayani rute Banteng-Jalan Minangkabau-Manggarai. Tapi ia tak puas dengan profesinya itu. Di balik tampang konyolnya, Benyamin pernah mengecap status sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Sawerigading hingga tingkat dua. Ketika bekerja di PPD, ia menggunakan ijazah SMA-nya, yang diperoleh dari perguruan Taman Siswa. Padahal, untuk pekerjaannya itu, yang dibutuhkan sebenarnya hanya lulusan sekolah dasar. Jadi, ia tidak puas ijazah SMA-nya hanya digunakan untuk pekerjaan selevel lulusan SD. Setelah keluar dari PPD, selama tujuh tahun berikutnya ia bekerja di perusahaan negara, PN Asbes. Ketika perusahaannya akan melakukan rasionalisasi, Ben memilih cabut. Ia ingin mengabdikan hidupnya untuk musik. Dan sejarah hidupnya membuktikan itu.





Meski terlihat konyol, Ben sebenarnya sangat penuh perhitungan. Dan ia sama sekali bukan badut sebagaimana dikira banyak orang. Dari cara ia mengutarakan riwayat hidupnya, yang dimuat berbagai media hingga akhir hayatnya, Ben bukan hanya seorang yang memiliki spontanitas yang mengagumkan, terutama dalam hal melahirkan lelucon, tapi juga memiliki wawasan hidup yang tegas dan jernih. Di balik tampang bloonnya, Ben memang adalah pembaca buku yang serius dan penyuka filsafat. Ia juga gemar membaca biografi tokoh-tokoh terkemuka, seperti Bismarck dan Napoleon.

Suatu ketika Benyamin mengaku bahwa rahasia suksesnya sebagai musisi adalah karena ia menggunakan strategi Napoleon ketika menciptakan lagu. Dalam strategi perang, demikian Ben, jika kita punya gagasan jangan pertama-tama ditanyakan kepada jenderal, karena pasti akan “dihabisi”, tapi bertanyalah kepada kopral lebih dulu. Jadi, ketika ia menulis lagu, untuk mengukur apakah lagu itu bagus atau tidak Ben tidak minta komentar kepada musisi atau kritikus, tapi bertanya kepada anaknya. Jika anaknya senang dengan lagunya, maka menurut Ben berarti lagunya bisa dipahami dan diterima orang lain.

Tampang dan peran yang dilakoninya boleh jadi kebanyakan memerankan tokoh-tokoh bloon, tapi isi kepala Ben tidaklah demikian.





Pembacaan sosialnya yang tajam pula yang telah membuat lagu-lagunya terus dikenangkan hingga kini, dan membuat namanya terpacak sebagai seniman Betawi kontemporer terbesar hingga hari ini. Ketika musik “ngak-ngik-ngok” dilarang bersamaan dengan masa konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an, Ben melihat bahwa lagu-lagu Minang tiba-tiba saja mengorbit dan mendapat tempat. Sebagai orang Betawi ia merasa tertantang: kenapa lagu-lagu Betawi tidak bisa mengambil tempat juga?!

Maka dimulailah petualangannya menggali lagu-lagu Betawi. Belakangan, ketika hasil kerjanya diapresiasi banyak orang, dan reputasi kesenimanannya terus menerbitkan hormat, dengan rendah hati Ben hanya berujar bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu apakah ikhtiarnya itu memang telah membangkitkan kembali atau justeru sebenarnya malah telah mengacaukan kebudayaan Betawi. Sungguh, jawaban rendah hati yang kocak.

Ketika ketenaran berhasil direngkuhnya, Ben tidak terjebak menjadi robot industri. Dia menjadi seniman dalam arti yang sebenar-benarnya, tak sekadar menjadi selebritas yang mengandalkan popularitas. Selepas mencipta lagu, menyanyi dan menjadi aktor, Ben belajar menulis skenario dan juga sutradara. Ia belajar dari Sjuman Djaja dan Turino Djunaidi, dua orang penulis dan sutradara yang dihormatinya. Usaha yang dirintisnya di luar karirnya juga masih berada dalam lingkungan dunia seni dan budaya. Bens Radio yang didirikannya masih mengudara hingga kini. Dia mendirikan PT Jiung Film dan PT Benyamin Bina Bersaudara, yang memproduksi film dan sinetron-sinetron Betawi. Pendek kata, sedari awal, karirnya memang menjadi seorang seniman. Menjadi selebritas adalah konsekuensi dari kesenimanannya.

Membaca lagi riwayat Benyamin pada hari ini bisa membawa kita pada semacam oase. Sulit untuk dimungkiri jika dunia seni peran, musik, dan pentas komedi di tanah air saat ini semakin didominasi para badut, yang sekadar menampilkan kekonyolan dan tak menawarkan konsep apapun.

Ya, ketika dunia hiburan hanya tinggal merayakan kegemparan tanpa pemikiran, kita memang sangat membutuhkan orang-orang seperti Benyamin, yang ketika berpulang pada 1995 silam, banyak orang tak segan menyebutnya sebagai simbol “Renaisans Betawi”.

Dunia hiburan kita memang sedang sangat membutuhkan “pencerahan”. Bukan begitu, Pemirsa?!



SARJANA KULINER


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


Tiga tahun lalu, ketika menulis buku “Pemikiran Agraria Bulaksumur: Sebuah Tinjauan Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto” (Yogyakarta: STPN Press, 2010), yang ditulis bersama dua orang kawan, dalam kata pengantar saya menulis ada empat penjelasan kenapa kajian atas pemikiran para pemikir Indonesia sangat jarang dilakukan.

