Sabtu, 28 Juni 2014

MENUNGGU PENJELASAN "KORAN TEMPO"


















Oleh Tarli Nugroho


Saya sebenarnya malas menulis catatan ini. Namun setelah tiga hari menunggu tidak juga muncul ralat di Koran Tempo, saya terpaksa menulis catatan ini. Pada hari Rabu, 25 Juni 2014 lalu, dimana Koran Tempo memuat berita berisi pernyataan salah satu pendirinya, GM, bahwa "media tidak harus netral", yang segera saja membuat dahi saya mengernyit dan melahirkan catatan di blog (lihat: http://bit.ly/1pJgIiq), saya tidak banyak memperhatikan berita lain di koran tersebut. Pernyataan itu bagi saya aneh. Tentu saja saya sepakat bahwa media harus berpihak pada kebenaran. Namun ketika "kebenaran" itu terkait dengan soal realitas politik yang berlapis-lapis, bagaimana media akan mendefinisikan "kebenaran", dan tidak terperosok pada "pembenaran"? Siapa yang sanggup memberikan garansi? Bagaimana media akan mempertahankan prinsip cover both sides, misalnya, jika narasumbernya hanya tunggal saja, dan porsi klarifikasi dari narasumber yang berseberangan hanya diberikan secara kikir dalam satu atau dua kalimat saja?




























Kecemasan pada wajah media yang semakin tak disiplin dengan tata krama yang mestinya dihidupinya ini, saya sebut sebagai sejenis tindakan mesum dalam industri media kita (lihat: http://bit.ly/UTcjA6). Dan saya semakin tak habis pikir ketika, setelah diingatkan seorang rekan jurnalis melalui status Facebook-nya, membaca kembali berita halaman muka Koran Tempo pada hari yang sama (25 Juni 2014), yang di situ menulis petikan kutipan dari seorang purnawirawan Kopassus. Isi petikan itu berikut ini:

Ruby, bekas anggota Tim Mawar, berjanji mencari orang-orang lain yang dianggap berbicara ngawur tentang Prabowo. "Mulai saat ini, kami akan bergerilya mencari orang-orang yang bicaranya tidak bertanggung jawab."  



























Petikan serupa juga muncul di hari yang sama pada laman Tempo.co (lihat: http://bit.ly/1lzFXoa) . Apa yang menarik dari petikan itu? Koran Tempo menyebut bahwa Kolonel Ruby yang jadi narasumbernya itu merupakan anggota Tim Mawar. Saya kira Koran Tempo merupakan salah satu koran yang membangun dan memiliki sistem data base sangat baik selain Kompas. Namun, setelah tiga hari, saya tidak juga mendapati ralat itu. Apa yang bermasalah dari petikan itu? Kalau kita cari di mesin pencari, tidak ada satupun anggota Tim Mawar Kopassus yang sebelas orang itu bernama "Ruby". Ketika Tim Mawar diadili pada 1999, Majalah Tempo sudah terbit kembali dan juga ikut melakukan liputan atas pengadilan Tim Mawar. Bagaimana bisa Koran Tempo dan Tempo.co sampai lalai untuk mencek apakah benar Kolonel Ruby yang jadi narasumbernya adalah benar-benar anggota Tim Mawar?

Sayangnya saya tidak berhasil menemukan Majalah Tempo yang memuat daftar nama Tim Mawar di perpustakaan saya. Edisi tahun-tahun itu mungkin masih terikat di garasi, belum dibongkar setelah pindahan awal bulan yang lalu. Saya menemukan daftar Tim Mawar itu di Majalah Forum No. 2, 18 April 1999. 

















