Rabu, 17 September 2014
PROFESIONAL ATAU VOKASIONAL?
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
Pada 1917, Weber memberikan kuliah penting, “Wissenschaft als Beruf”, di Universitas Munich. Kuliah itu kemudian dilanjutkan dengan kuliah kedua persis pada saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya, yaitu pada pengujung 1919, yang menandai perubahan kekaisaran Jerman menjadi sebuah negeri republik. Pada kuliah keduanya, Weber memberikan materi “Politik als Beruf”. Masing-masing materi kuliah tadi, “Wissenschaft als Beruf” dan “Politik als Beruf”, diterjemahkan menjadi “Science as a Vocation” dan “Politics as a Vocation” dalam bahasa Inggris. Jadi, kata “Beruf” diterjemahkan sebagai “Vocation”.
Sebenarnya, jika kita membuka kamus Jerman-Inggris, kata “beruf” mencakup baik pengertian kata “profession” maupun “vocation”. Hanya saja, kenapa yang digunakan sebagai padanan adalah “vocation”, dan bukan “profession”?
Pertanyaan ini menarik, karena dalam kuliahnya yang kedua itu Weber, dengan meminjam Shakespeare, mengibaratkan bahwa langit Jerman sedang diliputi awan gelap. Dan jika ingin keluar dari kemelut yang sedang mengurung waktu itu, maka yang dibutuhkan bukanlah semangat “profesionalisme”, tapi “vokasionalisme”.
Jadi, apa bedanya profesional dengan vokasional?
Dalam masyarakat kita, apresiasi terhadap kaum profesional demikian tinggi. Profesional dicitrakan sebagai seseorang yang terampil, efisien, bertanggung jawab, obyektif, jujur, serta berbagai atribut positif lainnya. Lazim kita temukan bahwa segala hal yang kurang bagus, atau ketidakbecusan dalam pekerjaan, disebut sebagai “tidak profesional”. Pendek kata, profesional adalah sesuatu yang memiliki citra serba positif. Hampir tanpa cela. Benarkah?
Padahal, kalau kita membuka kamus, baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, pengertian “profesional”, sebenarnya tak lebih dari “tenaga bayaran”. Seorang profesional adalah orang yang menjual keterampilan dan keahliannya untuk mendapatkan bayaran. Nothing personal, nothing emotional, just business. Begitulah para profesional. Pertanyaan tentang intensi, dedikasi, emosi, serta keberpihakan, secara definitif berada di luar jangkauan pengertian profesionalitas.
Berkebalikan dengan itu, seorang vokasional adalah orang-orang yang teguh pada prinsip, memiliki intensi dan keterpanggilan yang kuat terkait bidang pekerjaannya.
Cukup menarik untuk memperhatikan, bahwa berbeda dengan pengertian profesional dalam kamus, yang selalu menyertakan keterangan soal imbalan dan bayaran, maka terhadap kata vokasional ini, meskipun masih terkait dengan soal pekerjaan, tapi soal imbalan dan bayaran tadi tidak pernah disertakan sebagai bagian dari pengertiannya. Artinya, profesional memang adalah tenaga terdidik bayaran, yang memperjual-belikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilannya. Sementara, vokasional adalah orang yang bekerja untuk panggilan jiwanya.
Tingginya penghargaan dan anggapan terhadap kaum profesional dalam masyarakat kita sebenarnya merupakan produk dari hegemoni sistem ekonomi-pasar. Pasar berhasil mengkonstruksi bahwa kasta tertinggi dalam piramida ekonomi diduduki oleh golongan dengan bayaran terbesar. Semakin besar bayarannya, mereka dianggap semakin profesional, dan semakin tinggi pula posisinya. Itu sebabnya, jika seorang dosen, misalnya, dituntut untuk “profesional”, maka hal pertama yang akan mereka tagihkan pasti adalah bayaran. Seorang profesional memang tak lebih dari mereka yang memperjual-belikan pengetahuan dan keterampilannya.
