Solidaridad adalah toko buku kecil yang didirikan dan dikelola oleh Francisco Sionil José, seorang sastrawan ternama Filipina. Sionil juga mestinya bukanlah nama asing bagi kita. Beberapa karyanya sejak lama telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti “Tokoh-tokoh Munafik” (1981)—yang diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja, “Po-on” (1987), atau “Lelaki di Simpang Jalan” (1988).
Di negerinya, lelaki bertubuh subur itu sangat dihormati. Namanya selalu disebut setarikan nafas dengan Jose Rizal, Nick Joaquin, Paz Marquez, ataupun Gilda Cordero-Fernando dan rekan-rekan segenerasinya yang juga menjulang. Sebagai penulis, reputasi penerima Ramon Magsaysay tahun 1980 ini mendunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Sebagai catatan, selain menulis novel, cerpen, dan esai, Sionil juga menerjemahkan banyak sekali buku. Sebelum mengunjungi toko buku ini, saya telah mendengar banyak cerita menarik mengenai Solidaridad Book Shop. Banyak tokoh dari berbagai negara, mulai dari pemimpin politik, pejabat tinggi pemerintah, dan tentu saja para penulis terkemuka, disebut pernah mengunjungi toko ini.
Suatu pagi, misalnya, Sionil baru saja membuka tokonya dan masih mengenakan celana pendek, ketika sebuah limousine Mercedes-Benz tiba-tiba berhenti di depan tokonya. Dari dalam kendaraan itu segera keluar Adam Malik. Saat itu ia masih menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia. Karena kiprah internasionalnya yang menonjol, Adam Malik cukup dikenal di luar negeri, termasuk di Filipina.
Sionil mengaku sangat tersanjung oleh kunjungan tersebut. Apalagi Adam Malik, yang belakangan naik menjadi Wakil Presiden Indonesia, mengatakan telah lama mendengar tentang toko buku miliknya, sehingga kemudian memutuskan untuk mampir.
Toko buku kecil ini juga menjadi langganan Ninoy Aquino, pejuang demokrasi Filipina. Bahkan, ketika Ninoy dipenjara oleh rezim Marcos, ujar Sionil, dia tak pernah berhenti mengumpulkan bacaan untuknya. Buku-buku itu akan diangkut ke penjara oleh Cory, istri Ninoy, untuk kemudian dipilihnya. Buku-buku yang tak dipilih akan dikembalikan lagi ke Solidaridad. Sionil berani mengklaim bahwa setengah dari koleksi perpustakaan Aquino berasal dari toko bukunya.
Meskipun pernah dikunjungi oleh tokoh-tokoh terkenal, termasuk oleh tiga orang pemenang Nobel Sastra, yaitu Wole Soyinka, Gunter Grass, dan Mario Vargas Llosa, pada kenyataannya toko buku ini telah lebih dulu dikenal orang sebelum dikunjungi oleh tokoh-tokoh tadi.
Sionil sendiri pada awalnya mungkin tak pernah membayangkan semua itu. Selepas dari pekerjannya yang membosankan sebagai petugas informasi di kantor Colombo Plan di Srilanka, Sionil, yang kini berusia 96 tahun, semula hanyalah ingin memiliki kantor penerbitan saja. Dengan memiliki penerbitan, ia membayangkan dirinya bisa terus menulis sekaligus memiliki kantor. Karena tabungannya cukup besar, atas saran mertuanya ia akhirnya membeli sebuah rumah di distrik Ermita, Manila.
Saran itu terbukti baik. Rumah yang terletak di Padre Faura Street, sebuah jalan yang kini terasa agak sempit itu, berada di pusat kota. Selain dikelilingi pusat perdagangan, jalan itu juga dekat dengan berbagai museum, kafe, galeri seni, dan pusat-pusat kebudayaan di Manila. Banyak yang menyebut kawasan itu mirip Montmartre di Paris, yang banyak digunakan oleh para seniman dan intelektual untuk berkumpul, mendirikan toko buku, dan menggelar pertemuan. Saya belum pernah ke Paris, tapi sepertinya setuju dengan penilaian tersebut.
Meskipun mimpinya hanyalah memiliki perusahaan penerbitan, namun karena rumah tua yang dibelinya agak terlalu besar, istrinya, Tessie, mengusulkan agar sebagian ruangan digunakan sebagai toko buku. Sionil langsung menyetujui usulan itu. Toko Buku Solidaridad pun resmi dibuka pada bulan Juni 1965. Saat itu, toko ini adalah toko buku keempat di kawasan Metro Manila. Dan Solidaridad Publishing House lahir tak lama sesudahnya.
Sebagai penulis, Sionil mengaku jika membuka toko buku adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Melalui perantara tokonya, hingga kini ia jadi tetap terhubung kepada para penulis baru dan karyanya. Lebih dari itu, toko buku juga telah membuatnya terus-menerus dikelilingi buku, sebuah dunia yang sejak lama dicintainya.
Di toko bukunya ini, Sionil meniupkan ruh yang tak akan ditemui di toko buku lainnya. Ia menjadikan tokonya sebagai rumah bagi karya-karya sastra Filipina, mulai dari yang klasik hingga kontemporer. Di sini, pengunjung bisa menemui karya klasik seperti “Noli Me Tangere” (1887) karangan Jose Rizal, hingga membaca “Blue Angel, White Shadow” karya Charlson Ong. Tak seorangpun yang meragukan kalau Solidaridad adalah satu-satunya toko buku di Filipina yang paling banyak menjual karya penulis Pilipino.
