Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan
Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta
Pada 8 Oktober 1949, bertepatan dengan hari ulang tahunnya
yang ke-70, di rumahnnya di Jl. Lembang 410, Bandung (kini menjadi Jl. Dr.
Setiabudi), Dr. Douwes
Dekker menerima telegram dari Presiden
Soekarno. Sebagai Presiden Republik Indonesia, mewakili seluruh anak
bangsanya, Bung Karno mengucapkan terima kasih atas perjuangan dan jasa-jasa Dr. Douwes Dekker bagi
kemerdekaan Indonesia.
“Atas nama seluruh bangsa kita saya turut menyatakan terima kasih yang memenuhi hati kami untuk segala apa yang telah Saudara lakukan dan korbankan demi tanah air dan bangsa kita dengan kesetiaan yang tidak pernah luntur. Kami menganggap dan menyambut Saudara sebagai Bapak dari Politik Nasionalisme Indonesia.”
Telegram
itu membuat air mata pendiri Indische Partij ini mengalir. Atas telegram ini pula,
puluhan surat kabar dari seluruh Indonesia kemudian memberikan penghormatan
kembali yang meriah kepada suami dari Ny. Harumi Wanasita ini, yang di masa
mudanya juga merupakan jurnalis yang teguh mempropagandakan kemerdekaan.
Sebagai balasan
kepada Soekarno, Dr. Douwes Dekker, yang kemudian berganti nama menjadi Dr. Danudirdja
Setiabudi, menulis surat ini:
“Presiden kami,Saya tidak tahu bagaimana saya akan menyapa Yang Mulia. Cara resmi akan menjauhkan saya dari Yang Mulia. Cara biasa saya anggap terlalu mudah untuk hadiah yang begitu besar yang saya terima dari Yang Mulia dalam tilgram tertanggal 6 yang lalu. Bagaimanapun juga kekakuan birokrasi adalah dalam hal ini cara yang tepat. Dengan jalan ini saya sampaikan, bagaimana tergoncangnya hati dan tekanan rasa pusing membuat saya terjatuh dan untung tersanggah oleh daun pintu. Waktu saya untuk yang kedua kalinya membaca berita kawat itu, air mata mulai mengalir.”
Fragmen itu
saya baca dari buku “Dr. E.F.E. Douwes
Dekker” yang ditulis oleh Margono Djojohadikusumo (Djakarta: Bulan Bintang,
1975). Buku ini merupakan terjemahan, karena aslinya buku ini ditulis dalam
bahasa Belanda, “Notities uit Vergeelde
Papieren Dr. E.F.E. Douwes Dekker, de Onverzaagde Drager van een Levens-Ideaal:
De Politieke on Afhankelijkheid van Indonesie”.
Tak
berlebihan jika Bung Karno menyebut bahwa Douwes Dekker adalah “Bapak Politik
Nasionalisme Indonesia”. Dalam kenyataannya, Bung Karno memang sangat hormat
kepada tokoh pelopor pergerakan nasional tersebut. Bahkan, pada suatu
kesempatan, ia pernah mengatakan bahwa apa yang telah dicapainya dalam politik
tidak pernah lebih tinggi dari lututnya Dr. Setiabudi.
Margono
Djojohadikusumo, yang mengenal dengan baik Dr. Douwes Dekker, menulis buku ini
dengan penuh kekaguman. Sebagai gambaran, naskah buku ini diselesaikannya pada
tanggal 16 Mei 1974, tepat ketika Margono berulang tahun yang ke-80. Bisa dibayangkan
bagaimana seorang berusia 80 tahun masih berusaha menulis buku yang didedikasikan
untuk mengenang sahabatnya. Bukan hanya itu, Margono, di bagian akhir bukunya,
menulis bahwa buku ini juga sesungguhnya dipersembahkan untuk menyambut Hari
Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1974.
Ketika membaca
kembali pengantar Mohammad Roem untuk buku ini, saya jadi diingatkan ihwal
hubungan antara keluarga Margono dengan keluarga H. Agus Salim. Pada masa
kolonial, di Salemba, yang merupakan kawasan permukiman elite, Margono secara
rutin mengadakan pengajian dan pelajaran agama untuk anak-anaknya dan anak-anak
kawannya, yang juga diikuti oleh anak-anak di kawasannya, termasuk juga para
ibu-ibunya. Menurut Margono, pelajaran agama itu penting bagi anak-anak,
terutama bagi para pelajar yang sekolah dimana pelajaran agama sama sekali tidak
diberikan di dalamnya. Malah, menurut Margono, sekolah-sekolah yang ada pada
zaman itu memiliki tendensi untuk menjauhkan anak-anak dari agama.
