Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
Rencana
pemerintahan baru untuk membagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu kementerian yang mengurusi
pendidikan dasar dan menengah dengan kementerian yang mengurusi pendidikan
tinggi dan riset, terus terang menerbitkan tanda tanya. Siapakah gerangan
penggagas konsep tersebut? Apa yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut?
Sudahkah konsep awalnya diuji dengan melibatkan para ahli yang kompeten dan
mumpuni? Lalu, dimana nomenklatur "kebudayaan" akan ditempatkan?
Pertanyaan-pertanyaan
itu harus dikemukakan mengingat implikasi dari rencana tersebut tak bisa
dianggap enteng. Namun, sementara ini, di atas kertas rencana pemisahan
Kemdikbud menjadi dua kementerian tadi bisa kita anggap sebagai terusan dari
sejumlah salah kaprah yang telah berlangsung di dunia pendidikan kita dalam
lima belas tahun terakhir.
Salah
kaprah pertama adalah diubahnya (nama) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menjadi Departemen Pendidikan Nasional pada masa pemerintahan Gus Dur (1999),
dimana nomenklatur kebudayaan dihilangkan darinya. Dikeluarkannya nomenklatur
kebudayaan dari kementerian pendidikan ini berlangsung hingga 18 Oktober 2011,
ketika pemerintahan SBY mengumumkan perubahan susunan (reshuffle) Kabinet
Indonesia Bersatu II. Dalam perubahan itu, nama Kementerian Pendidikan Nasional
dikembalikan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dikeluarkannya
nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan secara konseptual merupakan
kekeliruan fatal. Pendidikan, menurut Daoed Joesoef (1981), merupakan bagian
dari kebudayaan, dan tidak pernah merupakan sebaliknya. Pendidikan merupakan
instrumen untuk mewariskan, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan. Meskipun
pada zaman ini isi kebudayaan semakin banyak yang berasal dari sumbangan ilmu
pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tadi bukanlah kebudayaan itu sendiri,
melainkan sekadar produk saja dari kebudayaan yang menjadi inangnya.
Jika
pendidikan dipisahkan dari kebudayaan, lantas pendidikan menjadi instrumen dari
apa?
Salah
kaprah yang kedua adalah ihwal munculnya status BHMN (Badan Hukum Milik
Negara), lalu BHP (Badan Hukum Pendidikan) dan terakhir BLU (Badan Layanan
Umum) sebagai identitas hukum bagi lembaga pendidikan. Munculnya status-status
ini telah menempatkan tata kelola pendidikan nasional menjadi subordinat dari
tata administrasi keuangan dan perbendaharaan negara.
BLU, kita
tahu, adalah anak kandung UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Merujuk
kepada kriteria yang disebut oleh UU tersebut, seperti bahwa BLU dikelola
secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas a la korporasi, nampak
sekali bahwa spirit dibentuknya BLU adalah untuk “mewirausahakan” birokrasi.
Meskipun dibentuk bukan untuk mencari keuntungan, BLU memiliki ciri seperti
korporasi. Misalnya, pada pasal 69 ayat (6) disebutkan bahwa pendapatan BLU
dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan.
Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau
sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Singkatnya,
BLU pertama-tama adalah konsep mengenai perbendaharaan negara yang terutama
lebih banyak terkait dengan soal pengelolaan keuangan. Cukup jelas, dengan
kerangka itu BLU tidak bisa memberikan orientasi terhadap substansi pendidikan.
Jika pengelolaan lembaga pendidikan hanya menginduk kepada tata aturan
pengelolaan keuangan, maka secara tidak langsung kegiatan pendidikan telah
direduksi semata menjadi soal administrasi.
Soal
berikutnya, dengan ciri wirausaha tadi, sulit untuk disangkal bahwa BLU memang
sengaja didorong untuk melakukan komersialisasi. Pada intinya, pelayanan yang
dilakukan oleh BLU tidak lagi berada dalam kerangka melakukan pelayanan
terhadap public goods (dimana semestinya masyarakat tidak perlu membayar),
melainkan dalam kerangka private goods (dimana daya beli menjadi ukuran). Karena
diterapkan bagi dunia pendidikan, maka BLU sebenarnya merupakan terusan dari
konsep awal privatisasi dunia pendidikan yang telah dimulai sejak 1999.
Salah
kaprah yang ketiga adalah jargon tentang “universitas riset”. Tugas utama yang
diemban oleh universitas dimanapun adalah pendidikan. Riset bukanlah tugas
universitas sebagai sebuah lembaga, melainkan tugas personal dari para sarjana
yang berada di dalamnya dan para sarjana yang dihasilkannya. Itupun dengan
catatan bahwa riset yang dilakukan di universitas pertama-tama bukanlah untuk
tujuan komersial, melainkan untuk menunaikan dharma “ilmu pengetahuan sebagai
proses” (science in term of process), sebagai pelengkap kegiatan pengajaran di
kelas yang merupakan bentuk dari diseminasi “pengetahuan sebagai produk”
(science in term of product).
Kegiatan
riset, baik untuk keperluan komersial maupun instrumental lainnya, telah
dinaungi oleh kementerian dan lembaga-lembaga milik negara lainnya, seperti
LIPI, Batan, Dewan Riset Nasional, dan lain-lain, termasuk diselenggarakan oleh
departemen litbang di berbagai perusahaan dan lembaga swasta.
Dua salah
kaprah terakhir tadi, yaitu soal tata kelola sistem pendidikan yang tunduk
kepada tata kelola perbendaharaan negara, serta salah kaprah isu universitas
riset ini, sebenarnya semakin jelas menunjukkan bahwa pendidikan nasional kita
dalam lima belas tahun terakhir ini memang secara sengaja dikondisikan untuk
menjadi instrumen dari kepentingan pasar.
Oleh
karenanya, dapur perumus kebijakan dari pemerintahan baru yang akan dilantik
bulan Oktober nanti harus membuka latar belakang dan rumusan konseptual yang
melatarbelakangi rencana pemisahan Kemdikbud menjadi dua kementerian
sebagaimana telah disinggung di muka.
Dimana dan
dengan cara bagaimana pemerintahan baru nanti akan menempatkan nomenklatur kebudayaan?
Daoed Joesoef, dalam berbagai karangannya, kerap menulis bahwa salah satu sebab
lapuknya pendidikan adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya. Menurutnya, pendidikan adalah
bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan. Sehingga pemisahan pendidikan
dari kebudayaan akan bersifat destruktif bagi keduanya.
Pendidikan,
untuk dapat menjalankan fungsi-fungsinya, memerlukan nilai-nilai
instrumental. Nilai-nilai
tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan inangnya. Dengan demikian
menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang kita kembangkan untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa”—sesuai amanat Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.
Selain itu, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, maka sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”. Sebab, dalam pengertian kebudayaan itulah terkandung penjelasan bagi pendidikan. Tanpa itu, maka pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.
Selain itu, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, maka sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”. Sebab, dalam pengertian kebudayaan itulah terkandung penjelasan bagi pendidikan. Tanpa itu, maka pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai bagian dari kebudayaan.
Jadi, khusus
mengenai konsep pendidikan, pemerintahan baru harus membuka dan mengujikannya
kepada publik terlebih dahulu. Jangan sampai soal pendidikan yang krusial ini
kita biarkan diatur dan dikacaukan oleh
orang-orang yang, meminjam Daoed Joesoef, mengidap penyakit
"defisit filosofi" dan "defisit intelektual" yang kronis
Yogyakarta,
Kamis, 18 September 2014