Pertama, tentu saja karena hanya sedikit sekali sarjana Indonesia yang mencoba membangun pemikirannya sendiri. Kebanyakan sarjana kita, termasuk mereka yang menyandang gelar guru besar, lebih suka menjadi apa yang disebut Arief Budiman sebagai “intelektual pengecer”. Ini menyebabkan sumber pemikiran baru yang bisa digali menjadi langka.  

Kedua, tidak adanya apa yang disebut peer-group dalam dunia kesarjanaan di Indonesia. Hal ini telah menyebabkan absennya kebiasaan untuk saling mengkaji dan mengomentari pemikiran para kolega di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun (termasuk juga yang “tidak-penting”) yang pernah dihasilkan pada akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan selama penggagasnya masih hidup. Tapi yang lebih fatal dari tidak adanya peer-group pada sebuah lingkungan akademik adalah pada akhirnya tak ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan bersangkutan.  

Ketiga, buruknya perpustakaan dan lembaga arsip di Indonesia. Studi pemikiran tidak mungkin bisa dilakukan tanpa ditopang oleh lembaga perpustakaan dan kearsipan yang bekerja dengan baik, terutama di lingkungan perguruan tinggi atau di pusat-pusat penelitian. Kesulitan teknis yang utama dalam melakukan studi pemikiran adalah langka dan sulitnya menelusuri arsip-arsip tulisan dari para sarjana yang pemikirannya hendak dijadikan bahan studi. Hal ini kian diperburuk oleh lemahnya tradisi mengarsip dan mendokumentasikan di kalangan sarjana kita sendiri. Ini, misalnya, bisa dilihat dari hanya sedikit saja sarjana di Indonesia yang memiliki perpustakaan pribadi yang layak.





Dan keempat, tradisi riset di Indonesia masih didominasi oleh riset berjenis terapan (applied research), dan itu berlaku bagi hampir seluruh bidang keilmuan. Dalam riset terapan, para peneliti lebih banyak disibukan oleh pertanyaan mengenai relevansi sosial, terutama dalam kaitannya dengan kegunaan sebuah kerangka teori/keilmuan di wilayah yang bersifat praksis. Kajian pemikiran, karena terutama bersifat teoritis dan konseptual, bukan terapan, dengan sendirinya tidak menjadi bidang penelitian ataupun metode yang populer.

Penjelasan pertama dan kedua, belakangan saya lihat diikat oleh sebuah simpul yang sama, sehingga keduanya saling berkaitan. Simpul yang sama itu adalah kenyataan bahwa banyak sarjana kita mempelajari segala ide dan gagasan hanya dari buku teks. Ya, buku teks!

Karena mereka terbiasa berkenalan dengan ide-ide dari buku teks, tidak mengikuti proses formatifnya, maka apresisasi mereka sangat lemah ketika bersinggungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan yang baru memulai risalahnya, termasuk ketika bersinggungan dengan ikhtiar-ikhtiar ke arah itu.

Gagasan sebagaimana yang ditulis dalam buku teks adalah gagasan yang sudah di-“konstitusi”-kan oleh interpreter-middleman atau interpreter-compiler. Pada tahap ini, gagasan sebenarnya sudah tak lagi menjadi milik pencetusnya, karena sudah dibentuk sedemikian rupa seturut kebutuhan pedagogik. Seandainya gagasan adalah sejenis makanan, maka buku-buku teks telah menjajakan gagasan-gagasan tadi sebagaimana halnya sebuah warung buffet. Kita ketemu hidangan yang siap santap, mulai dari sayur asem, ayam kecap, udang goreng tepung, semur jengkol, hingga bakwan jagung.





Karena terbiasa berhadapan dengan makanan yang sudah jadi inilah maka banyak sarjana kita bingung ketika harus berhadapan dengan tepung terigu, ayam yang masih di kandang, udang yang belum di kupas, jengkol yang belum dikukus, jagung yang belum dipipil, dan rempah-rempah serta berbagai bumbu yang berjibun di dapur. Ketika disodori perbincangan mengenai kualitas daging ayam mereka bingung, sama bingungnya dengan bagaimana menentukan sebuah daging udang adalah segar atau tidak. Pendek kata, sebagai penikmat kuliner mereka sangat ahli, dan bahkan bisa sangat kritis, namun celakanya mereka sama sekali tak memahami pekerjaan chef dan para koki yang bekerja di dapur. Banyak dari mereka tidak paham, bahwa dari sekerat jahe yang sama, bisa dibuat wedang jahe, wedang bandrek, wedang uwuh, atau wedang secang, tergantung selera dan bahan imbuhannya.

Dengan iklim kesarjanaan yang demikian, saya tak bisa membayangkan, sudah berapa banyak pemikiran dari para pemikir kita yang punah begitu saja digilas waktu, karena tidak adanya apresiasi dan minimnya kajian yang pernah dilakukan. Dan entah sudah berapa banyak pula tunas pemikiran yang mati kekeringan, hanya karena tunas itu dituntut memenuhi fungsi sebagaimana sebuah pohon rimbun yang sudah berurat-akar, sebuah tuntutan yang sepenuhnya ahistoris dan abai terhadap fase perkembangan tunas tadi.

Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah nasihat Joseph Stiglitz, “Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government.” Dan sejak zaman Adam Smith, buku teks, seperti halnya taksonomi keilmuan di perguruan tinggi, memang lebih banyak dibuat untuk memudahkan dosen daripada tujuan selainnya. Makanya, tak banyak pemikir yang menulis buku teks, dan juga sebaliknya.