Setelah saya cek lagi di mesin pencari, meskipun berita soal Kolonel Ruby dengan pernyataan kontroversialnya itu juga dikutip oleh media daring lainnya, namun hanya Koran Tempo dan Tempo.co yang menyebut bahwa yang bersangkutan adalah anggota Tim Mawar. Apa maksud Koran Tempo dan Tempo.co menyebut Kolonel Ruby sebagai anggota Tim Mawar? Untuk menciptakan efek traumatik dan teror kah? Apakah penyebutan itu terkait dengan berita dan pernyataan pendiri Tempo bahwa media tidak harus netral? Dengan modus semacam itukah media harus menghidupi ketidak-netralannya? Apakah itu sekadar salah kutip, atau...?

Sejak lama kita prihatin bahwa tiga lembaga pilar demokrasi, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah sedemikian rupa mengalami pembusukan. Sudah banyak menteri dan bekas menteri yang dijebloskan ke tahanan. Kasus korupsi kini bahkan sedang merongrong Istana Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPRD dan DPR RI sudah tak terhitung yang masuk bui. Belakangan dari jajaran yudikatif kita terhenyak dengan ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi. Apalagi yang tersisa setelah semua itu, jika pers, yang sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), juga ikut-ikutan melacurkan dirinya?


Kapan Koran Tempo akan meralat atau memberikan penjelasan atas beritanya? Inikah harga dari pemihakan media yang disebutkan pendiri Tempo itu? Dan kitakah yang harus membayarnya, Pemirsa, membayarnya dengan rasa ketidakpercayaan yang semakin menyegala terhadap semua bentuk media dan informasi?

Kamis, 26 Juni 2014

PERNYATAAN SIKAP ATAS KONFLIK AGRARIA DI KARAWANG

























PERNYATAAN SIKAP

SERIKAT PETANI KARAWANG (SEPETAK)
PERNYATAAN SIKAP ATAS EKSEKUSI TANAH PETANI DESA WANASARI, WANAKERTA DAN MARGAMULYA DENGAN KEBIADABAN APARAT



1. Peradilan hitam

a. Bukti-bukti palsu

Selama konflik berlangsung, hingga saat ini tak satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Justru yang selalu disucikan oleh PT SAMP di hadapan pengadilan adalah bukti berupa Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat. Dan kedua bukti atas hak itu telah terbukti palsu. Bahkan kedua bukti tersebut telah lama bergulir ke kepolisian namun hingga detik ini kejahatan tersebut yang telah menetapkan direktur PT SAMP, Irawan Cahyadi, sebagai tersangka tidak pernah diungkap, alih-alih mengubah putusan pengadilan dalam memenangkan PT SAMP pada perkara tersebut.

b. Kriminalisasi

Tidak cukup dengan peradilan hitam. Sepanjang berlangsungnya konflik, PT SAMP tak henti-hentinya melakukan tindakan kriminalisasi terhadap para petani dengan tuduhan menyerobot tanah. Namun tak satupun terbukti bersalah sebagaimana yang dituduhkan. Yang terakhir korban kriminalisasi ialah Ratna Ningrum (mantan Kades Margamulya) yang dituduh melakukan pemalsuan salinan Surat C desa. Padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti. Justru rekayasa hitam kembali dilakukan oleh kejaksaan dalam surat tuntutan. Anehnya lagi pengadilan tetap memvonis Ratna Ningrum bersalah dengan kurungan 6 bulan penjara.

c. Kekerasan

Disamping peradilan hitam dan kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT SAMP, kekerasan pun tak jarang menimpa para petani. Yang sulit diterima akal sehat, kekerasan dilakukan oleh preman bayaran yang didukung oleh aparat.


2. Sistematika Eksekusi

Ketua PN Karawang sebelum-sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT SAMP tidak bisa ditindaklanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut; tidak memiliki batas tanah; serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT SAMP.

Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran terhadap pihak yang kalah. Atau lebih tegasnya peringatan kepada pihak yang kalah bahwa akan segera dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp4000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia hanya bertugas menjalankan putusan, bukan pada kapasitas mengkaji putusan.

Sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Karawang, Kapolres sebelum-sebelumnya tidak membenarkan eksekusi dilakukan. Namun pada saat yang hampir bersamaan beberapa pekan saja AKBP Daddi Hartadi memimpin Kepolisian Resort Karawang, eksekusi dilangsungkan. Yang sangat mengiris hati kaum tani, Kapolres dan Kapolda mengatakan bahwa di atas tanah 350 hektar yang berperkara tidak ada masyarakat penghuni. Parahnya lagi, kapolres menyatakan bahwa yang aksi menolak eksekusi bukanlah petani, tapi mereka unsur oknum LSM yang memanfaatkan situasi.

Dalam melancarkan eksekusi, tak tanggung-tanggung ribuan Brimob, Sabhara dan Dalmas diturunkan dengan alasan pengamanan. Namun pada pelaksanaan di lapangan yang menjadi pemandangan publik adalah tindak represif, penganiayaan sampai penembakan.

Guna melindungi nama baiknya, dibeberapa media, Polda Jawa Barat menyampaikan pernyataannya bahwa konflik ini bukan konflik antara Agung Podomoro Land dengan petani, tapi konflik antara pengusaha dengan pengusaha. Padahal, Polda sendiri pernah melakukan pemanggilan kepada para petani yang berperkara untuk dikriminalisasi. Kalau memang benar pernyataan Polda Jabar tersebut, mengapa yang dipanggil itu petani, bukan pengusaha seperti yang dituduhkannya? Bahkan jelas PK yang dimenangkan PT SAMP yang berperkara adalah 49 petani (sebagai penggugat) dengan PT SAMP (sebagai tergugat).

Artinya dalam hal ini, Polda Jabar telah melakukan kebohongan publik untuk melindungi nama baik institusi Polri.



3. Eksekusi yang Cacat Hukum/Inkonstitusional

Tanah yang telah kuasai, dikelola dan dimanfaatkan oleh para petani secara turun temurun selama berpuluh-puluh tahun adalah merupakan kehendak UUD 1945 Pasal 33 yang diturunkan melalui UUPA No. 5 Tahun 1960. Dimana petani sebagai tenaga produktif memiliki hak yang sangat absolut atas tanah bagi kesejahteraan hidupnya. Adapun penguasaan fisik tanah yang dilengkapi oleh bukti kepemilikan berupa Girik/Leter C dan ketaatan membayar Pajak Bumi dan Bangunan kepada Negara. Namun kini tanah itu harus jatuh ke pangkuan PT SAMP yang secara penuh diakuisisi oleh "kompeni" Agung Podomoro melalui perampasan yang dalam tindakannya menyertakan Kejaksaan, Pengadilan dan ribuan aparat kepolisian.

Saat jalannya eksekusi, massa yang menghadang pasukan Brimob meminta kapolres Karawang menunjukan bukti kepemilikan PT SAMP dan menunjukan batas-batas tanah, Kapolres tidak bisa membuktikannya. Malah, jawaban atas pertanyaan massa adalah berupa semprotan water canon dan pentungan kepada massa petani dan massa yang bersolidaritas.


Kebenaran, kemanusiaan dan keadilan yang sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia (PANCASILA, Sila ke-2, dan ke-5) telah diinjak-injak oleh aparat kepolisian dan pengadilan sesat didalam eksekusi.



4. Implikasi dan dampak terhadap petani yang jadi korban

Lalu bagaimana nasib para petani yang terusir dari kampung halamannya sendiri? Saat ini saja mereka masih punya gubug tempat tinggal dan lahan yang bisa dikelola, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan, apalagi kalau tidak memiliki rumah (tuna wisma) dan tidak memiliki tanah (tuna kisma), tentu saja mereka hanya akan menambah panjangnya sederetan nama korban keangkaramurkaan Republik.

