Oleh Tarli Nugroho
Penggemar Wayang Golek dan komik R.A. Kosasih
Kita
umumnya menilai Bharatayudha dengan sudut pandang imajinasi-kebenaran
anak kecil: Arjuna itu baik, sementara Karna itu jahat. Pandawa itu
lambang kebaikan, sementara Kurawa itu simbol kejahatan. Rahwana itu
brengsek, sementara Rama itu mulia. Sejak kecil, mereka yang mengenal
cerita wayang, baik melalui pentas wayang golek, wayang kulit, maupun
komik wayang R.A. Kosasih, pastinya bangga jika dirinya disamakan dengan
Gatotkaca, dan sebaliknya, sebuah penghinaan besar jika disamakan
dengan Burisrawa.
Tapi imajinasi kebenaran semacam itu
memang hanya berguna bagi anak kecil. Tak heran, jika dalam Serat
Tripama, yang berarti tiga suri tauladan, KGPAA Mangkunegara IV
(1809-1881) tidak mengajukan Arjuna, Yudhistira, atau Gatotkaca sebagai
contoh untuk menjelaskan sikap tauladan seorang kesatria, melainkan
memilih Kumbakarna (adiknya Rahawana), Karna (panglima perang Kurawa),
dan Sumantri (yang membunuh adiknya sendiri, Sukasrana). Dari serat
tersebut kita bisa belajar bahwa emas dan berlian memang tak berasal
dari bongkahan emas dan gunung berlian, sebagaimana imajinasi kebenaran
masa kecil. Emas dan berlian adalah mineral berharga yang tersembunyi di
balik endapan batu, pasir dan tanah.
Dalam
lakon “Kresna Duta”, setelah Kresna gagal membujuk para Kurawa untuk
berdamai dengan Pandawa, supaya perang Bharatayudha tidak perlu terjadi,
Kresna menjumpai Karna yang sedang sesuci di tepi sungai Gangga.
Sebelumnya, dengan penuh amarah Karna memang meninggalkan lebih dahulu
pertemuan dengan Kresna tersebut. Sumber kemarahannya masuk akal: dalam
sebuah perundingan perang, para pinisepuh Astina lebih banyak meminta
pertimbangan para resi dan pandita, daripada panglima seperti dirinya.
Ia merasa dilecehkan.
Di tepi Gangga, Kresna membuka
rahasia, bahwa Karna sebenarnya saudara kandung dari Pandawa. Oleh
karenanya, ia mengajak Karna untuk bergabung dengan Pandawa, agar
seluruh keluarga Pandawa selamat. Jika kelak Pandawa bisa memenangkan
Bharatayudha, maka saudaranya para Pandawa hanya akan memerintah negeri
Amarta, sementara Astina akan diserahkan kepada Karna.
Atas ajakan Sri Kresna itu, Karna, yang merupakan panglima perang Astina, dengan nada bergetar, menahan amarah, menyahut tegas.
“Aku
adalah prajurit. Dunia akan menertawakanku jika aku bergabung dengan
Pandawa. Aku bukan manusia munafik yang tak segan berkhianat kepada
negaranya. Kanda Prabu Kresna, keangkaraan budi para Kurawa, angkara
murkanya Yayi Duryudana, tidak akan luntur oleh tutur, tidak akan reda
oleh kata. Watak angkara Kurawa hanya akan lenyap bersama-sama dengan
manusianya. Sebagai pengasuhnya, aku bertanggung jawab atas segala
perbuatan mereka, karenanya aku menyanggupi menjadi panglima perang
mereka. Akulah yang menghendaki Bharatayudha segera terjadi. Akulah yang
telah membakar keangkaraan Kurawa. Mengapa? Supaya angkara murka di
muka bumi segera lenyap. Supaya keluhuran budi tak selalu diakali oleh
angkara.”
Tentu saja, dengan jawaban itu tegas terlihat
bahwa Karna bukannya tak tahu bedanya kebaikan dengan keburukan. Tapi
kebaikan tak hanya bisa ditegakan seturut pikiran para pendeta dan resi,
sebagaimana diceramahkan Kresna.
“Kanda,” lanjut
Karna, “bagi prajurit yang akan berperang, tidak ada kamus ‘salah’ dan
‘benar’. Salah dan benar hanya dapat ditentukan apabila perang telah
selesai. Kalau perang dapat diselesaikan dengan omong kosong dan tipu
muslihat, maka orang hanya akan belajar tipu-menipu saja, tak akan
pernah berusaha membela keyakinannya dengan perang. Budi luhur saja
tidak cukup. Pada akhirnya, orang harus sanggup dan berani berperang
untuk membela budinya itu. Saya akan mengangkat senjata dalam
Bharatayudha untuk membela negara saya.”
Ajakan Kresna
tak mempan. Sehingga ia harus kembali dengan tangan hampa. Momen
percakapan Karna dengan Kresna bukan satu-satunya momen yang menunjukkan
sikap kesatria Adipati Karna, yang juga disebut sebagai Basukarna.
Ketika pada akhirnya ia dibujuk oleh ibu kandungnya sendiri, Dewi
Kunthi, yang dulu telah membuangnya di sungai Gangga sewaktu masih bayi,
Karna tetap teguh pada pendiriannya.
“Hamba sudah
mendengar cerita perihal riwayat hidup hamba, Dewi. Tapi hamba tak bisa
mengingkari bahwa Nyi Nanda dan Ki Adirata, yang telah membesarkan hamba
sebagai anak tukang kusir, telah hamba anggap sebagai orang tua
sendiri. Mengapa hal ini harus terjadi? Tak ada guna mempermasalahkan
hidup yang tak langgeng, Paduka. Hamba hanya bisa berusaha menunaikan
kebaktian. Hamba tahu, Paduka sangat menyayangi Arjuna. Semua orang juga
menyayangi Arjuna. Ketahuilah, Paduka, bahwa sebelum ini Sri Kresna
juga telah datang kepada hamba, mengajak hamba bergabung dengan Pandawa.
Semua itu, hamba tahu, dilakukan untuk keselamatan Arjuna.
Batara
Indra juga telah datang kepada hamba denga menyaru sebagai pendeta, dan
meminta kesaktian hamba. Telah hamba berikan kesaktian itu, meski hamba
tahu ujud pendetanya hanya tipuan. Sudah menjadi sumpah hamba, bahwa
hamba tak akan pernah menolak permintaan seorang pendeta, meskipun
pendeta itu seorang penipu. Dan semua itu, hamba tahu, dilakukan hanya
untuk memenangkan Arjuna dalam Bharatayudha nanti.”
Karna tersedak. Dewi Kunthi menggigil, menangis, mendengar ucapan anak tertuanya ini.
“Paduka,
apakah perbuatan ini tidak nista, bahwa kemenangan Arjuna harus
diminta-mintakan seperti ini, bahkan dengan melibatkan tipuan
sebagaimana yang dilakukan Batara Indra?! Paduka, hamba sungguh tidak
mengerti, kenapa seorang kesatria yang agung dan harum namanya masih
mempunyai rasa was-was dan takut menghadapi kenyataan hidup?"
"Meski
secara lahiriah kita musuh, namun secara batiniah, Paduka adalah ibu
hamba. Karena itu, sebagai wujud bakti hamba sebagai seorang putera,
demi kebahagiaan Paduka, dengan ini hamba bersumpah, bahwa kelak bila
hamba berhadapan dengan Arjuna di palagan Bharatayudha, hambalah yang
akan mengalah dan rela mati demi tegaknya kebaikan. Namun, sebelum itu,
izinkan hamba untuk tidak menjadi manusia munafik dan pengkhianat.
Biarkan hamba berperang untuk tanah air hamba.”
Air
mata Kunthi kian mengalir deras. Anak sulungnya, yang ketika bayi ia
campakkan, yang kemudian diangkat sebagai saudara oleh para Kurawa, kini
berdiri di hadapannya, sebagai kesatria yang bukan hanya digentari
karena kesaktiannya, tapi juga sebagai seorang kesatria yang teguh
membela keyakinan dan kehormatan diri serta orang-orang terdekatnya.
Apalagi yang lebih tajam dan menyayat perasaan daripada tikungan
sebagaimana yang dihadapi Karna itu?!
Tapi, kebanyakan
kita hidup dengan imajinasi kebenaran masa kecil itu, dimana Arjuna
selalu jadi pahlawan, dan Karna selalu jadi penjahat. Tak heran, dalam
kehidupan nyata kita lebih terpesona pada sosok halus ‘miyar-miyur’
seperti karakter Arjuna, daripada sosok ‘sengguh’ dan ‘sembodo’ seperti Karna. Bagi kebanyakan kita, seorang kesatria haruslah seperti Arjuna, yang hidup tanpa tikungan. Padahal, dalam mayapada
ini tak ada jalan yang tanpa tikungan. Dan saya jadi mengerti kenapa
dalam Serat Tripama, bukan Arjuna, Yudistira, atau Rama yang jadikan
contoh dari sikap kesatria.
Hanya saja, sejarah memang
ditulis oleh para pemenang, seperti yang sudah disampaikan Karna kepada
Kresna. Dan Karna adalah jenderal yang kalah, sehingga kita terus hidup
dalam imajinasi masa kecil itu.
*) Tulisan ini dimuat di Tabloid THE POLITIC No. 13/III, 2-15 Mei 2014.
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Pendidikan
adalah pilar kebangsaan. Dan sejarah Republik ini telah membuktikannya.
Kurang dari lima puluh tahun sejak pemerintah kolonial Belanda
memberlakukan Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad
ke-20, kebijakan itu telah melahirkan revolusi sosial di tanah jajahan
mereka, berupa munculnya gerakan kebangsaan yang kian liat
memperjuangkan kemerdekaannya. Pendidikan, yang merupakan salah satu
dari trilogi Politik Etis (lainnya adalah “irigasi” dan “migrasi”),
meski pada desain dasarnya dimaksudkan untuk melanggengkan praktik
kolonialisme, pada akhirnya ternyata menjadi bumerang bagi kolonialisme
itu sendiri. Pendidikan telah menumbuhkan lahirnya kesadaran baru, yaitu
kebangsaan, sehingga akhirnya mampu mengubah semangat “perlawanan terhadap pemerintah kolonial”—yang telah hadir sejak jauh hari sebelum Politik Etis—menjadi semangat baru, “perlawanan terhadap kolonialisme”.