Karena itu, saya selalu menyukai penggalan pidato Soekarno yang diucapkan di hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia pada 17 September 1965 ini:

“... for the execution of this, in the execution of this, kita sama sekali harus berpikir baru dan tidak bisa menggendoli atau nggenuki atau berdiri di atas apa-apa jang kita peroleh dari textbook-textbook ekonomi jang terkenal. Entah textbook, kata Pak Bandrio, tadi dari Harvard-kah, atau textbook dari Columbia-kah, entah textbook dari Leiden-kah, entah textbook dari manapun. Bahkan tidak dari texbook, kalau ada textbook itu, tidak dari textbook Sovjet-Uni, tidak dari textbook RRT, tidak dari textbook Korea-Utara, tidak dari textbook any socialist country in this world. Sebab apa? Sebab sosialisme kita sebagai sudah dibenarkan Ampera, sebagai sudah dibenarkan MPRS, adalah Sosialisme Indonesia, bukan sosialisme a la Sovjet, bukan sosialisme a la RRT, bukan sosialisme a la Korea, bukan sosialisme a la Polandia, bukan sosialisme a la Tjekoslowakia, bukan sosialisme a la Hongaria, ...”





Soekarno tahu betul risiko terjebak dalam pemikiran yang textbook minded, dan konsekuensi ahistoris yang menyertainya. Pada seminar-seminar di kampus, pada makalah-makalah yang ditulis di perguruan tinggi, di halaman-halaman jurnal yang kita terbitkan, dan dalam talkshow di layar kaca televisi kita, kita dengan mudah bisa menyaksikan bahwa “sarjana kuliner” hanya menghasilkan “obesitas intelektual” saja. Terlalu banyak teori dan terlalu banyak data yang mereka sajikan, namun sedikit saja yang relevan dengan persoalan-persoalan yang ingin kita pecahkan.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan meneruskan dan menghidupi tradisi kesarjanaan yang demikian?

SOEKARNO, HANUNG DAN GIEBELS



Oleh Tarli Nugroho
Mantan penonton film 


Kemarin petang, Minggu, 5 Januari 2014, ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pisang coklat, saya menyimak acara "Tea Time with Desi Anwar", yang kali ini berkunjung ke rumah dan mewawancarai Hanung Bramantyo. Saya telah membaca ulasan-ulasan kekecewaan mereka yang sudah menonton film "Soekarno" yang disutradarai Hanung, dan hanya bisa menebak-nebak, karena belum sempat menonton film tersebut. Makanya, petang kemarin, saya menyimak betul perbincangan dengan sutradara asal Yogya tersebut, untuk menambah gambaran agak lebih utuh mengenai ramai-ramai yang mengekor film tersebut.

Tentu saja, bagian yang paling saya tunggu adalah tanggapannya atas kritik yang diberikan beberapa pengamat dan sejumlah pihak atas film laris tersebut. Saya menduga Hanung akan bertahan pada interpretasinya mengenai Soekarno. Tak ada yang salah dan aneh dengan hal itu. Yang penting adalah apa argumennya atas interpretasinya yang banyak digugat orang itu. Dan argumennya betul-betul membuat saya terkejut. Dengan yakin Hanung mengatakan bahwa interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek karena interpretasi itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang dikemukakan oleh buku Lambert J. Giebels. Bagi saya, pengakuan itu menjelaskan segalanya, termasuk kritik Salim Said bahwa film tentang Soekarno itu secara ironis malah justru lebih mengangkat figur Sjahrir daripada Soekarno sendiri.

Giebels, yang menulis buku "Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie 1900-1950" (1999), adalah politikus Partai Buruh (Partij van de Arbeid) Belanda. Dalam kurun 1970-an hingga 1980-an, ia pernah tinggal di Indonesia sebagai konsultan di Departemen Pekerjaan Umum, yang juga digunakannya untuk melakukan riset mengenai Soekarno. Kalau kita membaca buku biografi Soekarno yang disusunnya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tiga belas tahun silam, buku ini memang berhasil melakukan 'zoom in' terhadap kehidupan Si Bung, yang membuatnya seolah hadir sangat dekat dengan pembaca. Tetapi Giebels, sebagaimana halnya Antonie C.A. Dake, dan Victor Miroslav Fic, sejak lama dianggap sebagai para penulis yang tendensius. Joesoef Isak bahkan dengan keras menyebut karya ketiganya mengenai Soekarno sebagai "klinkklare onzin", atau "semurni-murninya omong kosong". Apa yang disebut sebagai "fakta" dan "informasi" dalam karya-karya mereka, menurut Isak, seratus persen adalah produk abstraksi benak mereka sendiri, namun abstraksi itu diperlakukan sebagai kenyataan yang serba benar.