Dengan demikian, atas nama UUD 1945 melalaui UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai landasan hukum untuk melindungi kedaulatan kaum tani atas akses tanah sebagai alat produksi bagi kehidupannya, dan atas peradilan hitam sebagai media untuk merampas tanah petani, kemudian dengan bukti adanya pelanggaran hukum dan HAM berat berupa kejahatan kemanusian (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), perlakuan yang kejam ( Pasal 33 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 21 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 18 ayat 2 huruf d, e dan f Peraturan Kapolri Nomor 8 tentang 2010 tentang Tata Cara Lintas ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara, kami menuntut:

  1. Kembalikan Tanah Petani desa Wanasari, Wanakerta dan Margamulya di atas obyek tanah 350 hektar 
  2. kami mengutuk keras kebiadaban (pemukulan sampai penembakan) yang dilakukan aparat kepolisian. Segera Copot Kapolres Karawang dan Copot Kapolda Jabar dari jabatannya 
  3. Copot ketua Pengadilan Negeri Karawang dari jabatannya 
  4. Tarik Pasukan Brimob dan aparat kepolisian lain dari lokasi konflik

Karawang 26 Juni 2014

Serikat Petani Karawang (SEPETAK)


Ketua Umum

GRAMATIKA








Oleh Tarli Nugroho
Bekas pencinta bahasa

 
 

Apakah Ki Hadjar adalah seorang totaliter hanya karena dia membubuhkan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Apakah Soekarno adalah seorang fasis hanya karena dia pernah meminjam beberapa lontaran Hitler? Apakah Soepomo mengimani fasisme hanya karena dia menggunakan terma integralistik ketika ikut merumuskan konstitusi pertama Republik ini? Apakah seseorang yang mengutip Marx otomatis menjadi Marxis? Apakah sebuah kata atau konsep yang pernah digunakan oleh sistem gagasan yang lahir lebih dulu akan membuat kata atau konsep itu kehilangan kesempatan mendapatkan pengertian yang berbeda dari apa yang pada mulanya telah merumuskannya?

Kita bukanlah penemu huruf dan pencipta kata. Kita mewarisi huruf dan kata beserta semua perjanjian tandanya. Pendeknya, kita lahir ke dunia sudah mewarisi kamus bahasa.

Namun, apakah kita menggunakan bahasa hanya sebatas pengertiannya di dalam kamus saja? Jangan jauh-jauh ke kehidupan sehari-hari, dimana orang lebih sering berimprovisasi dengan bahasa daripada bersyariat terhadap kamus, di lingkungan akademis saja kata dan konsep seringkali tidak diimani sebagaimana perjanjian akademisnya.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada pengujung 2007 silam, Sukardi Rinakit dan kawan-kawannya memproklamirkan gagasan "Ekonomi Pasar Sosial" (Epasos) sebagai sebentuk persilangan antara kebaikan kapitalisme dengan sosialisme. Pengertian itu tentu saja menggelikan, karena gagasan Epasos telah memiliki pengertian baku. Dan Epasos adalah gagasan yang sepenuhnya berpijak di atas keutamaan sistem pasar yang kompetitif, yang oleh Sukardi ditolak sebagiannya.

Idealnya, Sukardi mencari frasa baru untuk menyebut ide yang dikampanyekannya. Ia harusnya menciptakan neologisme. Namun itu tidak dilakukannya.

Lantas, bagaimana kita harus membaca tawaran gagasannya Sukardi dan kawan-kawan masa itu?

Ada dua tentu saja. Pertama adalah dengan menggunakan kamus yang baku, dimana tawaran gagasannya Sukardi boleh kita tertawakan karena telah memperkosa pengertian yang sudah baku dari konsep Epasos. Jika pilihan ini diambil, selesai, tidak terjadi dialog dengan tawaran yang coba diajukannya.

Kedua, kita bisa mengabaikan kamus yang baku dan mencoba mencerna gagasan itu seturut penjelasan yang menyertainya. Jika ini dipilih, kita bisa dianggap tak bersetia dengan kamus, namun dengan begitu pintu dialog dan dialektik tidak jadi dikunci.