Dengan nada ironi kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pendidikan
pemerintahan kolonial Belanda telah “membantu” melahirkan semangat
kebangsaan Indonesia.
Pentingnya pendidikan juga
disadari betul oleh para pendiri Republik. Inilah yang telah mendorong,
misalnya, Mohammad Hatta, untuk mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia
(kemudian dikenal sebagai PNI-Baru) pada 1931,[1] sebuah organ gerakan
yang menitikberatkan pendidikan sebagai alat perjuangan kemerdekaan.
Posisi vital pendidikan juga diakui dan diabadikan dalam Pembukaan (Preambule)
Undang Undang Dasar 1945, melalui kalimat “mencerdaskan kehidupan
bangsa”, yang merupakan salah satu dari beberapa tujuan pokok
kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum Hatta, Tan Malaka, Bapak Republik
yang lain, juga telah menggunakan pendidikan sebagai alat untuk
perjuangan kemerdekaan.
Jika di masa lalu pendidikan
dijadikan alat untuk menumbuh-kembangkan benih kebangsaan, kini, setelah
lebih dari enam dekade usia Proklamasi, masihkah pendidikan kita
menghidupi semangat yang sama?!
Pertanyaan ini penting
untuk diajukan, terutama untuk menjaga agar ironi dalam wajah sebaliknya
tidak akan terjadi dalam sistem pendidikan kita. Yang dimaksud dengan “ironi dalam wajah sebaliknya”
itu adalah bahwa jika di masa lalu kebijakan pendidikan kolonial telah
“membantu” menyemai benih kebangsaan Indonesia, bukan tidak mungkin,
karena kekurangcermatan kita, justru setelah kita memproklamasikan
kemerdekaan, kebijakan pendidikan kita malah melumpuhkan semangat
kebangsaan itu. Atau, dalam versi yang paling buruk, justru setelah kita
merdeka kebijakan pendidikan kita—sekali lagi, bukan tidak
mungkin—malah memfasilitasi sebentuk kolonialisme dalam bentuk yang
tidak kita sadari.
salah satu cara untuk menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya
Dalam salah satu karya tetraloginya, Jejak Langkah,
Pramoedya Ananta Toer pernah menguraikan bahwa salah satu cara untuk
menaklukan sebuah bangsa adalah dengan menguasai pendidikannya.
Pernyataan tersebut kian menegaskan bahwa pendidikan, dalam kediriannya (in it self),
memang merupakan pilar kebangsaan. Rapuhnya pendidikan akan
berimplikasi serius bukan hanya pada persoalan mental-intelektual, yang
termasuk ke dalam aspek individual, melainkan juga secara sosial akan
berimplikasi pada rontoknya ikatan kebangsaan. Hanya saja, memang,
diperlukan sejumlah syarat agar pendidikan berimplikasi positif pada
tegaknya kebangsaan, dan bukan sebaliknya. Salah satu syarat penting
dimaksud tak lain adalah bahwa pendidikan harus berdiri di atas
nilai-nilai kebudayaan-ibunya sendiri.
Melalui berbagai
karangannya, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
1978-1983, kerap menulis bahwa salah satu sebab lapuknya pendidikan
adalah ketika ia dicerabut dari akar kebudayaannya.[2] Dalam pandangan
Daoed Joesoef, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya
integratif, dari kebudayaan. Pemisahan pendidikan dari kebudayaan akan
bersifat destruktif bagi keduanya. Sebab, untuk dapat menjalankan
fungsi-fungsinya, pendidikan memerlukan nilai-nilai instrumental, dan
nilai-nilai tersebut tidak bisa lain harus digali dari kebudayaan
inangnya. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem pendidikan yang
kita kembangkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”—sesuai amanat
Proklamasi—adalah bagian utuh dari kebudayaan.
Lebih
jauh mengenai hubungan keduanya, Daoed menegaskan bahwa pendidikan
merupakan bagian dari kebudayaan, dan bukan sebaliknya.[3] Artinya,
sebelum “pendidikan” diberi pengertian, baik pengertian dalam arti
makna-kata, makna-proses, maupun jangkauan tujuannya, terlebih dahulu
harus dipahami apa yang dimaksud dengan “kebudayaan”, karena dalam
pengertian kebudayaan terkandung penjelasan bagi pendidikan. Oleh
karenanya, tanpa terlebih dahulu menjala pengertian kebudayaan dan
menyelaminya, pendidikan akan tercampak dari makna hakikinya sebagai
bagian dari kebudayaan.
Masalahnya kemudian, meskipun
mungkin hampir semua orang menyetujui penegasan tersebut, dalam
kenyataannya praktik pendidikan kita tidak selalu menghiraukan persoalan
tadi. Salah satu persoalan yang mewakili dan sering disoroti oleh para
pakar di bidang pendidikan, misalnya, adalah kebijakan mengenai adanya
“kelas internasional” dan “sekolah berstandar internasional” dalam
sistem pendidikan kita. Di kelas internasional, dan di sekolah
berstandar internasional, bahasa pengantar kegiatan pendidikan
menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tentu saja tidak ada
yang tidak sepakat bahwa penguasaan bahasa asing kian menempati posisi
penting dalam pergaulan dunia saat ini. Hanya saja, menurut sejumlah
pakar pendidikan, pemakaian bahasa asing sebagai pengantar dalam
kegiatan pendidikan telah melumpuhkan posisi pendidikan sebagai bagian
integral dari kebudayaan. Bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi,
melainkan merupakan “alat kebudayaan”. Sehingga, pemakaian bahasa asing
sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan telah memutus akar
kebudayaan dari kegiatan pendidikan itu sendiri. Meminjam bahasa
Soedjatmoko, ketika kita mendatangkan traktor untuk membajak sawah-sawah
kita, yang kita datangkan sebenarnya bukan hanya traktor, melainkan
kebudayaan yang telah menciptakan traktor-traktor itu, yaitu
industrialisme.[4] Dengan analogi serupa, jika kegiatan pendidikan kita
maksudkan merupakan sarana untuk menghidupi kebudayaan, maka prosesnya
tentu saja harus menggunakan alat dari kebudayaan yang hendak dihidupi
itu, tidak bisa lain. Pendidikan nasional Indonesia, tidak bisa tidak,
harus disampaikan hanya dengan bahasa Indonesia.
Kadang
kita sering melupakan bahwa pendidikan kita, karena memiliki predikat
“nasional”, pertama-tama tentunya harus berdimensi nasional (dalam hal
ini untuk kepentingan negara-bangsa), selain juga berdimensi individual
(dalam hal merupakan hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan
citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu.
Dan, citra yang dimaksud tak lain adalah kebangsaan.[5]
Sampai
di sini kita bisa melihat bahwa antara substansi pendidikan dengan
praksis pendidikan ternyata tidak selalu ada jaminan untuk saling
berkait. Bahkan, antara keduanya bisa sama sekali bertentangan.
Pertanyaannya kuncinya kemudian adalah, bagaimana hal itu bisa terjadi?
Menyimak
uraian pendahuluan di muka, nampak tegas bahwa antara pendidikan,
kebangsaan, dan kebudayaan terdapat sebuah mata rantai yang
menghubungkan. Hanya saja, perkembangan dunia kontemporer telah
mengaburkan—atau lebih tepatnya “membuatnya seakan-akan
kabur”—ikatan-ikatan itu tadi. Paling tidak ada dua hal yang bisa
menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.
Pertama,
makin kuatnya dominasi “ekonomisme” dalam kehidupan kontemporer.
Dominasi tersebut telah mereduksi berbagai lembaga dan instrumen sosial
menjadi lebih bersifat ekonomistik. Atau, agar lebih mengena, kita bisa
menyebutnya sebagai gejala kian merajalelanya komersialisme, sebuah
gejala yang oleh John Madeley (2005) disebut sebagai masa “keranjingan
berdagang” (hungry for trade).[6] Kegiatan perdagangan memang
telah menjadi wajah mutakhir dari praktik dominasi dalam dunia modern.
Ia, menurut Rosecrance (1991), telah menggantikan ekspansi wilayah dan
invasi militer, sebuah corak dalam wacana kolonialisme lama.[7]
Implikasi dari merajalelanya komersialisme adalah ia telah membuat
pendidikan tidak lagi terhubung pada akar substantifnya, yaitu
kebudayaan dalam bingkai kebangsaan, melainkan menggantikannya dengan
sebuah hubungan langsung kepada institusi pasar. Munculnya konsep “link and match”
dalam dunia pendidikan pada awal dekade 1990-an mewakili kecenderungan
tersebut. Pendidikan kemudian tak lagi pertama-tama menjadi rantai
kebudayaan, karena telah dirantai oleh pasar.
Hal kedua
adalah kian terlipatnya dunia menjadi sebuah desa global. Globalisasi
tidak hanya menjadi gejala dalam dunia teknologi informasi, melainkan
telah menjalar ke berbagai bidang sehingga menjadi sebuah kecenderungan
umum. Hari ini kita berkomunikasi dengan telepon seluler merek Finlandia
yang diproduksi di India dengan jasa operator Singapura. Kita minum
kopi Swiss yang dipetik dari perkebunan kopi di Brazil dan dihidangkan
di sebuah kedai Amerika. Dunia menjadi ringkas. Inilah dunia yang oleh
Kenichi Ohmae (1992) disebut sebagai “the borderless world”.[8]
Pada akhirnya, berbagai kecenderungan tadi telah menempatkan imaji soal
dunia tanpa tapal batas menjadi kian konkret, dan di sisi yang
berseberangan, menempatkan imaji kebangsaan dalam posisi yang
“problematis”. Dalam bidang ekonomi, pertanyaan provokatif yang sering
dikemukakan oleh mereka yang biasa disebut sebagai kaum fundamentalis
pasar (market fundamentalist) adalah: apakah nasionalisme (nasion = bangsa) masih relevan di tengah perekonomian dunia yang kian terintegrasi?!