Mungkin ada yang masih ingat tulisan Rosihan Anwar, "Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta", yang dimuat di Harian Kompas, 15 September 1980. Dalam tulisan yang memancing polemik hingga berbulan-bulan hingga kuartal pertama 1981 itu, Rosihan menggoreng sebuah isu yang terselip dalam buku John Ingleson, "Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934" (1979), ihwal surat permohonan ampun Soekarno kepada pemerintahan kolonial sebelum dibuang ke Ende. Sumber yang dirujuk Ingleson adalah salinan surat-surat Soekarno di arsip pemerintah kolonial Belanda. Karena itu bukan surat-surat asli, banyak yang meragukan isinya. Beberapa tokoh dan pelaku sejarah menyebut hal itu sebagai rekayasa polisi rahasia pemerintah kolonial. Mohammad Roem, yang menyebut dirinya banyak berseberangan dengan Soekarno, dan bahkan pernah dipenjarakan Soekarno, tak urung ikut mempermasalahkan tulisan Rosihan itu dan mempertanyakan maksud di baliknya. Roem, setelah mengemukakan sejumlah data dan kesaksian, yang intinya membantah cerita yang diangkat Ingleson dan kemudian digoreng Rosihan, bahkan harus menulis lebih jauh, termasuk mempertanyakan kenapa dalam tulisan-tulisannya Rosihan selalu menulis Hatta lebih dulu daripada Soekarno, sesuatu yang ganjil bagi penulisan sejarah Indonesia, yang lazimnya mengenal"Soekarno-Hatta" sebagai sebuah frasa daripada sebaliknya. Menarik untuk memperhatikan, karangan-karangan Rosihan, bersama dengan terjemahan karya Dake dan Fic, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, pada saat ini memang merupakan karya-karya tentang 1965 dan mengenai Soekarno yang paling mudah ditemui di toko buku dibanding buku-buku lainnya. Buku lainnya yang masih bisa dijumpai adalah karangan Bernard Dahm dan Onghokham. Dari kesemuanya, hanya karangan Ong yang bisa disebut “memberikan simpati” kepada Soekarno.

Ingleson, dalam sebuah konfirmasi yang diberikannya di Majalah Tempo, Maret 1981, mengklaim bahwa Hatta juga mempercayai kebenaran surat-surat Soekarno itu dalam sebuah perbincangan dengannya. Anehnya, Iding Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta, dengan tegas mengatakan bahwa Ingleson tidak pernah mewawancarai Hatta. Sejak 1964, menurut Wangsa, Bung Hatta tidak lagi memberikan wawancara kepada wartawan dan sarjana asing. Dalam buku agendanya, dan juga buku agenda kegiatan Hatta, dia tidak menemukan catatan bahwa Bung Hatta pernah diwawancarai Ingleson.





Ihwal surat permintaan ampun Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda ini menjadi salah satu tikungan dramatis dalam biografi yang ditulis Giebels. Dan persis pada bagian ini, dengan nada yang akan membuat kita merasa ganjil, dia kemudian mengetengahkan sosok Hatta dan Sjahrir, yang disebutnya sebagai tokoh yang lebih radikal daripada Soekarno. Mereka lebih berbahaya daripada Soekarno, demikian Giebels, karena keduanya merupakan didikan gerakan revolusioner Eropa!

Saya yakin Hanung sangat terpesona ketika membaca bagian ini pada buku Giebels, dan menganggapnya sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya. Saya bisa mengira demikian berdasarkan rekonstruksi dari sejumlah catatan yang ditulis oleh beberapa kawan yang sudah menonton film Soekarno. Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding atas narasi yang disusun Giebels. Dan saya juga ragu dia memeriksa bagaimana posisi karya Giebels dalam hiruk-pikuk penulisan sejarah mengenai diri Soekarno, sebelum memutuskannya menjadi rujukan penting yang akurat bagi pembuatan filmnya. Dengan langsung merujuk kepada Giebels sebagai sanggahan atas kritik yang ditujukan kepada filmnya, sebagaimana yang disampaikannya dalam acara bincang-bincang dengan Desi Anwar petang kemarin, jelas terlihat bahwa Hanung memang alpa melakukan penilaian atas sumber yang dirujuknya. Dan, saya kira, ini adalah penjelasan masuk akal atas semua kritik yang telah dituliskan mengenai film Soekarno yang dibuatnya.

Meski berhasil menggali sisi-sisi kemanusiaan Soekarno, buku Giebels memang harus dianggap tendensius. Selain mengangkat soal surat permintaan ampun yang kontroversial itu, Giebels juga menulis bahwa Soekarno membuat kesepakatan dengan seorang agen rahasia Belanda pada masa revolusi. Intinya, Soekarno setuju Belanda tetap menjajah Indonesia, melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, asalkan Soekarno ditunjuk menjadi perdana menteri.





Selain tendensius, alur narasi yang disusunnya kadang memang menggelikan, yang tidak jarang malah melemahkan konstruksi yang sebetulnya ingin ditonjolkannya. Dalam uraian mengenai surat-surat Soekarno, misalnya, yang dia gunakan untuk mempertentangkan dan mengkontraskan pribadi Soekarno di satu sisi dengan Hatta-Sjahrir di sisi yang lain, narasinya juga menggelikan. Setelah ia menyebut bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno, yang telah dibuang ke Ende, maka pemerintah kolonial juga kemudian menangkap Hatta dan Sjahrir. Sjahrir ditangkap ketika ia sedang menunggu kapal yang akan membawanya berlayar ke Amsterdam untuk menjumpai kekasihnya, Maria Duchateau! Dengan segala hormat kepada Sjahrir, menurut saya konstruksi "lebih radikal daripada Soekarno" dan cerita penangkapan yang dibuat Giebels itu malah membuat Bung Kecil jadi terlihat menggelikan.

