Oleh Tarli Nugroho
Ketika manajemen Majalah Kawanku diambil alih oleh Gramedia pada tahun 1990, majalah anak-anak ini membangun segmen baru yang berbeda dengan Bobo, Ananda, Siswa, atau Tomtom. Pembaca Kawanku adalah mereka yang tak lagi bisa menikmati Bobo, namun masih terlalu muda untuk membaca Hai. Ia menyasar segmen yang kemudian dikenal sebagai ABG, alias Anak Baru Gede, yaitu anak-anak usia belasan tahun awal yang umumnya duduk di bangku kelas enam SD hingga kelas tiga SMP. Pada umumnya mereka memang tak lagi mau dianggap sebagai “anak-anak”.
Majalah Kawanku versi baru ini, mem-branding dirinya sebagai “Kawanku STIL”. Kata “STIL” merupakan akronim dari “Sudah Tidak Ingusan Lagi”, sesuai segmen usia pembaca yang dibidiknya. Jika dibaca, kata “STIL” ini berasosiasi kuat dengan kata “Style”. Kawanku kini kian “stylish”, atau bergaya. Branding ini, menurut saya sangat kuat dan cerdas.
Pengalaman saya sendiri, sejak duduk di bangku kelas 5, membaca dongeng, legenda, atau cerita pahlawan, yang lazim mengisi halaman majalah anak-anak, memang sudah mulai terasa membosankan. Saya ingin sebuah bacaan baru yang berbeda. Ketika itu saya mulai tertarik membaca cerpen-cerpen romantis, traveling dan petualangan. Di situlah saya ketemu Majalah Aneka Ria, Anita Cemerlang, termasuk Majalah Kawanku dalam versi baru.
Aneka dan Anita sebenarnya usia pembacanya satu segmen dengan Hai. Namun, bagi pembaca kanak-kanak seperti saya, membaca cerita remaja, sebagaimana yang mendominasi halaman Majalah Aneka dan Anita di awal tahun 1990-an, jauh lebih menarik perhatian daripada membaca artikel-artikel yang membahas persoalan remaja. Itu sebabnya, saya baru bisa menikmati Hai, dengan ulasan-ulasan musiknya yang memikat itu, agak belakangan sesudah mulai bosan dengan Kawanku, Aneka dan Anita.
Sesudah diambil alih Gramedia, Kawanku mencoba mengkopi resep keberhasilan Arswendo di Majalah Hai. Wendo memang arsitek penting di balik kesuksesan Hai dan sejumlah media yang diterbitkan Gramedia lainnya. Di Kawanku, ia didapuk menjadi Wakil Pemimpin Umum dan Wakil Pemimpin Perusahaan. Di tangan Wendo, Kawanku ikut menjual Lupus dan cerita Senopati Pamungkas, yang menjadi trade mark Majalah Hai di awal tahun 1980-an. Bahkan, rubrik tebak-tebakan di Majalah Hai, yaitu “Antara Kawan”, juga diboyong ke Kawanku menjadi rubrik “Asbak”, alias “Asal Tebak”. Saya pernah mengirim satu kali tebak-tebakan di Majalah Kawanku saat kelas 6 sekolah dasar. Tapi tidak dimuat.
Tentu ada sedikit modifikasi dalam resep-resep yang ditiru tadi. Jika Majalah Hai memuat Senopati Pamungkas sebagai cerita serial, maka Kawanku memuatnya sebagai komik, dengan ilustrator Teguh Santosa. Dan, jika Hai memuat Lupus sebagai anak SMA, maka di Majalah Kawanku Si Lupus-nya masih SMP. Keriuhannyapun seputar kebengalan anak SMP.
Sebagai penikmat komik-komik Teguh Santosa di Majalah Ananda, kehadiran komik Senopati Pamungkas di Kawanku tentunya segera memikat saya juga. Dua rubrik ini, yaitu komik Senopati Pamungkas, dan juga Lupus, bahkan bisa disebut merupakan mantra pemikat untuk merebut pembaca pertama Majalah Kawanku versi baru ini.
Iklan Kawanku yang menggunakan Senopati Pamungkas sebagai nilai jual. |
Sayangnya, sesudah terbit beberapa edisi, komik Senopati Pamungkas tiba-tiba menghilang dari Majalah Kawanku. Dulu, hilangnya komik ini sangat membingungkan saya. Sebagai pembaca yang hanya bisa menikmati majalah-majalah ibukota dari tukang majalah bekas, saya tak bisa menemukan keterangan kenapa komik ini tiba-tiba putus di tengah jalan.
Kita tahu, pada awal 1990-an, cerita Senopati Pamungkas telah mulai dibukukan menjadi novel berjilid-jilid tebalnya. Iklan penerbitannya juga menghiasi nomor-nomor awal Kawanku versi baru. Lha, tapi kok komiknya putus begitu saja sebelum tamat?!
Puluhan tahun kemudian, sesudah saya tak lagi kanak-kanak, saya baru mengerti jika hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah Kawanku STIL terjadi sebagai efek kasus Monitor. Kasus Tabloid Monitor bukan hanya menjadikan Arswendo sebagai pesakitan, melainkan juga berimplikasi pada pencopotan dirinya dari berbagai jabatan dan posisi di Grup Gramedia. Dan ternyata bukan hanya itu. Komik yang diangkat dari karya Arswendo di Majalah Kawanku juga ikut digusur. Oalah…
Ketika saya bisa memiliki kembali edisi lengkap setengah tahun pertama Majalah Kawanku STIL, saya baru tahu komik Senopati Pamungkas mulai hilang di Majalah Kawanku No. 16, 29 Oktober 1990, yang sampul depannya Richard Dean Anderson, pemeran utama serial televisi MacGyver. Nomor ini terbit sepekan sesudah Tabloid Monitor dibredel. Sesudah saya telusuri, hilangnya komik Senopati Pamungkas dari Majalah Kawanku ini memang tanpa keterangan sama sekali. Di Majalah Kawanku No. 17, secara bersayap redaksi memang sempat menyinggung soal “mendung itu kelabu”.
Saya yakin, ketika itu sebenarnya ada banyak sekali surat pembaca yang pastinya mempertanyakan kenapa komik Senopati Pamungkas tak lagi dimuat Kawanku. Namun, sejauh yang bisa saya periksa dari koleksi Kawanku yang ada di rumah, surat semacam itu tak ada satupun yang pernah dimuat. Senopati Pamungkas benar-benar menghilang tanpa keterangan.
Kadang saya berpikir begini. Apa yang dilakukan Wendo dengan angketnya di Tabloid Monitor dulu memang sangat ceroboh. Tetapi, apakah perlu ia diperlakukan semacam itu oleh korporasi yang telah menikmati hasil dari jerih payah dan tangan dinginnya? #AkuDanMedia
16 Juni 2021