Oleh Tarli Nugroho
Pertemuan
itu kecil, dan dihelat di sebuah tempat yang terpencil. Ada sekira tiga puluhan
orang yang hadir siang itu. Semuanya duduk lesehan, sembari menikmati jajanan
pasar bersama teh dan kopi hitam.
Lelaki itu
duduk di kursi roda, di ujung sana. Rambutnya masih gondrong, dengan janggut
putih memanjang. Topi baret berwarna gelap nangkring di kepalanya. Ia selalu
tampil stylist, persis seperti dandanannya ketika kami bertemu terakhir kali di
Joglo Winasis beberapa bulan sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang Tan
Malaka bersama Harry Poeze.
Meski sudah
kehilangan tubuh gempal dan seluruh kegesitannya, ia masih bisa berkata-kata dengan agak terbata
dan lirih. Kita harus mendekatkan kepala untuk bisa mendengar bicaranya. Namun,
itu adalah sebuah kemajuan yang sangat besar.
Ya. Setelah
bisa bangkit dari serangan stroke kedua yang menyerangnya dua tahun yang lalu,
yang membuatnya harus berbulan-bulan berada dalam perawatan intensif di rumah
sakit, ia kini sudah bisa bicara dengan kosakata tertata. Hanya, ia memang tak
lagi mudah mengingat. Ketika adik kandungnya, yang duduk persis di sampingnya,
memberikan testimoni mengenai dirinya, lelaki itu bertanya dengan memberi kode
kepada isterinya yang duduk jauh di seberang, siapa gerangan yang sedang bicara
ini. Adegan itu kontan memancing gelak. Sang adik hanya bisa berseloroh, “Iya tho, karo
aku wae lali.”
Lelaki itu
adalah George Junus Aditjondro. Dan pertemuan kecil itu, yang berlangsung
Jumat, 5 September 2014 kemarin, adalah sebentuk pesta perpisahan untuknya.
Sebab, Sabtu pagi tadi, George terbang ke Palu untuk menetap di sana.
Saya
mengenal nama George waktu duduk di bangku SMP. Waktu itu, perpustakaan sekolah
saya menyimpan cukup baik sejumlah Majalah Tempo
tahun 1970-an. Dan sejak pertama kali bisa menikmati membaca Majalah Bobo di bangku kelas tiga sekolah dasar,
saya memiliki kebiasaan untuk selalu memperhatikan dan mengingat nama-nama
pengelola setiap media yang dibaca. George, bersama dengan Putu Wijaya, Salim
Said, Bur Rasuanto, dan Martin Aleida, adalah nama-nama dalam boks redaksi Tempo yang saya catat baik-baik. Tentu
saja, selain Goenawan Mohamad pastinya.
Tak banyak
karangan George yang saya ingat. Namun tulisan-tulisannya mengenai Papua memang
sudah muncul sejak ia masih bekerja di Tempo.
Salah satu artikelnya yang pernah saya baca waktu SMP menulis tentang hutan
bakau di sana. Ya, nama George memang identik dengan Papua, jauh sebelum
berbagai peneliti lain menabalkan namanya sebagai pengkaji pulau terkaya di
Indonesia itu. George, sebagaimana testimoni seorang rekannya, Imam Yudotomo,
yang telah mengenalnya sejak 1970-an, adalah pelopor pendiri LSM di Papua. Tak
heran, sebagaimana juga pengakuan seorang kawan, di Papua nama George sudah
hampir sebentuk mantera. Sebutkan saja namanya, maka Anda akan segera dihormati
orang-orang sana.
Selain soal
Papua, George termasuk salah satu dari sedikit intelektual Indonesia yang sejak
lama banyak menulis dan menyoroti soal korupsi. Sejak jauh-jauh hari, sebelum
George menulis buku “Membongkar Gurita
Cikeas” (2009) yang menghebohkan dan membuat namanya kembali terkenal lima
tahun lalu itu, soal korupsi telah menjadi pusat perhatiannya. Secara
kebetulan, buku pertamanya yang saya beli adalah “Membongkar KKN Keluarga Besar Habibie”. Buku itu saya beli pada 5
Oktober 1998, di sebuah kios koran di jalan protokol di Karawang.
George,
yang menggondol gelar doktor dari Universitas Cornell, memang lebih menekuni
jalan hidup sebagai “intelektual jalanan” daripada sebagai intelektual kampus
yang “mriyayi”, yang congkak dengan
sofistikasi akademik, namun miskin dan terbata ketika dimintai praktik. Ia
lebih terpanggil untuk terlibat dan meleburkan diri dalam banyak persoalan
lapangan daripada soal keilmuan. Dan barangkali hal ini pula yang membuat
namanya tak mentereng di jajaran ilmuwan, dan pesta perpisahannya hanya
dihadiri orang-orang jalanan.
Saya kadang
melihat soal ini dengan ironi. Di dalam masyarakat kita yang masih sangat
lisan, kita menyaksikan pemujaan yang kadang berlebihan terhadap tradisi
literasi. Tindakan sepertinya mendapat penghargaan yang jauh lebih kecil
daripada tulisan. Dimana, mereka yang banyak menulis selalu dianggap lebih
hebat dari mereka yang tulisannya lebih sedikit, dan apalagi dari mereka yang
sekadar bertindak dengan tanpa menulis.
Tentu saja
kita sepakat bahwa tradisi literasi itu penting. Namun kita patut curiga bahwa
selama ini penghargaan terhadap tradisi itu lebih banyak bermakna simbolik
daripada substantif. Maksudnya, penghargaan itu bisa jadi lebih banyak
dipengaruhi dan dibentuk oleh pemujaan terhadap tradisi priyayi dalam
masyarakat kita, dimana pekerjaan halus dianggap lebih tinggi derajatnya
daripada pekerjaan kasar.
Seandainya
penghargaan terhadap tradisi literasi itu bersifat benar-benar, tak sekadar
simbolik, nyatanya hingga kini dunia kesarjanaan kita belum juga melahirkan
sebuah tradisi pemikiran yang solid dan konsisten. Bukankah itu mustahil
terjadi jika kita benar-benar menghargai tradisi literasi secara substantif?
Di forum
kecil yang menjadi pesta perpisahan bagi George, ironi itu hadir dengan tajam.
George, lelaki di atas kursi roda itu, tentu saja tidak menginginkan
penghargaan atas jerih payahnya. Forum sederhana itu saja sudah cukup menitikan
air matanya. Ia hanya minta didoakan agar kesehatannya bisa pulih kembali,
sehingga bisa berkarya lagi. Seorang anaknya bercerita, bagaimana papanya
sampai menangis tersedu-sedu pada suatu hari hanya karena ingin kembali bisa
membaca buku. Sebuah cerita yang membuat kami yang hadir menundukkan kepala.
Terharu.
George pagi
tadi sudah terbang ke Palu. Ribuan bukunya, dan berbagai arsip miliknya,
ditinggalkannya di Yogya, kota yang sangat dicintainya; namun yang juga pernah
mengusirnya, hanya karena George pernah mengkritik penguasanya. George
menghibahkan buku-bukunya pada sebuah perpustakaan publik di belakang kampus
ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, yang dikelola oleh anak-anak muda
yang mencintainya.
Selamat
jalan, George. Kami akan merindukanmu.
Yogyakarta, Sabtu, 6 September 2014