Pengajian sebagaimana
yang diadakan oleh keluarga Margono pada zaman itu, dalam pandangan Roem, yang juga
telah mengenal Margono sejak masa kolonial, adalah sesuatu yang tidak lazim pada
masanya. Apalagi mengingat bahwa keluarga Margono adalah keluarga intelektual
dan elite, yang pada masa itu identik dengan cara pandang sekuler. Karena merupakan
pengajian kaum elite, maka ceramah dan pelajaran agama yang diberikan pun
dilakukan dalam bahasa Belanda. Tokoh yang sering diundang ceramah di rumah
keluarga Margono adalah H. Agus Salim.
Menurut Roem,
keberanian Margono untuk mengundang Agus Salim mengisi acara-acara di rumahnya
juga merupakan hal yang istimewa. Mengingat, pada masa itu Agus Salim adalah
tokoh politik yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial, sehingga banyak
orang merasa takut untuk berhubungan dengannya. Namun tidak demikian halnya
dengan Margono, meskipun Margono sendiri adalah seorang birokrat dalam
pemerintahan kolonial, yaitu merupakan Inspektur Koperasi. Roem sendiri sering
ikut H. Agus Salim dalam pengajian-pengajian yang diadakan di rumah Margono
itu.
Dalam buku “Cendekiawan Islam Zaman Belanda” (1990),
yang ditulis Ridwan Saidi, Agus Salim merupakan pelopor dalam penyiaran Islam
secara modern. Ia adalah orang pertama yang berani menuliskan naskah khutbah
Jumat dalam huruf latin berbahasa Belanda, yang itu dimuat dalam surat kabar
yang dikelolanya, sekaligus berani memberikan terjemahan bahasa Belanda atas
ayat-ayat al Quran, yang pada masa itu masih dianggap “terlarang” oleh sebagian
ulama.
Relasi antara
Margono, Agus Salim dan Roem ini menurut saya menarik. Agus Salim berusia sepuluh
tahun lebih tua dari Margono, dan Roem berusia empat belas tahun lebih muda
dari Margono. Roem kelak menjadi salah satu tokoh Masyumi, sementara keluarga
Margono, terutama melalui Sumitro Djojohadikusumo, salah satu anaknya,
merupakan penyokong dari dan menjadi tokoh di PSI. Relasi antara PSI dengan
Masyumi pasca-Proklamasi, selain karena kedua partai itu sama-sama banyak
disokong oleh kaum terpelajar, juga karena relasi interpersonal di antara
elite-elitenya. Sjafruddin Prawiranegara, misalnya, yang merupakan salah satu
tokoh Masyumi, oleh Sjahrir pernah dianggap sebagai salah satu “murid
terbaiknya”, meskipun Sjafruddin enggan memilih PSI yang dipimpin Sjahrir
sebagai wadah politiknya. Agus Salim sendiri, meskipun bukan orang Masyumi,
merupakan tokoh Islam yang dihormati oleh Masyumi. Dan meskipun pasti bukan tokoh
PSI, ia adalah kerabat sepuhnya Sjahrir.
Ketika Selasa
(20 Mei 2014) kemarin Prabowo Subianto Djojohadikusumo, yang merupakan cucu
Margono, melakukan “ziarah politik” di antaranya ke makam Sutan Sjahrir dan H.
Agus Salim, saya melihat bahwa pilihan makam yang diziarahi itu mewakili simbol
ideologis dan historis tertentu. Secara historis dan ideologis, tentu saja
ziarah ke makan Sjahrir itu dilakukan karena Prabowo berasal dari keluarga PSI.
Sumitro, ayahnya, bahkan pernah mengalahkan Sjahrir dalam kongres PSI sebelum
Pemilu 1955, yang sempat melahirkan keretakan di tubuh PSI, karena pada
akhirnya posisi Sjahrir sebagai ketua partai tetap dipertahankan.
Sementara,
ziarah ke makan H. Agus Salim, selain karena secara historis keluarga
Djojohadikusumo memiliki relasi sejak lama dengan Pahlawan Nasional tersebut, ziarah
itu secara politis juga bermakna bahwa koalisi politik yang sedang dibangun
oleh Prabowo dan partainya dengan sejumlah partai Islam saat ini, bisa dimaknai
sebagai semacam reinkarnasi dari koalisi antara PSI dengan Masyumi di masa
lalu, antara golongan "sosialis" dengan golongan "religius".
Bagaimana nasib
koalisi ini nantinya? Yang jelas, dinamika politik tahun ini masih menarik
untuk terus disimak.
Yogyakarta, 21 Mei 2014