Jika melihat dengan jernih, globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan yang mengglobal”
Dua
perkembangan tadi, yaitu meruaknya ekonomisme dan mengkisutnya dunia
oleh globalisasi, telah membuat imaji mengenai kebudayaan dan kebangsaan
menjadi seolah-olah kabur. Dan kekaburan itu bisa membuat dunia
pendidikan kehilangan kompasnya. Tinggal, pertanyaannya kemudian, apakah
kondisi itu baru sekadar potensial, atau sudah menjadi kenyataan faktual?!
Sebagai
pilar penting bagi kebudayaan-kebangsaan, dunia pendidikan kita
dituntut untuk segera merefleksikan kembali eksistensinya. Dunia memang
kian menjadi seperti desa global, namun nampaknya keliru jika mengira
globalisasi transportasi dan telekomunikasi telah membuat identitas
kebangsaan menjadi tak lagi relevan. Jika melihat dengan jernih,
globalisasi yang kini mengepung kita pada dasarnya adalah “kebangsaan
yang mengglobal”. Dalam dunia perdagangan, misalnya, apa yang dimaksud
dengan “merek global” pada dasarnya adalah “merek-kebangsaan yang
mengglobal”. Oleh karenanya, meski dipabrikasi di Semarang, Coca-Cola
tetaplah sebuah merek minuman ringan dengan identitas Amerika. Begitu
juga dengan ayam goreng Kentucky, meski ayam potongnya berasal dari
peternakan di Bandung, misalnya, imajinya tetap identitas Amerika.
Dengan demikian, dunia pendidikan tidak boleh tercerabut dari akar
kebudayaan ibunya, serta harus membela dan menghidupi identitas
kebangsaannya, meskipun dunia kontemporer seakan-akan telah melumatkan
pelbagai bentuk tapal batas.
[1] Hatta pada
waktu itu sebenarnya masih berada di negeri Belanda. Hanya saja,
terbentuknya Pendidikan Nasional Indonesia merupakan usulan Hatta
melalui sebuah kawat dari Belanda ketika Golongan Merdeka sedang
menggelar kongres di Yogyakarta, 25-27 Desember 1931. Golongan Merdeka
adalah gabungan organ pergerakan di luar Partindo, yang terdiri dari
berbagai studie club, yang sejak awal memang memupuk semangat kemerdekaan melalui bidang pendidikan. Lihat Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1995), hal. 348-350.
[2] Lihat, misalnya, Daoed Joesoef, “Sangkan Paraning Dumadi”, dalam Harian Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2004; dan Daoed Joesoef, “Konsep Dulu, Baru Uang”, dalam Harian Kompas, Rabu, 3 September 2008.
[3] Daoed Joesoef, Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Oktober 1980-Maret 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hal. 305.
[4] Soedjatmoko, Economic Development as a Cultural Problem (Ithaca: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1958).
[5] Joesoef, “Sangkan…”, op.cit.
[6] John Madeley, Loba, Keranjingan Berdagang: Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas (Yogyakarta: Cindelaras, 2005).
[7] Richard Rosecrance, Kebangkitan Negara Dagang (Jakarta: Gramedia, 1991).
[8] Kenichi Ohmae, The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (London: Fontana, 1992).
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM
Dalam sebuah tulisannya,
Daoed Joesoef pernah melontarkan sebuah pertanyaan bernada menggugat:
kenapa di Indonesia seorang ilmuwan tidak bisa secara otomatis diakui
sebagai budayawan, dimana kerja kesarjanaan mereka sebenarnya dapat
dipersamakan sebagai sebuah karya kebudayaan.
Gagasan yang
mencoba menautkan ilmu pengetahuan (sebuah produk dari kerja
kesarjanaan) dengan kebudayaan (dimana berbagai pengetahuan telah
melesap pada berbagai praktik yang pada umumnya tak lagi dipikirkan)
sebenarnya telah tertabalkan pada karya banyak sarjana kita. Pada 1954,
Soedjatmoko, misalnya, menulis sebuah risalah di majalah Konfrontasi
yang menguar gagasan persis seperti apa yang terpacak sebagai judulnya:
“Pembangunan sebagai Masalah Kebudayaan”. Ketika kita mendatangkan
traktor untuk membajak sawah-sawah kita, demikian tulis Soedjatmoko,
tanpa disadari sebenarnya kita juga sedang mendatangkan kebudayaan yang
telah menciptakan traktor-traktor tadi. Dengan kata lain, pengetahuan
dan teknologi pembuatan traktor tidak bisa disapih—sebagaimana diyakini
oleh kebanyakaan orang—dari kebudayaan yang telah melahirkannya.
Sederhananya, Anda tidak bisa menerima traktor tapi menolak inangnya,
yaitu industrialisme.
Pada
1955 dan 1956 terbit pula dua jilid buku terjemahan karangan Kahrudin
Yunus, seorang sarjana (Ph.D.) minang yang mengenyam pendidikan di
Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga Universitas Columbia, Amerika.
Disebut terjemahan karena pada mulanya buku itu ditulis dan disiarkan di
luar negeri dalam bahasa arab. Dari tak kurang tujuh ratus halaman
tulisannya, Yunus mengutarakan gagasan pokok bahwa “sistem ekonomi
berakar di kebudayaan”. Oleh karenanya, bukan tanpa alasan jika dalam
versi terjemahan Indonesia Yunus memilih judul Sistem Ekonomi Kemakmuran
Bersama. Untuk meringkus seluruh teori yang disusunnya, Yunus hanya
membutuhkan sebuah kata, "bersamaisme". Sebab, dalam pandangannya,
kebudayaan masyarakat Indonesia secara umum memang berciri kelembagaan.
Kini kita bisa mencatat bahwa pengakuan atas fakta sosial sejenis pula
yang telah mendorong kenapa para ahli ekonomi pertanian kita pada awal
dekade 1980-an menubuatkan bahwa unit analisis kajian ekonomi perdesaan
bukanlah individu petani, melainkan rumah tangga petani (Kasryno, dkk.
1984).
Selain Soedjatmoko dan Yunus, Hidayat
Nataatmadja, Daoed Joesoef, dan Mubyarto adalah sarjana lain yang juga
pernah mengemukakan pertautan antara ilmu pengetahuan dengan kebudayaan.
Pada akhir dekade 1970-an hingga akhir 1980-an, Hidayat berpolemik
dengan banyak sarjana ihwal apakah ideologi merupakan bagian dari
kebudayaan atau merupakan entitas yang terpisah darinya. Melalui banyak
bukunya, Hidayat mengajukan pandangan bahwa ideologi merupakan bagian
dari kebudayaan. Menurutnya kebudayaan adalah rumah pikiran, sehingga
dengan sendirinya ideologi (dan anak kandungnya, ilmu pengetahuan)
merupakan bagian darinya. Gagasan Ekonomi Pancasila sebagaimana yang
dipopulerkan oleh Mubyarto sebenarnya juga bisa dipahami melalui
kerangka ini. Dengan menggunakan nama Pancasila, Mubyarto mencoba
menjadikan “kebudayaan” sebagai determinan dalam proyek keilmuannya,
sebuah intensi yang akan mengingatkan kita pada pesan seorang ekonom
Cambridge, Joan Robinson: “the very nature of economics is rooted in
nationalism”. Daoed Joeosef sendiri, sebagaimana terbaca dalam banyak
tulisannya, mengimani gagasan bahwa di balik ilmu pengetahuan adalah
kebudayaan.
+++
Jika kebudayaan
adalah basis persoalan dari mana ilmu pengetahuan menstrukturasi
gagasannya, kenapa para sarjana kita, atau ilmuwan kita, tidak bisa
secara otomatis diakui sebagai budayawan, sebagaimana dipersoalkan oleh
Daoed Joesoef?
Ada dua cara untuk mendiskusikan
kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama adalah dengan
menganggap bahwa pertanyaan tersebut ditujukan kepada publik kebudayaan,
dimana soal diakui atau tidaknya seorang sarjana sebagai budayawan
tergantung pada pengakuan yang diberikan oleh publik kebudayaan terhadap
hasil kerja kesarjanaannya. Dalam kacamata ini, pertanyaan atau gugatan
tadi dianggap sebagai persoalan otorisasi dan definisional. Artinya,
soal masuk dan tidaknya kerja kesarjanaan sebagai sebuah karya
kebudayaan adalah tergantung kepada apa yang dimaksud dengan kebudayaan
dan budayawan oleh para hambanya sendiri. Dengan demikian, jika saat ini
para sarjana atau ilmuwan kita tidak bisa secara otomatis diakui
sebagai budayawan, maka itu disebabkan oleh definisi budayawan (dan
karya kebudayaan) yang masih sempit dan terbatas. Sudut pandang ini
kemudian melahirkan kritik bahwa pengertian budayawan dan kebudayaan
harus mengalami perluasan makna dengan menyertakan ilmuwan dan kerja
kesarjanaan sebagai bagian darinya. Secara sederhana, kita bisa menyebut
ini sebagai “kritik kebudayaan”.
Cara pandang kedua
adalah yang menganggap bahwa gugatan tadi sebenarnya ditujukan kepada
publik kesarjanaan. Bila dibandingkan dengan sudut pandang pertama,
sudut pandang ini sepertinya lebih jarang, untuk tidak menyebutnya sama
sekali tidak-diperhatikan atau dianggap ada. Melalui sudut pandang ini,
gugatan yang diintroduksi oleh Daoed Joesoef sebenarnya lebih banyak
tertuju kepada para ilmuwan dan kerja kesarjanaan mereka. Maksudnya,
telah seberapa jauhkah para ilmuwan atau sarjana kita melibatkan
kebudayaan dalam kerja keilmuan mereka selama ini? Jika kerja
kesarjanaan mereka hanya sedikit atau sama sekali tidak melibatkan
kebudayaan yang menjadi inangnya, maka memang sudah sepatutnya mereka
tidak layak untuk menyandang gelar sebagai budayawan atau kerja
kesarjanaan mereka dihargai sebagai karya kebudayaan. Sebagaimana sudah
disampaikan, kebudayaan adalah rumah pikiran, inang dalam mana ilmu
pengetahuan menjadi bagian darinya, sehingga jika sampai sebuah kerja
kesarjanaan tak melibatkan kebudayaan inangnya sebagai referensi, maka
tradisi kesarjanaan yang demikian pada prinsipnya sedang membangun
istananya di awan.