Hal menggelikan lainnya dari narasi Giebels, terlepas dari surat permintaan ampunnya yang hingga kini masih misterius, Soekarno diasingkan karena aktivitas politiknya semakin dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Giebels mengakui bahwa analisis sosial yang dilakukan Soekarno atas kondisi dan watak bangasanya, lebih realistis daripada yang dilakukan oleh Hatta dan Sjahrir. Itu yang membuatnya lebih bisa menggerakan orang dan mempengaruhi massa. Tentunya, di luar kemampuan orasinya yang memang sangat memikat. Lalu, kenapa Giebels memaksa untuk memberikan penilaian bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno?! Sebab, bukankah pada uraian yang sama, Giebels juga mengemukakan bahwa alasan pembuangan Hatta dan Sjahrir sebenarnya lebih bersifat preventif, dan itu berbeda dengan alasan yang dibuat pemerintah kolonial atas pembuangan Soekarno. Giebels menulis bahwa "pengasingan sebagai tindakan preventif [sebenarnya] belum ada presedennya". Nah! Lantas, tanpa maksud mengecilkan peran Hatta dan Sjahrir pada masa itu, dimana sebenarnya konstruksi "radikal" dan "revolusioner" yang dimaksud Giebels dalam uraiannya itu? Ia terlihat hanya bermain-main dengan soal labeling saja dan tidak cukup bertanggung jawab memaparkannya dalam sebuah uraian yang konsisten.

Alhasil, alih-alih berhasil membuat seorang Soekarno jadi terlihat menggelikan, jika itu memang maksudnya, dengan uraiannya itu Giebels sebenarnya telah membuat trio Soekarno, Hatta dan Sjahrir sekaligus jadi sama menggelikannya. Atas hal-hal menggelikan semacam ini, orang Yogya pasti akan mengatakan: “edan po piye?” Atau, kalau orang Betawi, mereka pasti akan berujar: “gile nggak tuh?” Dan, saya paham kenapa dulu Joesoef Isak sampai melempar kata-kata pedas atas karya Giebels ini.

Ya, seperti halnya minum obat, maka membaca buku pun harus memperhatikan petunjuk dan aturan pakai, selain sebaiknya harus dengan resep dokter. Dan Hanung sepertinya telah meluputkan keduanya.

Yogyakarta, 6 Januari 2014


Catatan Tambahan:
Saya mempertahankan mengeja nama Bung Karno dengan "Soekarno", dan bukannya "Sukarno", karena ejaan itu adalah ejaan nama orang yang harus dipertahankan sesuai dengan aselinya. Meski ejaan bahasa Indonesia telah tiga kali disempurnakan, namun nama orang sebaiknya dipertahankan seperti bentuk awalnya, agar orang jadi tidak kehilangan konteks sejarah yang melahirkan ejaan itu. Makanya, meskipun Bung Karno menghendaki namanya dieja sebagai "Sukarno", namun saya sendiri bertahan pada ejaan "Soekarno". Bukankah Bung Karno sendiri mempertahankan tanda tangannya yang menggunakan ejaan "Soekarno" dengan alasan sebagai artefak maka tanda tangan tidak bisa diubah? Sebagai pengamat, kita mestinya mendudukan ejaan "Soekarno" juga sebagai artefak bahasa yang harus dipertahankan, dan bukannya manut kepada kehendak si pemilik nama dalam menuliskan ejaannya. Posisi mempertahankan dan menjaga artefak bahasa, menurut saya, jauh lebih penting daripada menuruti kehendak Bung Karno. Makanya saya suka heran dengan orang yang gampang menyalahkan ejaan "Soekarno". Menurut saya, mereka tidak memiliki sensitifitas sebagai pencinta bahasa.

NARASI DAN REALITAS POLITIK



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta


“Realitasnya masyarakat kini menginginkan Jokowi.” Kalimat itu sering saya dengar dalam banyak obrolan di kedai kopi, terutama pada jam-jam makan siang. Jika kebetulan meluncur dari mulut orang yang dikenal, saya selalu bertanya, “Apa buktinya kalau masyarakat menginginkan Jokowi?” Jawaban yang disampaikan umumnya sudah bisa ditebak: “Survei-survei politik selalu menempatkan namanya pada posisi pemuncak calon presiden.”

Di luar konteks Jokowi, atau nama-nama lainnya, pernyataan dan jawaban semacam itu selalu mengusik saya. Perkaranya sederhana, karena pernyataan dan jawaban itu sebenarnya menggambarkan hubungan yang tidak searah, sebagaimana diandaikan bahwa realitaslah yang telah memproduksi hasil survei. Benarkah begitu?! Sebab, dari pernyataan dan jawaban yang sama, terdapat juga kemungkinan bentuk hubungan lain, misalnya, hasil surveilah yang sebenarnya telah memproduksi realitas tadi. Atau, kemungkinan lainnya lagi, bahwa sebenarnya terdapat hubungan kausasi sirkuler (circular causation) antara keduanya, dimana realitas dan hasil survei politik sebenarnya bersifat saling mempengaruhi.

Sampai di situ, saya selalu diingatkan pada satu hal yang kadang banyak dilupakan, bahwa dalam bidang apapun, yang disebut sebagai fakta dan/atau data dalam kenyataannya memang selalu tidak bisa berbicara sendiri. Sebab, fakta dan data yang sama pada kenyataannya tak jarang bisa digunakan untuk menyampaikan dua narasi yang berbeda, bahkan yang saling bertolak belakang sekalipun. Oleh karenanya saya sering merasa geli jika ada orang yang selalu menempatkan fakta atau data sebagai senjata pamungkas dalam sebuah diskusi atau perdebatan, dengan andaian bahwa fakta atau data itu mampu berbicara sendiri. Mereka pasti lupa faktor narasi ini, dimana selain fakta dan data yang sama bisa digunakan untuk menyampaikan dua narasi yang berbeda, mereka juga telah melupakan kenyataan bahwa fakta dan data juga sebelumnya dilahirkan oleh sebuah proses naratif. Jadi, obrolan ringan sebagaimana disebut di muka itu sepertinya memang tidak boleh dianggap sederhana.