Melalui Solidaridad, Siolin José ingin memberi kehidupan kepada “jiwa Filipina”. Sejak muda ia memang telah dikuntit kegelisahan. Orang Filipina, dalam penilaiannya, tidak lagi membaca para penulis mereka sendiri. Ia mengecam kenyataan tersebut sebagai telah melanggengkan kolonisasi pemikiran di negaranya.
Itu sebabnya, meskipun toko buku pada dasarnya adalah sebuah bisnis, namun Sionil sepertinya mengkurasi barang dagangannya tidak sebagai pengusaha, melainkan lebih sebagai penulis. Ia, misalnya, menolak untuk menjual buku-buku yang tak disukainya, meskipun buku itu laku di pasaran.
Semua buku yang dijual di Solidaridad memang harus dibaca dan diteliti Sionil terlebih dahulu. Jadi, meskipun mungkin Anda bisa menemukan sejumlah buku tak terduga di sini, namun bisa dipastikan Anda tak akan pernah menemukan novel "Twilight" di dalamnya. Untuk menghidupi jiwa Filipina, sejak awal ia memang berprinsip hanya akan memberi orang Filipina bacaan-bacaan terpilih.
Selain berisi karya-karya sastra dari para penulis Filipina, Sionil juga menyediakan ruang yang cukup besar bagi khazanah kesusastraan dunia, terutama para penulis Asia. Karya-karya penulis Asia Tenggara, Asia Selatan, Jepang, Korea dan Cina, mudah sekali kita jumpai di sini. Dan selain buku-buku sastra, secara selektif Solidaridad juga menyediakan buku-buku politik, sejarah, psikologi, sains dan kedokteran. Barangkali itu adalah cara lain agar orang-orang kampus tetap datang ke tokonya.
Tak heran, meskipun kecil, dengan misi yang diperjuangkan Sionil tadi, Solidaridad kemudian berkembang menjadi spot penting bagi para penulis dan juga dunia kepenulisan di Filipina. Apalagi, toko buku ini juga menjadi markas Philippine Center of International PEN (Poets and Playwrights, Essayists, Novelists), sebuah organisasi yang didirikan Sionil pada tahun 1957. Hingga kini, minimal sebulan sekali, para penulis, dramawan, penyair dan novelis, masih mengadakan pertemuan di Solidaridad, baik untuk berdiskusi maupun untuk meluncurkan buku.
Ketika saya mengunjungi toko ini, tak bisa disangkal ini memang tempat yang menyenangkan. Karya-karya terbaru dipajang di meja yang menghadap keluar di samping kiri dan kanan pintu masuk, sehingga bisa dilihat orang-orang yang lalu lalang di trotoar jalan. Karya-karya Sionil, yang jumlahnya lebih dari 30 buku, diletakkan tak jauh dari kasir.
Banyak foto, poster, lukisan, dan kutipan terpajang di rak, atau pada dinding-dinding yang tak tertutup rak. Saya segera jatuh hati pada kutipan Cicero yang dibingkai dan digantungkan pada sebuah rak. “Sebuah ruangan tanpa buku adalah ibarat tubuh tanpa jiwa,” ujarnya. Ah, siapa yang tak menyukai kutipan itu?!
Sebagai toko buku tua, yang kini telah berusia lebih dari setengah abad, Solidaridad juga banyak didatangi para kolektor dan sarjana asing untuk mencari buku-buku antik. Menurut cerita Sionil, banyak orang asing yang datang ke tokonya dan mengaku terkejut karena akhirnya bisa menemukan sejumlah buku yang telah lama dicari.
Namun, Sionil menolak konsep tentang "buku tua". Menurutnya, buku apapun, meskipun dicetak dua ribu tahun lalu, misalnya, jika belum pernah kita baca, harus dianggap sebagai buku baru. Itu sebabnya, menurutnya, tidak pernah ada yang namanya buku baru atau buku tua. Yang ada hanyalah buku yang sudah dibaca dan belum dibaca.
Sama seperti “bibliofili” lainnya, Sionil juga meyakini bahwa era perbukuan tak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi digital. Orang boleh saja kian banyak yang berbelanja ebook, namun menurutnya toko buku konvensional akan terus ada. Sensasi memegang buku, bagaimanapun memang tak akan pernah bisa digantikan oleh gawai.
Sionil memang sangat mencintai buku, sama seperti ia mencintai profesinya sebagai penulis. Pada tahun 1968, ketika ia mendapat tawaran modal besar untuk membuka cabang di tempat lain, Sionil menolaknya. Ia tidak mau urusan bisnis toko buku akan memangkas waktunya untuk menulis, dan juga tak mau jatah waktu istrinya untuk mengasuh anak-anaknya jadi tersita untuk bisnis. Jadi, tawaran menarik itu dengan halus ditampiknya.
Mungkin semua cerita itulah yang telah menjadikan Solidaridad Book Shop banyak dibicarakan orang, dan kemudian bahkan dianggap sebagai “toko buku kecil terbaik di Asia”. Nyatanya, toko buku kecil itu memang punya jejak sejarah besar.