Tapi bisakah kerja kesarjanaan
melepaskan dirinya dari kebudayaan sama sekali? Ia mungkin saja bisa
terlepas dari kebudayaan ibunya, tapi mustahil ia sama sekali tidak
terikat dengan kebudayaan lain. Artinya, persetubuhan sebuah tradisi
kesarjanaan dengan kebudayaan mustahil disangkal, hanya saja apakah
kebudayaan itu adalah kebudayaan “ibunya” atau bukan, itu adalah masalah
yang berbeda.
Sudut pandang kedua ini membekali kita
sebuah kritik bahwa bisa jadi tradisi kesarjanaan yang kita hidupi
selama ini sama sekali tidak atau belum melibatkan kebudayaan ibu kita
sendiri, sehingga karenanya para ilmuwan atau sarjana kitapun tak bisa
otomatis disebut sebagai budayawan. Lebih jauh, tradisi yang demikian
adalah tradisi kesarjanaan yang tidak didukung oleh “kerja kesarjanaan”,
yaitu kerja dalam rangka penciptaan-otonom, karena meskipun inspirasi
perkembangan ilmu pengetahuan bisa berasal atau dicari dari kebudayaan
manapun, namun sebagai sarjana kita dibebani kewajiban (meminjam bahasa
Soedjatmoko) untuk mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita
sendiri asas-asas otonom, yang dengannya kita bisa mengembangkan
dinamika sosial kita sendiri. Ringkasnya, hanya individu otonom yang
bisa membangun tradisi kesarjanaan otonom. Tanpa sikap otonom kita hanya
akan menjadi epigon, peniru, yang sekadar membebek pada tradisi orang
lain. Kita bisa menyebut ini sebagai “kritik ideologi” atau “keilmuan”.
+++
Masalah
kebudayaan dan kerja kesarjanaan ini mendesak untuk diperhatikan karena
kita kini kian gemar mengamputasi sebuah konsep dari konteks kebudayaan
(atau semesta gagasan) yang telah melahirkannya. Sehingga tidak heran
jika pernah ada manifes dari sejumlah sarjana kita yang memacak Ekonomi
Pasar Sosial (Social Market Economy) sebagai visi politik ekonomi, tapi
di sisi lain mereka menolak neoliberalisme, tanpa memperhatikan bahwa
keduanya merupakan saudara kembar (bdk. Giersch, 1968). Konsep-konsep
yang seharusnya telah terikat kepada pengertian tertentu yang sudah baku
tiba-tiba diadopsi seolah merupakan kosakata generik yang belum diberi
pengertian. Semua itu disebabkan oleh absennya kerja kesarjanaan.
Alih-alih bekerja untuk menyusun dan menemukan konsep sendiri secara
otonom, para sarjana kita lebih suka mengkonsumsi dan mengadopsi
konsep-konsep yang sudah jadi, itupun dengan cara yang ceroboh.
Oleh
karena itu, jika ada kritik kenapa kebudayaan kita hanya sedikit sekali
melahirkan ilmu pengetahuan, maka perlu disadari bahwa kritik itu
sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada domain kebudayaan, sebagaimana
telah terlalu sering dibahas, melainkan terutama kritik terhadap tradisi
kesarjanaan. Sehingga, kritik kebudayaan dan kritik keilmuan,
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, harus dikerjakan secara
serentak. Tanpa kritik keilmuan, kita hanya akan terperosok menjadi
Sutan Takdir Alisjahbana yang baru, yang berhasil mendekonstruksi
kebudayaan prae-Indonesia tapi gagal bersikap kritis terhadap kebudayaan
baru (modernisme) yang dibelanya. Demikian juga dengan kritik keilmuan,
tanpa dibarengi kritik kebudayaan, kritik keilmuan hanya akan menjadi
seperti proyek hi-tech Habibie, yang gagal menjawab pertanyaan
sederhana: “apakah yang kita butuhkan; pergi ke Singapura dengan pesawat
buatan dalam negeri, atau pergi ke pasar dengan sandal jepit buatan
sendiri?
Jadi, itulah sebab kenapa budayawan kita belum
lagi pantas memakai toga, dan sarjana kita belum juga layak menjadi
budayawan, hingga kini.
*) Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Kabare KAGAMA, No. 169/Vol. XXXVII, November 2008
Oleh Tarli Nugroho
Kawan, masalah kita dengan demokrasi, bukanlah soal asli atau asing, tradisional atau modern, apalagi Timur atau Barat,
sebagaimana yang sering kau risaukan. Kita tahu, kubisme Picasso
mengambil inspirasi dari seni lukis tradisional afrika, puisi Sutardji
mencuri mantera melayu, dan bunyi parikan sunda kuat mewarnai
syair-syair Hartojo Andangdjaja. Apakah kubisme menjadi palsu hanya
karena ia memindai bentuk seni yang sudah menjadi tradisi sebuah suku di
afrika sejak masa yang lebih silam?! Mana yang asli menurutmu, mantera
melayu atau permainan bunyi puisi Sutardji?! Mana yang tradisional dan
modern, bunyi parikan atau syair Hartojo?!
Sejauh
yang berkaitan dengan penciptaan, menurut saya, pertanyaan mengenai
asal-usul memang tak lagi relevan. Sebuah penciptaan hanya harus
berhadapan dengan pertanyaan mengenai otonomi: sejauh mana si pengarang,
atau si perupa, atau si pemikir, mampu bersikap otonom dalam proses
kreatifnya. Sebab tanpa otonomi tidak akan pernah lahir kreativitas.
Kreativitas inilah yang membuat "tiruan" tak lagi sama dengan "aslinya";
dan sekaligus menjadi ukuran apakah "sang tiruan" layak disebut sebagai
"asli yang lain". Kubisme, melalui otonomi-kreatif Picasso,
sama aslinya dengan bentuk seni rupa yang ditirunya. Sehingga, lagi-lagi
(seperti biasa) meminjam Borges, setiap pengutip Shakespeare, dalam
batas tertentu, adalah Shakespeare (yang lain). Bahkan, Berger, dalam Capitalist Revolution (1986), dengan yakin menyebut bahwa kapitalisme di asia timur bukanlah merupakan "perluasan" kapitalisme Barat, karena keduanya melibatkan kebudayaan yang berbeda yang masing-masing berkembang secara otonom.
Dan seperti halnya Berger, Thurow dalam beberapa bukunya yang mengkaji berbagai corak kapitalisme (misalnya Head to Head: The Coming Economic Battle among Japan, Europe, and America; dan Zero-Sum Society),
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing bentuk kapitalisme
yang ada, yang diwakili oleh model Amerika, Eropa (Jerman), dan Jepang,
tadi tidak lagi merupakan satu bangunan yang sama, melainkan telah
menjadi perkampungan otonom yang berbeda.
Ini juga yang
membuat kenapa komunisme Cina tidak rontok seperti halnya komunisme
Soviet. Karena keduanya tak lagi sama. Di Cina, komunisme berhasil
"didomestifikasi" dengan tradisi agraris dan filsafat konfusian. Di sini
kita menyaksikan bahwa gagasan baru bisa diserap dari manapun, tapi
pada akhirnya dia harus tumbuh dengan cara seturut otonomi kebudayaan
yang mengadaftasinya. Bukan kebetulan jika Soedjatmoko, yang pernah
berucap bahwa ide punya kaki, dalam sebuah tulisannya mendudukkan
otonomi (dimana Koko menyebutnya sebagai "mempertahankan identitas")
sebagai "kebutuhan asasi kebudayaan". Otonomi bertanggung jawab untuk
menjauhkan penciptaan dari keterdominasian, sebuah
kondisi yang hanya akan menciptakan pengikut yang sekadar membebek,
atau--jika tidak--paling jauh hanya akan menghasilkan mimikri yang kenes.
Pertanyaannya
kemudian, apakah pilihan kita atas demokrasi-liberal (istilah ini harus
ditekankan, karena pengertian demokrasi tidaklah tunggal) lahir dari
sikap otonom? Saya selalu yakin jika jawabannya adalah tidak. Bahkan,
jika kita membaca lagi tulisan asli yang menimbulkan percekcokan kita
ini, pertanyaan yang bermaksud untuk menggugat keabsahan demokrasi pun
masih saja mengandaikan adanya sebuah "model".
Oleh
karena itu, saya tidak terkejut, misalnya, ketika dalam sebuah pentas
wicara di televisi beberapa tahun lalu, Jeffrie Geovanie, menyebut bahwa
sebaiknya kita tidak usah separo-separo meniru demokrasi Amerika.
Baginya, demokrasi liberal itu seperti software, ia bisa di-install
di komputer manapun, entah itu buatan IBM, Dell, atau komputer jangkrik
rakitan glodok. Bagi Jeffrie, bangun tata negara dan tata sosial
hanyalah soal peniruan dan pemilihan model belaka. Apa yang disampaikan
Jeffrie paling tidak memberi kita dua referensi. Pertama, itu adalah ucapan paling sembrono dari seseorang yang diposisikan sebagai kaum terpelajar. Dan kedua, ucapan itu membuktikan kalau praktik tata negara kita saat ini memang sekadar mencangkok, alias adopteren, yaitu peniruan bulat-bulat dari praktik dan pengalaman negara lain. (Kosakata Belanda membedakan 'adopteren' dengan 'adapteren', dimana yang terakhir bermakna meniru dengan melakukan perubahan, sehingga produk akhirnya bisa dianggap baru sama sekali)
Tentu
saja kita bisa dan boleh mengambil inspirasi dari kemajuan praktik
demokrasi di Amerika, atau di negara lain manapun. Tapi, jangan lupa,
tujuan yang sama tidak selalu bisa dikerjakan dengan jalan yang sama di
ruang dan waktu yang belainan. Persis di sini sikap otonom dan
kreativitas dibutuhkan, atau apa yang disebut seorang kawan kita sebagai
"peran inovatif yg kontekstual dari aktor yg menciptanya".