Sayangnya, sensitivitas kita terhadap “operasi-pasar” di panggung kekuasaan sangat lemah jika dibanding sensitivitas kita terhadap “operasi-politik” dari partai politik, sehingga kita lebih sering hanya waspada pada para "profesional-politik" daripada "profesional-pasar". Kadang kita lupa, bahwa para predator politik itu bukan hanya ada di tubuh partai politik, tapi terutama berasal dari pasar. Seperti pernah ditulis Hatta, dalam negeri-negeri demokratis, korporasi sebenarnya merupakan suatu oligarki. Korporasi adalah kekuatan oligarki yang riil, karena mereka bukan hanya bisa mengontrol pasar, tapi juga mengontrol partai politik. Mereka tidak pernah ikut pemilu, tidak pernah diserahi mandat, tetapi selalu bisa mengendalikan apapun hasil pemilu.
Nah, jika partai politik punya “petugas partai”, maka petugasnya korporasi adalah “kaum profesional”. Jadi, kenapa kita bangga sekali kalau porsi kabinet pemerintahan baru nanti akan lebih banyak diisi oleh kaum profesional?
Yogyakarta, Selasa, 16 September 2014
KABINET WACANA
Oleh Tarli Nugroho
Seperti yang sudah diduga, ekspektasi bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan dalam susunan kementerian dan postur kabinet, meskipun susunan lengkapnya belum dirilis, berakhir anti-klimaks. Dan ini sebenarnya tidak mengherankan. Sejak bakal pemerintahan baru Jokowi-JK menjadikan isu harga BBM sebagai titik tolak untuk membahas anggaran negara, kita sudah bisa melihat bahwa mereka sebenarnya tidak cukup serius mau menawarkan alternatif.
Drama pengumuman komposisi kabinet, sebagaimana yang terjadi kemarin, akhirnya lebih terlihat sebagai upaya untuk menggoreng emosi publik saja, agar mereka tetap aware dengan pemerintahan baru yang akan dilantik. Sebab, pemerintahan baru nanti memang sedang terancam anti-klimaks bahkan sejak sebelum mereka dilantik.
Tidak konsistennya pernyataan-pernyataan bakal pemerintahan baru terkait isu subsidi, susunan kementerian, postur kementerian, perampingan dan penggabungan kementerian, munculnya kementerian baru, serta terlalu banyaknya alternatif tawaran susunan kabinet yang pernah dirilis oleh Rumah Transisi, sebenarnya bisa dijelaskan dengan dua titik pandang.
Pertama, sejak awal pemerintahan baru ini memang tidak memiliki cetak biru agenda yang jelas. Apa yang disebut sebagai program kerja itu tak lebih merupakan konsep dadakan. Munculnya pernyataan-pernyataan yang tidak konsisten terkait sebuah isu sebenarnya merupakan gejala dari kekosongan agenda tadi. Untuk mengisi celah kosong agenda tersebut maka diproduksilah banyak wacana spontan. Dan karena diproduksi secara spontan, tentu saja wacana-wacana tadi tidak sinkron satu sama lain.
Rencana pemerintahan baru untuk menggabungkan Kementerian Pertanian (KP) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi satu kementerian, misalnya, yaitu menjadi Kementerian Kedaulatan Pangan, adalah salah satu buktinya. Apa urgensinya penggabungan tadi, jika kemudian pemerintahan baru merencanakan membuka Kementerian Kemaritiman juga? Apa bedanya Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Kemaritiman? Jika sekadar mengubah orientasi, kenapa Kementerian Kelautan dan Perikanan harus digabungkan dengan kementerian lain, dan bukannya dipertahankan saja dengan penambahan portofolio tugasnya? Atau, jika sekadar mengubah orientasi, apa perlunya mengubah nama menjadi Kementerian Kemaritiman?
Hadirnya ide Kementerian Kedaulatan Pangan sebagai hasil gabungan Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga bermasalah. Pangan dan kedaulatan pangan adalah isu hilir di bidang agro-kompleks (pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan), bukan sebuah bidang kerja yang bisa dijadikan dasar taksonomi kementerian. Bukankah kita tidak perlu membuat Kementerian Reboisasi hanya karena banyak hutan kita yang gundul? Atau, memang tim perumus kebijakan pemerintahan baru menganggapnya perlu?!