Jika Marx memperkenalkan distingsi M1 dan M2 dari rantai M-C-M (Money, Commodity, Money), dimana M1 adalah uang (money, M) yang digunakan oleh si kapitalis sebagai modal untuk memproduksi komoditas (commodity, C), dimana selanjutnya komoditas itu akan dijual untuk menghasilkan uang lagi (M2), maka narasi yang bisa merajut fakta, data, dan realita juga sebenarnya berlapis-lapis.

Sederhananya begini. Narasi pertama, sebut saja N1, adalah narasi yang telah melahirkan fakta (F). Dari fakta (F) menjadi data (D), tak sebagaimana yang sering dibayangkan, juga melibatkan proses transformasi naratif, karena secara teoritis data merupakan fakta yang telah mengalami proses seleksi dan penyusunan ulang sedemikian rupa Proses naratif perubahan F menjadi D ini kita sebut saja N2. Jadi, jika data (D) itu kita narasikan kembali, sebagaimana misalnya data-data survei politik dipresentasikan dalam konferensi pers, maka narasi yang disampaikannya, kita sebut saja N3, bisa jadi merupakan narasi yang tak lagi sama dan sebangun dengan N2 dan/atau N1.

Sampai di situ muncul pertanyaan: dari rangkaian tadi, N1-F-N2-D-N3 itu, manakah yang sebenarnya bisa disebut sebagai realitas itu, apakah N1, F, N2, D, ataukah N3?! Persis di sini, relasi antara fakta, data, dan narasi dengan realitas tak lagi sesederhana sebagaimana yang sering dibayangkan.





Film Chaos Theory (2008), yang disutradarai oleh Marcos Siega, barangkali bisa jadi ilustrasi yang mengena atas rantai abstraksi tadi. Frank Allen (diperankan oleh Ryan Reynolds), seorang penceramah profesional dalam bidang manajemen waktu, suatu kali mengalami hari yang buruk karena datang terlambat ke sebuah seminar dimana dia harus berceramah soal manajemen waktu. Cerita buruk belum berakhir, karena di hotel tempatnya menginap, Frank dijebak untuk berselingkuh oleh seorang perempuan yang menjadi peserta seminarnya. Beruntung ia bisa meloloskan diri dari situasi yang tak dikehendaki itu. Namun, celakanya, persis ketika Frank berhasil meloloskan dari hotel untuk pulang ke rumah, istrinya, Susan Allen (diperankan Emily Mortimer), menelpon ke kamar hotelnya dan diangkat oleh perempuan yang hendak memperdaya tadi. Kita sudah bisa membayangkan persepsi yang muncul di benak Susan atas suaminya.

Cerita terus memburuk karena dalam perjalanan pulang Frank terjebak pada situasi dimana ia harus mengantar ke rumah sakit seorang perempuan yang hendak melahirkan. Di tengah perasaan kalut, karena terlalu fokus pada pekerjaannya, Frank tak memperhatikan bahwa ia telah memasukan data pribadinya kepada formulir data pasien dari perempuan yang diantarnya. Dan perawat di rumah sakit telah melakukan kesalahan karena telah menganggap bahwa Frank adalah ayah dari bayi yang akan dilahirkan. Sebelum Frank sampai ke rumahnya, perawat di rumah sakit telah menelpon ke rumahnya, yang diangkat oleh Susan, dan mengabarkan kelahiran sang bayi. Bisa dibayangkan, situasi menjadi kian rumit bagi Frank.

Bagi Susan, fakta bahwa di kamar hotel suaminya ada seorang perempuan lain, dan kini ditambah sebuah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa suaminya baru saja memiliki anak dari seorang perempuan lain, dijadikan data bahwa suaminya, Frank, telah berbohong kepadanya selama ini. Dan itu sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk mengusir suaminya dari rumah. Bagi kita, yang menonton film itu, kita tahu persis bahwa narasi yang dialami Frank (N1) tidaklah sebagaimana narasi yang disimpulkan oleh Susan (N3), meskipun Susan menarik kesimpulannya dari fakta dan data yang sungguh-sungguh dialami suaminya.

Persis di situlah kita perlu menyadari bahwa fakta dan data memang tidak bisa berbicara atau menulis narasinya sendiri, karena setiap fakta dan data mengada dalam struktur naratif yang telah menciptakannya. Tanpa pertama-tama memperhatikan struktur naratif yang telah melahirkan fakta dan data itu, penarasian ulang dari fakta dan data tadi bisa jauh panggang dari api.

Oleh karenanya, setiap kali berhadapan dengan survei-survei politik, saya pertama-tama selalu teringat pada nasib buruk yang dialami Frank.


*) Tulisan ini dimuat di http://www.the-geotimes.com/component/k2/narasi-dan-realitas-politik.html.

MÁRQUEZ (1927-2014)



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film.

Saya pertama kali membaca “One Hundred Years of Solitude” dengan banyak mengernyitkan dahi. Ini novel yang mengguncang, bertenaga, dan rumit. Kerumitan yang bikin frustrasi adalah untuk membedakan nama-nama enam generasi keluarga José Arcadio Buendia yang mirip satu sama lain. Nama-nama itu akan membuat pening setelah Anda melewati seratus lima puluh halaman pertama. Coba bayangkan, José Arcadio Buendia punya tiga anak, Aureliano Buendia, José Arcadio dan Amaranta. Aureliano Buendia punya anak, salah satunya Aureliano José. José Arcadio punya anak, namanya Arcadio. Arcadio, cucu José Arcadio Buendia, punya tiga anak, yaitu Remedios, Aureliano Segundo, dan José Arcadio Segundo. Aureliano Segundo, anak kedua Arcadio, punya tiga anak, yaitu Renata Remedios, José Arcadio, dan Amaranta Ursula. Bayangkan, semakin jauh membaca, agar tak kehilangan jejak soal posisi generasional kita harus selalu kembali ke halaman pertama yang berisi silsilah keluarga José Arcadio Buendia, karena semakin banyak nama yang muncul secara bersamaan. Itulah karya Gabriel Garcí­a Márquez yang pertama saya baca. Dan itu adalah novel yang sangat memikat.