Bukan
tujuan dari tanggapan ini untuk menggugat keabsahan "norma demokrasi"
ataupun mendukungnya, kawan. Kegelisahan mengenai praktik demokrasi,
dengan sampel prosesi pemilu yang lalu, terlalu jauh untuk
dihubungkan secara langsung sebagai cacat dari "norma demokrasi" yang
diandaikan menjadi hulunya. Bagaimanapun, demokrasi adalah sebuah proyek
untuk menciptakan tatanan sosial dimana, setidaknya menurut Plato, kewarasan bisa menjinakkan naluri kebinatangan
manusia, dan bukan sebaliknya. Jika inti demokrasi adalah gagasan
mengenai tatanan yang dibangun oleh kewarasan, maka kebrengsekan pemilu lalu, alih-alih menunjukkan kegagalan demokrasi, sebenarnya
lebih tepat disebut sebagai "penyimpangan demokrasi dengan membajak
bendera demokrasi".
Kenapa disebut penyimpangan demokrasi? Karena pesta pemungutan suara itu dikerjakan tidak dalam kerangka menghadirkan order, tatanan. Ia hanyalah pesta para kawanan (herd)
yang sepenuhnya anarkis. Bahkan anarki sepertinya merupakan istilah
yang lebih tepat (daripada demokrasi) untuk menggambarkan praktik statecraft
kita itu; atau, lebih tepatnya lagi: "anarki dengan pemungutan suara".
Ketika kita gagal menjawab dengan tegas pertanyaan mengenai apakah
sistem pemerintahan kita berkelamin presidensial atau parlementer, atau
semi-presidensil (jika konsep ini diterima), persis di situ gagasan
mengenai tatanan telah absen, dan kita patut meragukan jika yang sedang
dipraktikkan adalah demokrasi.
Jika kita membaca
perundang-undangan politik pasca-Reformasi, misalnya, termasuk amandemen
empat kali atas UUD '45, kita tidak akan menemukan gagasan mengenai apa
yang disebut dengan struktur, bangun, tatanan, order, dalam
seluruh produk perundangan itu. Sehingga bisa dikatakan, desain politik
kita adalah desain-tanpa-desain (bahkan cenderung anti-desain).
Ia sepenuhnya merayakan anarki, persis seperti yang dipertontonkan oleh
seluruh proses pemilu sejauh ini. Banyak orang latah menyebutnya
demokrasi, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah media-krasi dan
korporatokrasi, dimana yang berdaulat adalah segerombolan "Mafia Ohio"
(hampir semua pentolan lembaga konsultan politik dan lembaga survei
politik adalah alumni Ohio State University) yang bersekongkol dengan
kaum pengusaha.
Lantas apa selanjutnya, membatalkan
demokrasi?! Gagasan itu, bahkan dengan menyadari bahwa sebagai sebuah
modus berpolitik demokrasi juga tidak lepas dari kekurangan, tetap saja
terlalu prematur. Bukankah kita tidak perlu mengganti lemari pakaian di
rumah hanya karena baju kita bau?!
Sampai di sini,
pertanyaan kita mestinya adalah bagaimana menghadirkan kembali tatanan
dalam praktik politik kita. Ada perlunya kita merenungkan kembali konsep
"Ratu-Adil" yang populer di masyarakat Jawa. Hanya saja, jika kita
masih membayangkan "Ratu-Adil" sebagai persona, dan bukan gagasan mengenai sistem,
pertanyaan itu sepertinya tidak akan terjawab. Di sinilah repotnya.
Kita kadung menganggap "Ratu-Adil" adalah mitos dalam pengertian yang
inferior. Padahal, persis di sana, ketika mitos tetap dimaknai sebagai
mitos, kita telah jatuh sebagai si tertakluk (dari rasionalisme Eropa)
yang kehilangan otonomi untuk melakukan reinterpretasi-imajinatif atas
warisan kebudayaan ibu kita sendiri. Ketiadaan sikap otonom dan
imajinatif itulah yang telah membuat kita kehilangan khazanah warisan
sendiri, dan kehilangan itu pada akhirnya membuat kita harus mengemis ke
Barat dan ke Timur-Tengah untuk mencari jawab atas persoalan-persoalan
yang kita hadapi.
Jadi, masalah kita bukanlah
demokrasi, kawan. Masalah kita adalah otonomi. Kita bukan individu dan
bangsa yang otonom lagi. Kita tidak lagi menciptakan pilihan, melainkan
hanya sekadar memilih apa yang telah diciptakan orang lain; sekadar
menjadi resipien, dan bukannya produsen. Demokrasi tanpa sikap otonom hanya akan menghasilkan dunia yang tunggang-langgang.
Tabik.
Oleh Tarli Nugroho
Mubyarto Institute, Yogyakarta
Menyunting
sebuah buku lama berbahasa Indonesia dengan maksud untuk
menghidangkannya kembali kepada khalayak pembaca hari ini, bukanlah
sebuah pekerjaan yang mudah. Kesulitan itu pula yang dihadapi penyunting
ketika diminta untuk menyunting kembali buku ini, yang terbit pertama
kali pada 1941. Sumber kesulitannya, jika dirumuskan, ada beberapa.
Pertama,
ada persoalan tata bahasa yang tak gampang diatasi. Apa yang kini
disebut sebagai bahasa Indonesia, dalam perjalanan hidupnya, telah
mengalami banyak sekali perkembangan serta sejumlah pergeseran dari
waktu ke waktu. Dari segi ejaan saja, misalnya, sejak diperkenalkannya “Ejaan van Ophuijsen” pada 1901, yang kemudian digantikan oleh “Edjaan Republik” atau “Edjaan Soewandi” pada 1947, hingga kemudian dipungkasi “Ejaan Yang Disempurnakan”
pada 1972, bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan. Dan
perubahan ejaan tentunya membawa konsekuensi perubahan tata bahasa, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi proses pemaknaan (signifying)
atas teks dimaksud. Pergeseran-pergeseran itu telah membuat proses
penyuntingan harus melewati proses berjenjang yang tak bisa diringkas,
yaitu mulai dari pemaknaan atas teks awal hingga mentranslasikan
gramatika awalnya kepada gramatika baru yang digunakan hari ini, dan
semua itu harus dilakukan sedemikian rupa agar makna awalnya tak
bergeser.
Tapi, sesuai kaidah, semua ejaan nama orang
dan nama surat kabar dalam buku ini dipertahankan menurut ejaan van
Ophuijsen. Sedangkan ejaan nama lembaga disesuaikan dengan EYD.
Kedua, soal penggunaan istilah. Kita hari ini, misalnya, lazim menggunakan kata “penelitian” sebagai terjemahan dari kata “research”
dalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang kurang lebih sama. Tapi
kata “penelitian” tidak akan kita temukan dalam sumber-sumber tertulis
berbahasa Indonesia sebelum tahun 1950-an. Dan itu bukan karena pada
masa itu orang belum mengenal kegiatan penelitian, melainkan karena pada
masa itu orang menggunakan istilah yang berbeda dengan yang digunakan
pada hari ini. Kata yang lazim digunakan pada masa itu adalah
“penyelidikan”, sebuah kata yang pada hari ini makna dan penggunaannya
semakin menyempit digunakan dalam bidang hukum. Jadi, “penyelidikan”,
dalam risalah-risalah lama, adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada kegiatan penelitian, atau riset. Istilah lain
yang mencolok adalah “kerajinan”. Dalam risalah-risalah lama, termasuk
dalam buku ini, kata “kerajinan” tidak sama maksudnya dengan penggunaan
dan pemaknaan yang kita kenal hari ini. Di masa lalu, kata “kerajinan”
merupakan padanan dari istilah “industry” dalam bahasa Inggris, atau “nijverheid”
dalam bahasa Belanda. Artinya, pergeserannya sangat jauh sekali. Begitu
juga dengan kata “jabatan”. Dalam edisi pertama buku ini, kata
“jabatan” digunakan untuk menyebut beberapa maksud yang berlainan,
tergantung konteks kalimatnya. Kata ini, misalnya, digunakan untuk
menyebut “kedudukan”, dalam makna sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Namun, kata “jabatan” juga digunakan untuk menunjuk kepada lembaga,
sehingga maksudnya tak lain adalah “jawatan”. Pada bagian lain, kata ini
juga digunakan untuk merujuk kepada konsep “pejabat”, dalam pengertian
sebagaimana yang kita pahami hari ini.
Contoh lain
adalah istilah “bahan barang”. Istilah yang banyak digunakan pada masa
lalu ini, dalam kosa kata hari ini tak lain maksudnya adalah “bahan
baku”. Atau juga “barang cat”, yang maksudnya tak lain adalah “bahan
pewarna”.
Kadang-kadang pergeseran makna itu menerbitkan geli, dan bahkan gelak. Technische Hogeschool,
misalnya, yang kini menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung), dahulu
disebut sebagai “sekolah tukang”, tak lain karena pada masa itu padanan
atas kata “tehnic” atau “engineering” dalam bahasa Inggris, atau “technische”
dalam bahasa Belanda, adalah “tukang”. Maka jadilah ITB pada masa itu
dikenal sebagai “sekolah pertukangan”. Jadi, ada banyak sekali kosa kata
yang terlibat dalam pergeseran-pergeseran semacam itu, dan kesemuanya
menuntut perhatian yang benar-benar.
Ketiga,
soal penggunaan singkatan. Dalam edisi pertama buku yang sedang dipegang
pembaca ini, penulis menggunakan beberapa singkatan (akronim) tanpa
memberikan kepanjangan atau artinya. Untuk konteks masa ketika buku ini
ditulis dan diterbitkan, singkatan-singkatan itu mungkin telah lazim
diketahui orang, sehingga penulis kemudian merasa tidak perlu lagi
memberikan keterangan. Persoalan muncul ketika buku ini dibaca lagi hari
ini, singkatan-singkatan itu bisa membuat pembaca “kehilangan jejak”.
Misalnya, dalam sejumlah uraian penulis banyak menyebut singkatan
“B.B.”. Tanpa membuka-buka kembali arsip-arsip atau buku-buku lama,
termasuk koran-koran atau majalah-majalah yang terbit ketika singkatan
ini digunakan, mustahil kita bisa menemukan arti dari singkatan ini.