Sampai di situ, kita bisa menyimak bahwa tawaran-tawaran perubahan yang disajikan sebenarnya sekadar wacana saja, yang bobotnya tidak substantif.
Lagi pula, jika Kementerian Kedaulatan Pangan jadi dibentuk, alih-alih patut diacungi jempol, itu sebenarnya adalah portofolio yang buruk. Sebab, dengan begitu pemerintah telah mereduksi sektor pertanian menjadi sekadar pelayan kebutuhan pangan, bukan sebagai sektor ekonomi rakyat yang vital dan strategis.
Mereka yang belajar di fakultas-fakultas agro-kompleks sejak lama telah mengenal seloroh bahwa Departemen Pertanian (kini Kementerian) sebenarnya lebih tepat diberi nama “Departemen Tandur” (tandur = tanam), karena praktis dari seluruh rantai proses dan produksi yang terkait dengan sektor pertanian, hanya soal bercocok tanam saja yang bisa diurusi oleh kementerian ini. Soal pupuk, misalnya, soal produksi dan distribusinya menjadi kewenangan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Begitu juga dengan produksi hasil pertanian, soal pengolahan dan perdagangannya bukan lagi menjadi domain Kementerian Pertanian. Apalagi, manajemen stok pangan juga dipegang oleh Bulog. Apalagi tersisa kecuali sekadar pengatur bercocok tanam saja?
Kondisi itu telah menempatkan petani dan sektor pertanian bukan sebagai manusia dan sektor produksi yang harus diperlakukan sebagai sektor ekonomi yang bisa menghasilkan nilai tambah, melainkan menjadikan keduanya sekadar pelayan kepentingan masyarakat industrial saja, yang membutuhkan pasokan pangan murah dalam stok yang mencukupi. Semua program di kementerian pertanian, jika kita simak, hanya berorientasi kepada output sektor pertanian, tidak pernah memperhatikan insentif yang diterima oleh para petani. Munculnya Kementerian Kedaulatan Pangan, meski portofolionya belum selesai, secara verbal telah semakin mereduksi posisi dan fungsi dari petani dan sektor pertanian tadi.
Hadirnya gap antara “intended goal” dengan “unintended goal”, sebagaimana terjadi dalam isu Kementerian Kedaulatan Pangan tadi, hanya mungkin lahir dari sebuah perencanaan yang spontan, sehingga konsepnya memiliki banyak lubang, tidak matang dan koheren. Sekali lagi, semua itu hanya mungkin terjadi karena tidak ada cetak biru agenda yang jelas sejak awal.
Kedua, dapur kekuasaan pemerintahan baru ini disokong oleh infrastruktur kekuasaan yang saling bertarung dan tidak sinkron satu sama lain. Ini adalah sumber inkonsistensi yang kedua. Paling tidak, ada tiga kekuatan kasat mata yang saling bertarung di dapur kekuasaan pemerintahan baru, yaitu pihak (1) Megawati yang menguasai infrastruktur kekuasaan di PDI-P, (2) Jusuf Kalla yang menguasai dan memoderasi infrastruktur kekuasaan partai politik pendukung, dan (3) Jokowi yang didukung oleh para relawan. Sebenarnya, ada kekuatan yang keempat, yang tidak kasat mata, yaitu “kekuatan anonim (pasar)”. Isu tentang para cukong politik sebenarnya bisa ditempatkan pada keranjang tersendiri tadi.
Meskipun menduduki posisi sebagai presiden, sebagaimana telah lama saya khawatirkan, Jokowi tidak memiliki infrastruktur kekuasaan sendiri di dalam mesin pemerintahannya. Infrastruktur kekuasaannya terletak di luar mesin pemerintahan, dalam bentuk dukungan publik. Persoalannya, sebagaimana telah kita lihat pada isu kabinet ini, dukungan publik ini tidak berfungsi efektif dalam proses negosiasi kekuasaan. Posisi tawar yang kuat tetap diduduki oleh infrastruktur kekuasaan resmi, yaitu melalui partai politik.
Di ranah wacana publik, posisi Jokowi jelas jauh lebih kuat daripada posisi JK dan Megawati. Namun, tidak demikian halnya di dalam proses pengambilan keputusan teknis. Saya menduga, ini merupakan gambaran awal dari yang akan terjadi dalam lima tahun ke depan.
