Senin, 13 Maret 2023

INI KAWANKU, MANA KAWANMU?

 

Saya terhitung akrab bergaul dengan Kawanku, sejak masih menjadi majalah anak-anak selevel Si Kuncung, Ananda, Tomtom, Bobo, dan Siswa pada dekade 1980-an, hingga sesudah menjadi majalah remaja sejak manajemennya diambil alih oleh Grup Gramedia pada 1990. Saking akrabnya, saya sampai hapal nama-nama pengasuh yang ada dalam boks redaksinya.
Tepat dua puluh enam tahun lalu, Juli 1990, Kawanku berubah dari majalah anak-anak menjadi majalah remaja awal. Jargonnya yang terkenal waktu itu adalah STIL, alias "Sudah Tidak Ingusan Lagi". Jadilah Majalah Anak-anak Kawanku berubah menjadi Kawanku STIL.
Sewaktu masih menjadi majalah anak-anak, Kawanku pernah memuat cerita "Taras Boulba" karya Nikolai Gogol sebagai cerita bersambung. Dibanding majalah anak-anak lainnya, isi Kawanku memang banyak didominasi oleh karya-karya terjemahan. Meski begitu, saya juga pernah membaca cerita karya Ipe Maarouf di sana. Belakangan saya baru tahu jika Ipe ternyata adalah seorang pelukis.
Dulu, antara tahun 1990 hingga 1994, seluruh edisi Kawanku saya koleksi. Sayangnya, saat ditinggal kuliah ke Yogya, koleksi itu tak terurus lagi, sehingga jejaknya hilang entah kemana. Karena punya koleksi lengkap itulah saya jadi banyak memperhatikan majalah ini.
Dibandingkan dengan saudaranya, Majalah Hai, Kawanku terhitung senang sekali berganti logo. Hampir setiap tahun Kawanku mengubah logo. Itu juga yang dulu membuat saya menyukai majalah ini. Selain itu, perwajahannya juga atraktif, cepat berubah mengikuti perkembangan, berbeda dengan Hai, Mode, atau Aneka yang monoton. Kalau majalah berita, tata letak Kawanku kurang lebih sama dengan Majalah Jakarta-jakarta yang rame itu, atau seperti perwajahan Forum Keadilan yang cerah dan kontras.
Salah satu penyesalan terbesar saya adalah kehilangan sebuah edisi ulang tahun Kawanku, mungkin tahun 1994, dimana ia mengubah habis logo dan tampilannya pada satu edisi itu. Sayang, perubahan itu kemudian tak diteruskan pada nomor sesudahnya. Itu arsip penting saya kira. Dan saya menyesal tak merawatnya dengan baik.
Berubah menjadi majalah remaja ternyata bukan perubahan terakhir yang dilakukan oleh Kawanku. Majalah itu kemudian berubah lagi menjadi majalah khusus remaja puteri. Itu mungkin terjadi pada 1996, saat saya tak lagi intens mengikuti majalah itu. Hingga hari ini, Kawanku akhirnya menjadi epigon Majalah Gadis, majalah remaja puteri tertua yang diterbitkan oleh Grup Femina.
Kalau mengingat lagi masa dua puluh hingga dua puluh enam tahun silam, saya kira dekade 1990-an adalah periode booming media massa di Indonesia. Hal ini berbeda dengan booming tahun 2000-an yang diisi oleh media asing berbahasa Indonesia. Pada dekade 1990-an, muncul berbagai media untuk berbagai segmen pembaca dan topik. Mulai dari tabloid anak-anak (Fantasi), media khusus dangdut (Tabloid Dang Dut), termasuk berbagai media yang diterbitkan oleh grup bisnisnya Soetrisno Bachir, Ika Muda Grup.
Pada dekade itu pula para penulis cerita memiliki banyak sekali wahana. Jika sebelumnya Anita Cemerlang hampir memonopoli segmen majalah cerita remaja, maka pada dekade itu, misalnya, Majalah Kawanku juga menerbitkan Album Cerita Kawanku.
Ini adalah foto sebagian sisa-sisa koleksi Majalah Kawanku yang masih selamat. Dulu saya pernah punya mimpi membuat semacam rak khusus di rumah yang berisi bacaan-bacaan pertama yang pernah menghidupi saya sejak pertama kali mulai bisa membaca hingga beranjak remaja. Rak itu akan berisi komik-komik Petruk karya Tatang Suhendra, komik-komik superhero Indonesia karya Wid N.S., Kus Br., atau Hasmi, komik-komik silat karya Teguh Santosa atau Jan Mintaraga, komik-komik para nabi yang disusun Musannif Effendie, hingga majalah-majalah mulai dari Si Kuncung, Midi, hingga majalah remaja muslim yang kini sudah tak terbit lagi, Estafet.

Dari rak itu saya akan akan mudah menyampaikan nasihat ini pada anak cucu: "Jangan pernah membuang bacaan-bacaan yang pernah kamu baca. Belajarlah merawat sejarah, meski dari hal-hal sederhana."