“B.B.” tak lain adalah singkatan dari binnenlandsche bestuur,
yang artinya adalah “pamong praja”, atau yang hari ini biasa kita sebut
pegawai negeri sipil (PNS). Singkatan lain yang digunakan tanpa
keterangan, misalnya, adalah “S.S.”. Melihat konteks penggunaannya,
serta mencocokan dengan masa ketika singkatan itu digunakan, dan itu
semua memerlukan waktu, baru kemudian diketahui bahwa yang dimaksud tak
lain adalah “staatspoor”, alias “kereta api negara”, atau bisa juga dirujukkan kepada “jawatan kereta api”.
Hingga
proses penyuntingan ini selesai, ada satu singkatan yang hampir saja
tak bisa ditemukan kepanjangannya, yaitu “PBKBT”, sebuah singkatan nama
pusat koperasi kredit di Tasikmalaya, yang dipimpin oleh R.
Danoemihardja. Dalam buku Hanan Hardjasasmita (1982), Danoemihardja—yang
disebut memiliki nama lengkap R. Kosim Danoemihardja—adalah ketua Bank
Koperasi Simpan Pinjam Bumiputera. Setelah berbagai koperasi di Tasik
membentuk sejumlah pusat koperasi, yang disesuaikan dengan ruang
geraknya (yaitu kredit, konsumsi, dan produksi), maka pusat-pusat
koperasi yang baru terbentuk itu kemudian membentuk PKKT (Pusat Koperasi
Kredit Tasikmalaya). PKKT ini banyak disebut oleh sejumlah buku
mengenai koperasi, seperti buku karangan Teko Sumodiwirjo (1954), tapi
keterangan mengenai PBKBT ini nihil. Tentunya PBKBT ini tak sama dengan
PKKT, karena jika dilihat statusnya sebagai “pusat koperasi kredit”,
maka PBKBT adalah bagian dari PKKT. Apakah PBKBT adalah singkatan dari
“Pusat Bank Koperasi Bumiputera Tasikmalaya”? Ternyata bukan! PBKBT tak
lain adalah singkatan dari “Persatuan Bank Koperasi Bumiputera
Tasikmalaya”. Keterangan ini diperoleh dari skema yang disusun pengarang
buku ini mengenai hubungan antara koperasi-koperasi primer (disebut
juga koperasi biasa) dengan koperasi-koperasi pusat (centrales) di bagian akhir buku yang sedang dipegang pembaca ini.
Keempat,
penyuntingan ini harus memperhatikan konteks penggunaan bahasa dan
peristilahan pada masa ketika buku ini pertama kali terbit, atau sesuai
konteks peristiwa dan masa sebagaimana yang diceritakan oleh buku ini.
Misalnya, dalam edisi pertama buku ini banyak sekali digunakan bahasa
Belanda untuk menyebut jabatan, pekerjaan, dan nama lembaga
pemerintahan. Dan itu semua digunakan dengan tidak menyebutkan
padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah dalam bahasa Belanda itu
tentu saja tidak bisa begitu saja diterjemaahkan menggunakan kamus (tepat-makna), melainkan harus dicarikan padanannya sesuai konteks penggunaannya (tepat-waktu).
Dan padanan yang dimaksud tentu saja bukan padanannya dalam konteks
hari ini, melainkan padanannya pada konteks-masa sebagaimana yang
dinarasikan.
“Binnenlandsche Handel”, misalnya, tidak bisa diterjemahkan menjadi “perdagangan dalam negeri” (meskipun secara “tepat-makna”
adalah benar), karena istilah ini digunakan untuk menunjuk kepada
sebuah bagian dari kementerian kolonial yang menangani urusan tertentu.
Namun, pada masa ketika istilah ini berlaku, kata “dagang” dan
“perdagangan” tidak lazim digunakan sebagai padanan kata “handel”.
Istilah bahasa Indonesia yang digunakan pada masa itu adalah
“perniagaan”, dan inilah istilah resmi yang dipergunakan pada banyak
buku dan arsip resmi. Sehingga, padanan yang tepat dengan penggunaan
pada masa itu bagi “Binnenlandsche Handel” adalah “Perniagaan Dalam Negeri”.
Contoh lain adalah kata “dienst”.
Kata ini tidak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai “dinas” dalam
bahasa Indonesia. Sebab, kata ini digunakan melekat pada kata lain atau
istilah lain yang merujuk nama lembaga di masa lalu. Misalnya, Visserijdienst,
karena ini berkaitan dengan nama lembaga, maka tidak bisa diterjemahkan
menjadi “Dinas Perikanan”, sebab pada masa ketika istilah ini
digunakan, padanannya dalam bahasa Indonesia memang bukan itu, melainkan
“Jawatan Perikanan”. Kata “dinas” baru dikenal dan digunakan
belakangan. Menemukan padanan-padanan sesuai konteks masanya tadi adalah
pekerjaan yang paling lama dan rumit dalam penyuntingan buku ini.
Namun, khusus untuk kata “banteras” yang banyak digunakan dalam buku ini, terutama ketika membahas schuldbevrijdingscooperatie,
atau “koperasi pemberantas utang”, setelah penyebutan pertama kata itu,
dalam uraian setelahnya kata itu telah diganti dengan kata “berantas”,
agar pembaca tak menganggapnya sebagai salah ketik. Perlu diketahui,
baik “banteras” maupun “berantas” sama-sama merupakan kosa kata bahasa
Indonesia, dan pengertian keduanya, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah sama.
Dan kelima, setiap
penyuntingan ulang buku-buku lama pasti akan ketemu dengan dilema antara
mempertahankan gaya tutur dari masa ketika buku itu pertama kali
terbit, dengan gaya tutur masa kini yang lebih memudahkan pembaca untuk
memahaminya. Dilema ini memang tak berlaku untuk seluruh karya atau
pengarang. Buku-buku atau karangan-karangan Mohammad Hatta, misalnya,
tidak akan banyak mengalami dilema ini karena gaya tutur dan tata bahasa
Indonesia yang digunakan Hatta, bahkan sejak 1930-an, karena demikian
tertib dan tertatanya, relatif cukup dekat jaraknya dengan gaya tutur
dan tata bahasa yang kini lazim kita pergunakan, sehingga penyuntingan
ulang karya-karya Hatta hanya akan melibatkan konversi ejaan saja
daripada translasi tata bahasa.
Berhadapan dengan dilema ini, dalam proses penyuntingan buku ini penyunting akhirnya mencari jalan keluar dengan tetap mempertahankan
gaya tutur dan tata bahasa asli yang digunakan oleh pengarang, tapi
dengan memberikan tambahan keterangan melalui sejumlah catatan (anotasi),
baik dalam bentuk catatan kaki maupun dalam bentuk kurung-siku ([…]).
Semua keterangan dalam tanda kurung-siku di buku ini berasal dari
penyunting. Catatan-catatan itu diberikan untuk memudahkan para pembaca
memahami apa yang disampaikan oleh teks asli, terutama ketika bertemu
dengan sejumlah persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas.
Mempertahankan
gaya tutur asli buku ini adalah sangat penting, meski dengan risiko
akan “dipersalahkan” menurut sudut pandang tata bahasa Indonesia hari
ini. Hanya saja, sebuah buku, dan juga bahasa, tidak bisa dinilai hanya
dari tata bahasanya, kejelasan informasi yang disampaikannya, atau dari
kemudahan pembaca menyimaknya. Sebuah buku, dan juga bahasa, karena ia
adalah bagian dari artefak, sehingga cukup penting juga untuk
dipertahankan sebisa mungkin bentuk aslinya. Dan demikianlah cara buku
ini kemudian disajikan kembali ke hadapan pembaca. Oleh karenanya,
pembaca akan berjumpa dengan pilihan kata “girang hati” daripada
“gembira”, serta banyak bertemu dengan sapaan “tuan”, sehingga suasana kebatinan yang antik dari buku ini tetap bertahan.
Sebagai
buah dari catatan yang ditulis penyunting untuk menerangkan
berbagai-bagai kata, istilah, atau uraian asli dari pengarang buku ini,
pada akhirnya perlu disusunkan sebuah glosari untuk melengkapi buku ini.
Glosari ini sekaligus untuk lebih memudahkan pembaca agar tidak
kehilangan kompas. Dalam hal penyusunan glosari dan pemberian padanan
atas istilah-istilah Belanda, buku-buku berikut harus disebut karena
memberikan bantuan yang sangat besar (sesuai abjad nama pengarang):
- A. Hanan Hardjasasmita, Sejarah Lahirnya Gerakan Koperasi Indonesia dan Perkembangannya sampai dengan Awal Periode ’80-an (Bandung: Armico, 1983);
- Almanak Pertanian 1953 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1953)
- Almanak Pertanian 1954 (Djakarta: Badan Usaha Penerbit Almanak Pertanian, 1954)
- J. Thomas Lindblad (Editor), New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (Leiden: Programme of Indonesian Studies, 1993);
- Kamaralsjah, Tentang Pengertian Hal Organisasi Perkumpulan Ko-operasi (Djakarta: J.B. Wolters, 1954);
- Margono Djojohadikusumo, Kenang-kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis (Jakarta: Indira, [cetak ulang tanpa tahun; edisi pertama terbit pada 1969]);
- Mohammmad Hatta, Menindjau Masalah Kooperasi (Djakarta: Pembangunan, 1954);
- Pandu Suharto, Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat (Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1988);
- Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (Editor), Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987);
- Sagimun M.D., Koperasi Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1984);
- Sugiarta Sriwibawa (Editor), 100 Tahun Margono Djojohadikusumo (Jakarta: UI-Press, 1994);
- Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi (Jakarta: LP3ES, 1989);
- Suradjiman, Ideologi Koperasi membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1963);
- Teko Sumodiwirjo, Ko-operasi dan Artinja bagi Masjarakat Indonesia (Djakarta: GKBI, 1954); dan
- Tim Penyusun Buku Sejarah 100 Tahun BRI, Seratus Tahun Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (Jakarta: Humas BRI, 1995);
Satu
hal yang perlu ditambahkan, pada edisi baru ini semua tabel statistik
telah dinomori ulang dan diberi judul oleh penyunting, karena pada edisi
aslinya tabel-tabel itu sebagian tidak bernomor dan ditampilkan tanpa
judul. Pemberian nomor dan judul tabel ini sangat penting karena
merupakan sejenis standar akademis, yang meskipun pada masa ketika buku
ini pertama kali ditulis standar itu belum berlaku, namun karena buku
ini termasuk karya akademik yang berbobot, sebagaimana ditulis oleh
pengantar M. Dawam Rahardjo untuk buku ini, maka penyesuaian itu harus
dilakukan.