Karena tidak memiliki infrastruktur kekuasaan organik di dalam mesin pemerintahannya sendiri, sebagai presiden maka Jokowi akan lebih banyak terjun ke masyarakat, untuk menggalang dukungan publik. Itu memang harus dilakukannya untuk mempertahankan posisi tawarnya, paling tidak secara simbolik, di hadapan kekuatan-kekuatan lain di dapur kekuasaannya. Sebagai sosok solidarity maker, mudah saja baginya untuk manggalang dukungan publik. Tapi dengan konstelasi yang demikian, maka pemerintahannya nanti akan lebih banyak didominasi oleh produksi wacana saja, sementara agenda yang dieksekusi tetap business as usual.
Yogyakarta, Rabu, 17 September 2014
Sabtu, 06 September 2014
GEORGE
Oleh Tarli Nugroho
Pertemuan
itu kecil, dan dihelat di sebuah tempat yang terpencil. Ada sekira tiga puluhan
orang yang hadir siang itu. Semuanya duduk lesehan, sembari menikmati jajanan
pasar bersama teh dan kopi hitam.
Lelaki itu
duduk di kursi roda, di ujung sana. Rambutnya masih gondrong, dengan janggut
putih memanjang. Topi baret berwarna gelap nangkring di kepalanya. Ia selalu
tampil stylist, persis seperti dandanannya ketika kami bertemu terakhir kali di
Joglo Winasis beberapa bulan sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang Tan
Malaka bersama Harry Poeze.
Meski sudah
kehilangan tubuh gempal dan seluruh kegesitannya, ia masih bisa berkata-kata dengan agak terbata
dan lirih. Kita harus mendekatkan kepala untuk bisa mendengar bicaranya. Namun,
itu adalah sebuah kemajuan yang sangat besar.
Ya. Setelah
bisa bangkit dari serangan stroke kedua yang menyerangnya dua tahun yang lalu,
yang membuatnya harus berbulan-bulan berada dalam perawatan intensif di rumah
sakit, ia kini sudah bisa bicara dengan kosakata tertata. Hanya, ia memang tak
lagi mudah mengingat. Ketika adik kandungnya, yang duduk persis di sampingnya,
memberikan testimoni mengenai dirinya, lelaki itu bertanya dengan memberi kode
kepada isterinya yang duduk jauh di seberang, siapa gerangan yang sedang bicara
ini. Adegan itu kontan memancing gelak. Sang adik hanya bisa berseloroh, “Iya tho, karo
aku wae lali.”
Lelaki itu
adalah George Junus Aditjondro. Dan pertemuan kecil itu, yang berlangsung
Jumat, 5 September 2014 kemarin, adalah sebentuk pesta perpisahan untuknya.
Sebab, Sabtu pagi tadi, George terbang ke Palu untuk menetap di sana.
Saya
mengenal nama George waktu duduk di bangku SMP. Waktu itu, perpustakaan sekolah
saya menyimpan cukup baik sejumlah Majalah Tempo
tahun 1970-an. Dan sejak pertama kali bisa menikmati membaca Majalah Bobo di bangku kelas tiga sekolah dasar,
saya memiliki kebiasaan untuk selalu memperhatikan dan mengingat nama-nama
pengelola setiap media yang dibaca. George, bersama dengan Putu Wijaya, Salim
Said, Bur Rasuanto, dan Martin Aleida, adalah nama-nama dalam boks redaksi Tempo yang saya catat baik-baik. Tentu
saja, selain Goenawan Mohamad pastinya.
Tak banyak
karangan George yang saya ingat. Namun tulisan-tulisannya mengenai Papua memang
sudah muncul sejak ia masih bekerja di Tempo.
Salah satu artikelnya yang pernah saya baca waktu SMP menulis tentang hutan
bakau di sana. Ya, nama George memang identik dengan Papua, jauh sebelum
berbagai peneliti lain menabalkan namanya sebagai pengkaji pulau terkaya di
Indonesia itu. George, sebagaimana testimoni seorang rekannya, Imam Yudotomo,
yang telah mengenalnya sejak 1970-an, adalah pelopor pendiri LSM di Papua. Tak
heran, sebagaimana juga pengakuan seorang kawan, di Papua nama George sudah
hampir sebentuk mantera. Sebutkan saja namanya, maka Anda akan segera dihormati
orang-orang sana.