17 Juli 2016

ADUH, HAI









Persisnya agak lupa, mungkin kelas empat atau lima, ketika pertama kali mulai bisa menikmati Majalah Hai. Saya membaca Hai sesudah bosan membaca semua majalah anak-anak. Pak Janggut, Paman Kikuk, dan Garfield lama-lama tak lagi memikat seperti saat pertama kali berjumpa. Saya butuh bacaan baru, dan Hai menyediakannya.

Rubrik yang saya sukai pertama kali adalah “Antara Kawan”, yang diasuh Arswendo Atmowiloto; dan komik serial “Roel Dijkstra”, komik tentang sosok fiksi pemain sepak bola profesional Roel Dijkstra, yang sebenarnya diilhami oleh kisah legenda Barcelona Johan Cruyff.
Dari serial Lupus Kecil yang juga ditulis Hilman, saya pun mulai menyukai membaca Lupus remaja dengan aneka skandal asmaranya. Jika oleh Majalah Kawanku saya hanya dicekoki NKOTB (New Kids on the Block), dalam semua edisi, maka melalui Hai saya mulai membaca Europe, Depp Purple, dan lain-lain. Jordan Knight tiba-tiba jadi terlihat kemayu dan tak lagi jantan.
Sayangnya, seperti halnya Kawanku yang telah pamit lebih dulu, Hai juga telah undur diri dari peredaran bulan lalu. Majalah ini telah mati.
Hai pertama kali terbit pada 1977. Ia menggantikan Majalah Midi. Penjaga dapur Midi dan Hai adalah orang-orang yang sama.
Saya tidak punya nomor perdana Majalah Hai, tapi punya nomor-nomor yang berasal dari tahun pertamanya. Dibandingkan dengan Kawanku yang genit dan sering gonta-ganti logo, termasuk gonta-ganti segmen, Majalah Hai relatif tak sering berganti logo dan segmen. Sejak awal ia adalah majalah remaja dengan concern yang kuat terhadap musik. Sesudah Kawanku diambil alih oleh Grup Gramedia, di era kejayaan majalah remaja akhir tahun 1980-an/1990-an, Hai hanya sekali mengubah segmennya, yaitu menjadi ‘Majalah Remaja Pria’, sebuah identitas yang terus dipertahankannya hingga almarhum kemarin.
Logo Hai yang legendaris, dan paling saya sukai, adalah logo dengan garis pantul yang mulai dipakai sejak tahun 1988 (atau 1987?). Mulanya jumlah garis pantul itu tak pernah sama dalam tiap edisi. Baru sesudah tahun 1989, jumlah garis pantul itu diseragamkan.
Saya hanya mengikuti Hai hingga tahun 1995. Edisi terakhir yang saya baca adalah edisi khusus Nicky Astria sebelum lady rocker itu pensiun sesudah dipinang oleh anaknya Solihin G.P. Sesudahnya saya tak lagi mengikuti Hai yang kemudian ganti logo. Sejak 1995, minat saya memang kembali berubah, mulai gandrung pada majalah-majalah berita, kebudayaan, dan majalah-majalah “dewasa” lainnya.
Ketika kuliah, saya pernah iseng membaca sebuah Majalah Hai saat antri di sebuah warnet. Majalah itu segera saja saya lempar. Saya kaget, karena Hai kemudian memilih untuk menggunakan bahasa lisan sebagai gaya bagi seluruh tulisannya. Saya tak lagi menenal Hai yang dulu, yang meskipun tulisan jurnalistiknya renyah, namun masih menggunakan bahasa Indonesia yang bagus. Terus terang saya tidak merasa nyaman dengan pengadopsian bahasa lisan sebagai bahasa tulis tersebut. Membuat capek pikiran yang membaca.
Sejak itu saya tak lagi mengikuti Hai. Namun, ketika membaca kabar bahwa pada akhirnya Hai juga harus tutup buku, mengikuti Kawanku—saudarinya yang telah mati lebih dulu, tak urung saya sempat merasa kehilangan.
Saya telah membaca Hai sejak sebelum remaja, dan mulai berhenti membacanya persis sesudah remaja.
Berikut adalah evolusi logo Hai dari sejak awal terbit hingga edisi terakhirnya.
Selamat jalan, Hai!

25 Juli 2017

GADIS TERAKHIR









Tujuh nomor Majalah Gadis yang terbit antara Januari 2019 hingga Desember 2020 menjadi nomor-nomor terakhir edisi cetak majalah remaja legendaris ini. Di rumah, saya membungkus jadi satu edisi bersejarah ini.

Nah, Hers Protex yang Anda lihat dalam foto adalah bonus Majalah Gadis edisi penghabisan, No. 7, Desember 2020. Bonus itu tetap dipertahankan sesuai bentuk aslinya saat dibeli, melekat di karton khusus di samping majalah. Anda tentu bisa membayangkan, bagaimana wajah saya saat membawa majalah ini ke kasir toko buku bukan?!














"Ya, itu untuk anak gadis saya," ujar saya, dalam hati, saat kasirnya mengerling aneh. #AkuDanMedia

1 Maret 2022