Sebelum membaca novel itu, saya kebetulan sedang membaca risalah-risalah mengenai Taman Siswa dan sangat terkesan oleh sebuah karangan Ki Hadjar Dewantara yang terbit pada 1938. Dalam karangan mengenai pendidikan nasional dan azas-azas Taman Siswa itu, Ki Hadjar, mungkin dengan sedikit meminjam Tagore, menulis:

“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.”

Saya adalah anak muda yang masih duduk di tahun-tahun awal kuliah dan memiliki kegairahan teramat sangat untuk mengetahui dan memahami apapun, waktu itu. Dan karangan itu berhasil mencuri kegelisahan saya.




Karenanya, ketika ketemu “One Hundred Years of Solitude”, sejak halaman pertama Márquez langsung menarik perhatian karena narasinya berhasil meletupkan kembali kegelisahan yang pertama kali diprovokasi Ki Hadjar tadi: “Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.” Bagi saya, waktu itu, cara Marquez membuka halaman pertama novelnya memiliki ikatan batin dengan cara Ki Hadjar merumuskan persoalan pendidikan nasional tahun 1938 itu, yang belakangan saya sebut sebagai “kekerabatan epistemik post-kolonial”.

Saya tidak ingat, apakah perkenalan dengan karya-karya Márquez mendahului perkenalan dengan karya-karya Jorge Luis Borges, atau sebaliknya. Tapi yang jelas, pada diri saya, ada tali yang mengikat dua narasi itu dengan sebuah puisi Borges:

Terberai di kota-kota berjauhan
sendiri dan berlaksa
kita bermain sebagai Adam
(atau Hawa)
memberi nama segala.
Di lereng panjang malam hari
di tapal batas dini hari
kita mencari (masih kuingat) kata-kata
untuk bulan, untuk maut, untuk pagi

Ketiga risalah tadi, merupakan tulisan-tulisan yang telah membentuk imajinasi awal saya mengenai “otonomi intelektual” dan “otentisitas”. Setiap orang yang merasa dirinya terpelajar harus terpanggil untuk menjadi Adam, atau Hawa, dengan berusaha “memberi nama segala”, dan tak gampang terikat kepada nama-nama yang telah terberi.

Selain “One Hundred Years of Solitude”, saya berkenalan dengan novel Márquez lainnya melalui sebuah film, “High Fidelity”. Ya, itu adalah filmnya John Cussack. Entah kenapa saya selalu menyukai untuk menonton semua “film brengsek” aktor yang satu ini. Dalam film itu, Cussack membaca dan banyak menyebut novel “Love in the Time of Cholera”. Tentu saja, selain dari daftar pustaka buku-buku yang pernah dibaca, kita bisa menjadikan film sebagai referensi mencari buku bermutu. Saya juga melakukannya. Dari film “With Honour”, misalnya, saya mulai membaca Walt Whitman dan Emile Zola. Dari “The Unbearable Lightness of Being”, yang novel dan filmnya sama-sama membuat mabuk kepayang, saya belajar membaca Tolstoi.




Untuk mengenang Márquez, yang baru saja berpulang, saya selalu terkenang pada kata-kata “satire”-nya yang selalu bisa menerbitkan gelak: “The problem with marriage is that it ends every night after making love, and it must be rebuilt every morning before breakfast.” Tapi, tentu saja tak ada yang lebih menggetarkan dari novel “Love in the Time of Cholera”, selain kalimat brengsek yang selalu membuat saya tercenung: “The only regret I will have in dying is if it is not for love.”

Adios, Gabo.

SEJARAH, INGATAN DAN NOVEL



Oleh Tarli Nugroho
Penyuka sastra; Bekas penonton film


Membaca sejarah itu seperti membaca novel. “By its very nature, the novel indicates that we are becoming. There is no final solution. There is no last word.” Begitu yang ditelatahkan Carlos Fuentes. Namun, kita seringkali menyalahpahami sejarah. Kita sering mengaburkan “history” dengan “memory”, membaurkan sejarah dengan ingatan. Dan sebagai ujungnya, impak dari “penyejarahan ingatan”, kita hanya mampu melihat sungai waktu dari kacamata oposisi biner: ingat-lupa, pelaku-korban, atau baik-jahat. Persoalannya, sejarah hanya bisa memberi pelajaran jika kita mampu membacanya secara metodik, tak sekadar ingat dan lupa. Sebab, dalam banyak hal, kita cenderung hanya mengingat apa yang ingin kita ingat saja, tanpa menguji kualitas ingatan itu. Dan cara macam itu tak akan mengajari kita apapun selain sekadar merawat penalaran yang hanya penuh dengan penyangkalan, antitesis, dan menghardik-hardik. Inilah yang telah membuat cara kita bersikap kepada sejarah banyak didominasi oleh perasaan kebencian, penolakan, dan negativitas.