Selain soal
Papua, George termasuk salah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang sejak
lama banyak menulis dan menyoroti soal korupsi. Sejak jauh-jauh hari, sebelum
George menulis buku “Membongkar Gurita
Cikeas” (2009) yang menghebohkan dan membuat namanya kembali terkenal lima
tahun lalu itu, soal korupsi telah menjadi pusat perhatiannya. Secara
kebetulan, buku pertamanya yang saya beli adalah “Membongkar KKN Keluarga Besar Habibie”. Buku itu saya beli pada 5
Oktober 1998, di sebuah kios koran di jalan protokol di Karawang.
George,
yang menggondol gelar doktor dari Universitas Cornell, memang lebih menekuni
jalan hidup sebagai “intelektual jalanan” daripada sebagai intelektual kampus
yang “mriyayi”, yang congkak dengan
sofistikasi akademik, namun miskin dan terbata ketika dimintai praktik. Ia
lebih terpanggil untuk terlibat dan meleburkan diri dalam banyak persoalan
lapangan daripada soal keilmuan. Dan barangkali hal ini pula yang membuat
namanya tak mentereng di jajaran ilmuwan, dan pesta perpisahannya hanya
dihadiri orang-orang jalanan.
Saya kadang
melihat soal ini dengan ironi. Di dalam masyarakat kita yang masih sangat
lisan, kita menyaksikan pemujaan yang kadang berlebihan terhadap tradisi
literasi. Tindakan sepertinya mendapat penghargaan yang jauh lebih kecil
daripada tulisan. Dimana, mereka yang banyak menulis selalu dianggap lebih
hebat dari mereka yang tulisannya lebih sedikit, dan apalagi dari mereka yang
sekadar bertindak dengan tanpa menulis.
Tentu saja
kita sepakat bahwa tradisi literasi itu penting. Namun kita patut curiga bahwa
selama ini penghargaan terhadap tradisi itu lebih banyak bermakna simbolik
daripada substantif. Maksudnya, penghargaan itu bisa jadi lebih banyak
dipengaruhi dan dibentuk oleh pemujaan terhadap tradisi priyayi dalam
masyarakat kita, dimana pekerjaan halus dianggap lebih tinggi derajatnya
daripada pekerjaan kasar.
Seandainya
penghargaan terhadap tradisi literasi itu bersifat benar-benar, tak sekadar
simbolik, nyatanya hingga kini dunia kesarjanaan kita belum juga melahirkan
sebuah tradisi pemikiran yang solid dan konsisten. Bukankah itu mustahil
terjadi jika kita benar-benar menghargai tradisi literasi secara substantif?
Di forum
kecil yang menjadi pesta perpisahan bagi George, ironi itu hadir dengan tajam.
George, lelaki di atas kursi roda itu, tentu saja tidak menginginkan
penghargaan atas jerih payahnya. Forum sederhana itu saja sudah cukup menitikan
air matanya. Ia hanya minta didoakan agar kesehatannya bisa pulih kembali,
sehingga bisa berkarya lagi. Seorang anaknya bercerita, bagaimana papanya
sampai menangis tersedu-sedu pada suatu hari hanya karena ingin kembali bisa
membaca buku. Sebuah cerita yang membuat kami yang hadir menundukkan kepala.
Terharu.
George pagi
tadi sudah terbang ke Palu. Ribuan bukunya, dan berbagai arsip miliknya,
ditinggalkannya di Yogya, kota yang sangat dicintainya; namun yang juga pernah
mengusirnya, hanya karena George pernah mengkritik penguasanya. George
menghibahkan buku-bukunya pada sebuah perpustakaan publik di belakang kampus
ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, yang dikelola oleh anak-anak muda
yang mencintainya.
Selamat
jalan, George. Kami akan merindukanmu.
Yogyakarta, Sabtu, 6 September 2014
Langganan:
Postingan (Atom)