Cara kedua itu dalam beberapa obrolan dengan sejumlah rekan selalu saya sebut sebagai "pendekatan gramatika". Cara lain untuk memahami pengertian sebuah kata bukanlah dengan membuka kamus, melainkan dengan melihat dalam gramatika yang bagaimana kata tersebut digunakan. Artinya, setiap kata yang sama, jika digunakan dalam gramatika yang berlainan, maka pengertiannya juga menjadi berbeda.

Jika kita membaca lagi sejarah, kesetiaan terhadap pengertian itu langka sekali kita dapatkan. Soal gagasan koperasi Hatta, misalnya, bisa kita jadikan contoh. Secara umum, Hatta adalah seorang sarjana yang disiplin dengan soal konsep dan pengertian. Namun, dalam soal koperasi, Hatta melakukan "improvisasi akademis". Jika kita membaca riwayat koperasi di Eropa, koperasi adalah gagasan mengenai lembaga ekonomi, jadi levelnya mikroekonomi. Namun, oleh Hatta gagasan ini dibawa ke Indonesia sebagai gagasan mengenai politik perekonomian, jadi sebagai gagasan di level makroekonomi. Inilah yang membuat kenapa Herman Suwardi dulu tegas menyebut bahwa gagasan koperasi Indonesia itu berbeda dengan di Eropa. Secara semantik, itu mungkin menyalahi kamus. Namun, secara pragmatik, itu malah memperkaya konsep tersebut.

Dua cara pandang atau cara timbang itu saya kira berguna untuk melakukan taksonomi gagasan secara lebih jernih di negeri ini. Coba bayangkan, bagaimana bisa seorang Ki Hadjar Dewantara, yang membuang gelar ningratnya, anti-feodalisme, dan sangat egaliter, pernah disebut oleh seorang sarjana kita sebagai "Bapak Totalitarianisme" di Indonesia hanya karena ia memasukan kata itu dalam anggaran Taman Siswa paling awal? Dalam pengertian yang bagaimana Ki Hadjar menguraikan kata itu, tidak dibahas oleh sarjana yang bersangkutan. Baginya, penyebutan kata itu sudah cukup untuk memberikan labeling yang tandas tadi. Bisa dibayangkan jika modus klasifikasi macam itu digunakan tanpa kritik dan koreksi. Apakah karena Fir'aun bercinta, misalnya, maka setiap orang yang melakukan kegiatan percintaan setelah Fir'aun juga bisa dianggap sama dengan Fir'aun? Oalah...

Sampai di sini, menurut saya lebih bijak jika kita mendefinisikan kosa kata apapun pertama-tama dari gramatika yang mengantarkannya, agar kita tidak offside dari maksud dilontarkannya kosa kata tadi.

Menyebut Ahmad Dhani sebagai sedang mengkampanyekan Nazisme dan fasisme hanya karena dia menggunakan pakaian mirip Himmler adalah sama menggelikannya dengan menyebut lontaran Revolusi Mental Jokowi sebagai lahir dari pikiran komunistis. Kalau Anda menyebut Dhani sebagai fasis, maka dengan logika yang sama Anda juga harus menerima jika Jokowi disebut komunis karena Revolusi Mental-nya. Tapi kita sama-sama tahu bahwa dua penilaian itu sama-sama memperkosa penalaran.

Hari ini, politik sepertinya telah membuat semua orang menghalalkan segala cara. Bahkan kaum yang merasa dirinya terdidik dan tercerahkan sekalipun tak segan untuk melakukan hal yang sama, hanya untuk membela posisi politik yang diimaninya.

Ya, demokrasi memang butuh akah sehat. Tanpa itu, para jurnalis tak akan pernah tahu bedanya EDITORIAL dengan ADVERTORIAL, dan kaum intelektual tak akan tahu bedanya POLISEMI dengan POLIGAMI.