Kesalahpahaman itu barangkali telah berlangsung sejak lama, sejak Sutan Takdir Alisjahbana menghardik-hardik Sriwijaya dan Majapahit dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi di pertengahan dekade 1930-an. Bagi Takdir, masalah Indonesia di kuartal kedua abad keduapuluh adalah “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan “kurang egois”. Dan semua ikatan yang menyandera itu terhubung kepada Sriwijaya, Majapahit, Hinduisme, Buddhisme, dan Islamisme. Pendek kata, Takdir sedang mendakwa kejumudan di masa itu sebagai buah dari masa lalu, yang penanggung jawabnya merentang hingga ke zaman Sriwijaya.





Dan untuk keluar dari belenggu masa lalu itu, Takdir langsung melancong ke masa depan dengan melupakan tautan keduanya. Apa yang dimaksud dengan “masa depan” tentunya tiada lain adalah Barat. Persoalannya, persis pada titik sebagaimana dikemukakan Takdir masa itu, Barat telah menjadi bukan lagi kategori geografis maupun sosial yang netral, melainkan telah menjadi sebuah kategori yang superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni. Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji yang demikian, hadir tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran terhadap modernitas dengan melakukan kremasi terhadap masa lampau. Pendek kata, di Indonesia, modernitas dilakukan dengan penyangkalan terhadap masa lalu dan pengejaran terhadap sesuatu yang berada di luar sana.

Barangkali, persis di sinilah kekerabatan post-kolonial kita dengan Amerika Latin berselisih jalan. Hampir seperempat abad silam, pada kuliah Nobel Kesusastraan-nya, Octavio Paz, mencoba menelatahkan kediriannya dengan lebih baik. “Kami adalah orang Eropa, walaupun bukan!” ujarnya ironik. Dalam sungai waktu, Amerika Latin memang telah dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka juga tak bisa sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit pergunjingan mereka mengenai identitas. Lalu, ke manakah mereka harus menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka orang Eropa.




Namun, dan ini yang membedakannya dengan kita, Amerika Latin cepat tersadar untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa, dan tak pernah menghardik-hardik masa lalunya. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa Meksiko Pra-Kolombia telah tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia masih berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, seni rakyat, dan adat istiadat. Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin diam-diam melakukan pemberontakan atas Eropa. Benar kata Pablo Neruda, Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.

Maka, demikian kata Paz, dalam kaitannya dengan modernitas, alih-alih dicari dengan menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam; terkubur, namun masih hidup. Mereka tidak menyalahkan masa lalu, menanggalkan, atau menyangkalnya, melainkan mengolahnya sebagai ramuan untuk merumuskan kedirian dan kekinian mereka.

Sungguh kontras sekali dengan kita. Sejak kita menghapus bahasa dan gelar Belanda dari perguruan tinggi pasca-Proklamasi, sejak rezim Soeharto mengajari kita untuk mengkhawatirkan apapun yang berhubungan dengan Soekarno yang merupakan pendahulunya, pada hari ini kita juga masih saja bertegak risau dengan segala hal yang berhubungan dengan Soeharto. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah Indonesia modern adalah sejarah yang bertarung dengan masa lalunya. Sejarah kita selalu berisi kerisauan terhadap masa lalunya. Dan sebagian kaum terpelajar kita menghelat pertarungan terhadap masa lalu itu sebagai proyek personal pencerahannya.

Apakah semua itu, kecenderungan kita untuk selalu bertarung dengan masa lalu, atau penyangkalan terhadapnya, merupakan sebab kita tak pernah tanggap pada masa depan dan bingung mendefinisikan hari ini? Entahlah.

Cara bersikap demikian itu mungkin terjadi karena historiografi kita terlampau bersifat politik-sentris, dimana pembabakannya hingga kini masih saja ditandai oleh tapal batas pergantian rezim. Dengan model historiografi yang demikian, sudut pandang kitapun rentan mengidap penyakit oposisi biner, yang bersifat terlalu “politis”—dalam pengertiannya yang sangat peyoratif, sebagaimana telah disebut di awal.

Persis di soal ini, kita kabur dalam membedakan sejarah dari ingatan. Dalam “Insider”, sebuah film yang dibintangi Russell Crowe dan Al Pacino, ada dialog yang menarik antara Crowe dengan Pacino, mengenai bagaimana kebanyakan orang sesungguhnya tidak peduli kepada apa yang telah dilakukan orang lain seumur hidupnya, yang merupakan representasi dari “history”, karena mereka hanya akan mengingat apa yang terakhir kali dilakukannya saja. Ada Tembok Berlin yang memisahkan “history” dengan “memory”. Namun, tak banyak orang yang menyadarinya.




Sekarang, bagaimana kita mendefinisikan “yang terakhir kali” itu?! Di hadapan sungai waktu, “terakhir kali” adalah sebuah konsep yang sangat mengambang. Apa yang terakhir kali dilakukan hari ini akan menjadi masa lampau keesokan harinya. Dan setiap hari, apa yang disebut “terakhir kali” itu terus-menerus diciptakan. Tentu saja, ingatan mengenai masa lalu sangat penting, agar kita tidak menjadi seorang pelupa. Tapi, kita juga sebaiknya tidak melupakan satu hal: sejarah bukanlah sebuah penjara dimana mereka yang terkurung di dalamnya mustahil untuk bebas atau melarikan diri. Sejarah bukan hanya mengenai apa yang telah jauh melampau, karena bukankah sejarah juga terus-menerus dicatatkan setiap hari?!

Persis di situ kita harus bisa membedakan “sejarah” dari “ingatan”. Sejarah selalu memproduksi “terakhir kali” yang lain. Setiap hari. Sementara ingatan, ia memenjarakan kita di kelampauan.


*) Tulisan ini bisa dibaca juga di http://www.geotimes.co.id/blog/994-sejarah,-ingatan,-dan-novel.html