Demikian keterangan yang harus disampaikan terkait penyuntingan buku ini. Selamat membaca!
Maguwoharjo-Yogyakarta, November 2012
*) Karangan ini adalah tulisan
pengantar saya sebagai penyunting bagi buku Margono Djojohadikusumo,
Sepuluh Tahun Koperasi, 1930-1940. Buku ini pertama kali terbit pada
1941, mula-mula ditulis dalam bahasa Belanda, sebelum kemudian
diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ini
adalah buku klasik yang menuliskan perkembangan gerakan koperasi di
Indonesia dalam lima puluh tahun pertama perkembangannya. Sebagai
pegawai Jawatan Koperasi (sebelumnya bekerja di Jawatan Perkreditan
Rakyat), Margono bekerja di bawah supervisi sarjana-sarjana Belanda
terkemuka, seperti Boeke, Fruin dan van der Kolff, yang memiliki banyak
simpati terhadap masyarakat Bumiputera. Pengantar edisi terbaru buku ini
diberikan oleh M.Dawam Rahardjo, dengan tetap menyertakan kata
pengantar edisi pertamanya, yang diberikan oleh J.J. Ochse, Kepala
Jawatan Koperasi dan Perniagaan Dalam Negeri masa itu. Karena pengantar
mengenai isi buku sudah diberikan, saya "hanya" bisa menuliskan
pengantar sebagai penyunting bahasa.
Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute, Yogyakarta
Ketika
sekira tiga minggu yang lalu muncul pemikiran untuk mengadakan
peringatan sewindu wafatnya Profesor Mubyarto, yang pertama kali
dilontarkan Pak Bambang Ismawan, spontan muncul berbagai ide mengenai
bagaimana momen itu akan diperingati. Sejumlah usulan acarapun
bermunculan, mulai dari mengadakan sarasehan, diskusi buku, pemutaran
film, hingga pameran buku. Semua usulan itu hampir menjadi trademark
dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan dan Mubyarto Institute. Namun, ada satu lagi kegiatan yang
sepertinya telah agak lama dilupakan, tapi kini sepertinya mulai
bergairah kembali di Bulaksumur B-2—tempat dimana Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan (d.h. Pusat Studi Ekonomi Pancasila, PUSTEP) yang didirikan
almarhum Profesor Mubyarto berkantor, yaitu: penerbitan buku.
Selama
hampir tiga tahun memimpin PUSTEP, hampir setiap bulan Profesor
Mubyarto menerbitkan buku. Sehingga ketika ia berpulang pada 24 Mei
2005, sudah puluhan buku karyanya, baik yang ditulisnya sendiri maupun
bersama tim peneliti yang lain, yang telah diterbitkan oleh lembaga yang
didirikan dan dipimpinnya itu. Sejak kepergiannya itu pula program
penerbitan buku oleh PUSTEP seperti berhenti berdenyut, sehingga
meninggalkan kesan bahwa produksi pemikiran Ekonomi Pancasila sudah
berhenti. Tentu saja itu anggapan yang keliru, karena produksi gagasan
Ekonomi Pancasila sebenarnya terus berlanjut dan terpublikasikan, meski
tak lagi melalui PUSTEP.
Oleh karena itu, bersamaan
dengan munculnya gagasan untuk mengadakan peringatan sewindu wafatnya
Profesor Mubyarto, muncul pula gagasan untuk menerbitkan buku terkait
peringatan itu. Pertanyaan yang pertama kali muncul kemudian adalah:
buku mengenai apa?
Sejak sebelum Pak Muby berpulang
sebenarnya telah beredar gagasan di sejumlah kolega dan bekas muridnya
untuk menerbitkan sebuah buku penghormatan yang akan diterbitkan
bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-70. Sayangnya takdir berkehendak
lain, beliau sudah pergi mendahului ketika usianya belum lagi genap 67
tahun. Namun itu tak membuat acara peringatan ulang tahunnya yang ke-70,
3 September 2008, dilewatkan begitu saja. Tepat pada hari itu malah
disepakati berdirinya Yayasan Mubyarto, sebuah lembaga yang didirikan
untuk merawat dan meneruskan warisan pemikiran almarhum. Ketika itu,
gagasan untuk menerbitkan buku penghormatan telah bergeser menjadi
penerbitan biografi almarhum. Sayangnya, mimpi itu bahkan hingga hari
ini belum terwujud.
Oleh karena itu, ketika muncul
gagasan untuk menerbitkan buku bertepatan dengan peringatan sewindu
wafatnya Pak Muby, muncul pertanyaan yang sudah disebut tadi: buku
mengenai apa? Mengingat waktu yang sangat mepet, tentunya tidak mungkin
mengorganisasikan sebuah proyek penulisan baru. “Kalau sekarang baru
ditulis, mau terbit kapan?” ucap seorang rekan. Maka satu-satunya
pilihan yang mungkin dilakukan adalah mengolah tulisan-tulisan yang
sudah ada. Dan pilihan itu jatuh pada mengkolek tulisan obituari Pak
Muby. Sebagai pelengkap kemudian turut disertakan sejumlah tulisan,
termasuk wawancara panjang dengan almarhum yang pernah dimuat sebuah
jurnal mahasiswa, dimana dari kumpulan tulisan ini diharapkan bisa
tercapai sejumlah maksud.
Pertama, bagi mereka
yang telah mengenalnya, maka kumpulan tulisan ini diharapkan bisa
mengingatkan kembali mengenai sosok Pak Muby dan pemikirannya. Meski
buku peringatan sewindu wafatnya almarhum ini bertajuk “Warisan
Pemikiran Mubyarto”, judul yang tepat bagi mereka yang pernah
mengenalnya, terutama bagi bekas murid-muridnya, adalah: “Utang
Kita kepada Mubyarto”. Ya, setelah mengingat kembali almarhum,
sepertinya masing-masing kita kemudian memiliki utang, yaitu utang untuk
meneruskan cita-cita dan menghidupi warisannya. Utang ini tentu saja
tidak berlaku bagi mereka yang tak setuju dengan pemikirannya.
Kedua,
bagi mereka yang tak sempat mengenal Mubyarto, maka buku ini bisa
dijadikan semacam pengantar untuk memperkenalkan apa dan siapa guru
besar Fakultas Ekonomi UGM tersebut. Melalui kesan-kesan yang
ditinggalkan oleh Mubyarto pada sejumlah orang yang karangan atau
komentarnya dimuat dalam buku ini, bisa disimak bahwa Pak Muby bukan
hanya seorang pemikir yang tangguh, melainkan juga pribadi yang
menyenangkan, dan guru yang banyak memfasilitasi murid-muridnya untuk
maju. Pada sosok Mubyarto memang terdapat pengertian seorang “guru” yang
sebenarnya, di mana di lingkungan perguruan tinggi kini tak lagi banyak
yang tersisa orang-orang semacam ini. Bagi Pak Muby menjadi pendidik
bukanlah pertama-tama soal pekerjaan, melainkan dedikasi.
Ketiga,
buku ini disusun dengan keyakinan bahwa setiap pemikiran akan punah
jika tak terus-menerus ditulis atau dibahas. Dan terbitnya buku ini,
selain dimaksudkan untuk terus mengawetkan dan menghidupi pemikiran
Mubyarto, juga dimaksudkan untuk mengingatkan kita bahwa tanpa kita
sadari dalam usianya yang “baru” menginjak enam dekade, Universitas
Gadjah Mada sepertinya telah kehilangan banyak pemikiran penting yang
pernah dilahirkan oleh para begawannya. Apa fasal? Di usianya yang
kepala enam, ada berapakah buku semacam ini yang pernah terbit di
lingkungan Kampus Bulaksumur?! Semakin sedikit jumlah buku semacam ini
yang pernah terbit, bisa dijadikan indikasi punahnya sejumlah pemikiran
yang pernah dilahirkan di kampus ini. Siapa masih ingat Profesor
Sardjito, Profesor Herman Johanes, Profesor Jacob atau Profesor
Koesnadi?! Jika nama-nama itu disebut, sebagian besar orang mungkin
masih mengingatnya, karena kebetulan mereka pernah jadi rektor UGM,
alias mantan “pejabat”. Namun jika ditanyakan, apakah sumbangan
pemikiran mereka bagi dunia keilmuan yang pernah tercatat, banyak orang
pasti gelagapan. Salah satu sumber gelagapan itu adalah karena kita
tidak pernah mencatatkan hal-hal terkait pemikiran tokoh-tokoh tadi
secara baik. Jika hari ini ada yang hendak mencari karya-karya Mubyarto,
orang masih bisa pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan
(PSPK) atau perpustakaan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Namun,
kemana kita bisa mencari karya-karya Herman Johanes, Djojodigoeno, Iman
Soetiknjo, atau Soedarsono Hadisapoetro?! Pada masanya sumbangan
pemikiran dan karya mereka sangat besar artinya bagi bidang keilmuan
yang ditekuninya, dan bagi kemanusiaan secara umum. Namun, sekali lagi,
dimana karya-karya mereka tersimpan?! Adakah yang merawat karya-karya
mereka?!
Tanpa ikhtiar yang serius dan terus-terus
untuk merawat dan menghidupi sebuah pemikiran, dalam dua puluh atau tiga
puluh tahun ke depan pemikiran Mubyarto juga mungkin akan bernasib
sama. Dan agar hal itu tidak terjadi, maka buku semacam ini harus
diterbitkan. Tentu saja kami menyadari bahwa penerbitan buku ini adalah
ikhtiar paling sederhana dari upaya untuk merawat dan menghidupi
pemikiran Pak Muby.
Akhir kata, buku ini adalah hasil
gotong royong dari banyak pihak. Mas Satriyantono Hidayat telah
mengirimkan foto-foto yang dimuat sebagai ilustrasi dalam buku ini. Pak
Puthut Indroyono telah menyumbangkan transkrip wawancara dengan Pak
Sartono dan Pak Koesnadi ketika kedua beliau itu masih sugeng.
Sebuah wawancara yang langka dan telah menjadi antik. Dan ucapan terima
kasih juga tak lupa disampaikan kepada kolega dan bekas murid Pak Muby
yang karangannya bersedia dicuplik untuk buku ini.
Terakhir,
kepada Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, dan Dekan Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM, Prof. Dr. Wihana Kirana Jaya, yang telah mendukung dan
memberikan fasilitas bagi acara peringatan sewindu wafatnya Prof. Dr.
Mubyarto, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga buku ini ada manfaatnya.
Yogyakarta, Mei 2013
*) Ini adalah tulisan kata pengantar saya
untuk buku "Warisan Pemikiran Mubyarto: Memperingati Sewindu Wafatnya
Prof. Dr. Mubyarto, MA" (Mubyarto Institute & Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan, 2013)
Oleh Tarli Nugroho
Mantan Asisten Dr. Hidajat Nataatmadja (2006-2009)
Tradisi
keilmuan di Indonesia barangkali memang tidak dihidupi oleh kegairahan
untuk membangun otentisitas. Indikasinya bisa dilihat dari miskinnya
kegiatan kritik teori maupun tiadanya tendensi strukturasi teori baru
yang dilakukan oleh para sarjana kita. Kegiatan penelitian maupun
penalaran didominasi oleh vak verifikasi, yang pada dasarnya hanya
mempraktikkan, lalu menegaskan kembali gagasan orang lain. Hampir tidak
ada problematisasi serius atas berbagai persoalan keilmuan.
Seandainyapun ada sebentuk kegiatan kritik teori, maka kegiatan tersebut
pun pada dasarnya sukar dibedakan dari sekadar epigon atas pergulatan
kritik serupa yang dilakukan para sarjana di luar negeri. Jadi,
seandainya ada, atau pernah ada, kritik itu hadir tanpa problematisasi
yang otentik.
Bagi sebagian orang, tendensi otentisitas
barangkali tidak relevan dibicarakan dalam kegiatan keilmuan. Apalagi,
sejarah kelahiran dunia universiter di kita memang pertama-tama bukan
untuk melahirkan pencerahan, melainkan sekadar untuk menyediakan
ambtenaar, para pekerja di birokrasi pemerintahan. Sehingga, fungsi
perguruan tinggi tidak pernah beranjak dari produsen tenaga kerja, dan
bukannya produsen ilmu pengetahuan. Sebagaimana bisa kita lihat pada
berbagai perbincangan yang menyoal state of the art ilmu sosial di
Indonesia, seperti yang pernah mengemuka di tahun 1970-an dan awal
1980-an, sebagian besar sarjana kita berpendirian bahwa tidak ada yang
salah dengan ilmu dan teori, yang keliru adalah penerapannya; sehingga
mempersoalkan keabsahan ilmu dan teori adalah pekerjaan yang tidak
berguna.
Namun, tentu saja itu adalah pendapat yang
sepenuhnya salah. Bahkan sangat salah karena secara tak sadar sedang
mendudukkan positivisme sebagai proto dari state of the art keilmuan itu
sendiri. Hidayat Nataatmadja (1932-2009), terlepas dari kesepakatan
atau ketidaksepakatan orang terhadap hasil pemikirannya, adalah satu
dari sedikit orang yang gigih melakukan perlawanan terhadap kejumudan
dunia kesarjanaan. Melalui sikap otonom yang teguh, Hidayat berusaha
membongkar benteng regularitas diskursif. Dia hanya ingin mengajukan dan
mempersoalkan apa-apa yang belum pernah diajukan dan dipersoalkan orang
lain, demikian tulisnya suatu ketika.
Memang, setiap
pemikir berdiri di atas pundak pemikir lainnya, sama seperti halnya
setiap tradisi kesarjanaan bertumpu di atas tradisi kesarjanaan
pendahulunya yang lebih klasik. Tapi kait-kelindan itu bukan pembenaran
terhadap perayaan—meminjam Galbraith—conventional wisdom dan pemujaan
terhadap—mencuri Kuhn—normal science. Seperti diimani Borges, setiap
pengutip Shakespeare adalah Shakespeare itu sendiri. Dan ilmu
pengetahuan, hampir serupa sastra, membangun dirinya dari model serupa
itu: penciptaan yang terus-menerus, karena pada dasarnya setiap orang
adalah pencipta.
Pada diri Hidayat, etos itu hadir
sangat kental. Apalagi, bagi Hidayat, kebudayaan adalah rumah pikiran,
sehingga setiap tradisi keilmuan mestinya berakar di kebudayaan
inangnya. Tapi tidak berarti Hidayat tak jernih dalam memahami
distingsi ihwal universalitas dan partikularitas. Persoalan
universalitas dan partikularitas itu justru merupakan salah satu kata
kunci dari segepok hasil pemikirannya. Kemanusiaan, misalnya, mungkin
bersifat universal. Tapi bagaimana kemanusiaan itu dipelihara, pastinya
itu bersifat partikular. Ini sama seperti halnya bahwa semua manusia
lahir ke dunia dalam keadaan telanjang. Dengan apa ia akan menutupi
tubuh telanjangnya, sangat tergantung pada dimana ia lahir. Bayi yang
lahir di kutub barangkali harus dibungkus dengan mantel bulu yang tebal,
sementara bayi yang lahir di pesisir Jawa cukup ditutupi jarik tipis.
Dan persis di titik partikular itu otonomi kesarjanaan dan tendensi
otentisitas, sebagaimana yang melingkupi pemikiran Hidayat, menemukan
relevansinya.
Tentu saja otentisitas dalam dunia
keilmuan sebagaimana yang dihidupi Hidayat berbeda dengan, misalnya,
otentisitas sebagaimana yang diimani dalam karya kesenian. Otentisitas
dalam dunia keilmuan, meminjam istilah Daoed Joesoef (1986), adalah
otentisitas dalam hal menemukan tata-hubungan prioritas yang baru yang
lebih memuaskan dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu . Newton
dikatakan telah menyumbang pengetahuan karena analisis ilmiahnya mampu
menunjukkan hubungan antara gerakan bulan dan benda-benda langit dengan
jatuhnya buah apel. Padahal, gerakan benda-benda langit merupakan
pengetahuan astronomis yang sudah lazim, bahkan sejak masa yang lebih
lampau. Artinya, gagasan Newton sebenarnya berangkat dari bahan-bahan
yang telah lazim diketahui, hanya tata-hubungan dan struktur yang
dikemukakan bersifat baru.
Tanpa tendensi
otentisitas, ilmu pengetahuan sekadar menjadi kegiatan adopsi,
verifikasi, yang pada akhirnya hanya membebek pada kebakuan. Pada titik
itu, dunia kesarjanaan sebenarnya sedang sebatas mendudukkan ilmu
pengetahuan sekadar sebagai produk yang tinggal dikonsumsi, bukan
sebagai proses yang terus-menerus diolah.
+ + +
Bagi
generasi yang dilahirkan sesudah dekade 1980-an, Hidayat adalah
khazanah intelektual yang terselip. Namanya hampir tidak tercatatkan.
Tapi memang, dalam semua tradisi keilmuan, selalu dibutuhkan orang besar
untuk memperkenalkan orang besar lainnya, dimana ke-besar-an dalam
dunia keilmuan dipelihara melalui siklus bertukar simak dan kaji. Dan
tradisi kesarjanaan di Indonesia, apa lacur, tidak mengenal keduanya:
keterbukaan untuk menyimak, dan ketekunan untuk mengkaji, yang menjadi
prasyarat bagi lahirnya pemikir dan pemikiran besar.
Untuk
memahami gagasan Hidayat memang dibutuhkan sebuah ketekunan sekaligus
empati intelektual yang tinggi, karena gagasan-gagasannya dituliskan
dalam banyak sekali buku dan dalam bahasa yang seringkali “tidak lazim”.
Kalau menyimak judul buku-bukunya, menurut ukuran masa kini, atau
menurut kebiasaan yang menguntit, dengan mudah kita akan menemukan
“ketidaklaziman” itu. Tanpa empati-intelektual, kita akan dengan mudah
terpeleset menuduh Hidayat sekadar sedang mencari sensasi, atau
memancing kontroversi, sehingga pada akhirnya meluputkan substansi serta
argumentasi kokoh yang dengan sangat serius sebenarnya sedang coba dia
tuturkan. Begitu juga, dengan tanpa ketekunan untuk menyimak
keseluruhan karya-karyanya, kita hanya akan menemukan
penggalan-penggalan gagasan penting yang tidak padu. Bangunan penting
gagasan Hidayat tersimpan (kadang tersembunyi) dengan rapi dalam
keseluruhan karyanya, yang meskipun ada berbagai pengulangan dalam tiap
tulisannya, pembaca yang tekun akan menemukan bahwa ada lebih banyak
lagi argumen dan uraian penting yang tidak dia tuturkan ulang pada
tulisan-tulisannya yang lebih kini. Tanpa menyimak keseluruhan karyanya,
kita mungkin hanya akan ketemu kesimpulan-kesimpulan tanpa argumentasi,
karena berbagai argumen yang mendasari kesimpulan-kesimpulan itu sudah
dia paparkan dalam karya-karyanya yang telah silam.
+ + +
Selasa,
13 Januari 2009, lebih dari setahun silam, Hidayat berpulang, setelah
sebelumnya selama lebih dari satu semester bolak-balik ke rumah sakit
karena berbagai komplikasi. Tak ada satu obituaripun yang
mengantarkannya. Tapi sebenarnya yang dibutuhkan oleh Hidayat memang
bukan sebuah obituari, melainkan sebuah ucapan selamat datang. Ketika
beberapa bekas murid Hidayat, yang kini telah profesor, mengabari untuk
memperkenalkan lagi pemikiran gurunya, itu mungkin adalah ucapan yang
lama ditunggunya.
Selamat datang kembali ke dunia universiter, Pak Hidayat!