Minggu, 05 Oktober 2014

POPULARITAS VERSUS INFRASTRUKTUR KEKUASAAN


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta


Diskusi mengenai calon presiden yang menghangat sejak kurang lebih satu setengah tahun terakhir ini masih saja berkutat di soal popularitas dan elektabilitas. Sebagaimana telah dikeluhkan sejumlah sarjana dan pengamat, karena hanya berkutat di dua soal itu, demokrasi kita jadi minim memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Dan kontestasi popularitas yang tidak melibatkan pertarungan gagasan, agenda, dan program, pada akhirnya telah mereduksi demokrasi menjadi semacam ajang pencarian idola-politik saja.

Infrastruktur kekuasaan adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan.

Popularitas dan elektabilitas bisa saja mengantarkan seorang kandidat memenangi hari pemilihan. Namun, dalam proses politik selanjutnya, apakah yang bersangkutan akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan atau tidak di rentang masa jabatannya, atau apakah dia bisa atau tidak mengerjakan agenda yang dititipkan publik kepadanya, tidak lagi tergantung kepada popularitasnya pada waktu kampanye dan pemilihan, melainkan pada penguasaannya atas hal lain, terutama penguasaan infrastruktur kekuasaan (power apparatus). Infrastruktur kekuasaan inilah yang sebetulnya akan menentukan posisi tawar seorang tokoh, atau kandidat, ketika berhadapan dengan kelompok kepentingan dalam proses perumusan kebijakan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang memadai, ia tak akan bisa mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif seturut harapan publik yang dititipkan kepadanya.

Infrastruktur kekuasaan adalah perangkat yang menunjukkan seberapa jauh seorang tokoh politik menguasai simpul-simpul penting di lingkungan sosial, politik dan ekonomi yang bisa digunakannya sebagai kolega, alat penekan, alat penawar, serta alat lobi ketika yang bersangkutan sedang mengoperasikan kekuasaan pemerintahan. Infrastruktur kekuasaan hadir dalam bentuk jaringan sumber daya, dukungan politik, ekonomi, dan birokratik, yang kesemuanya bersifat organik dan formal. Secara umum, di alam demokrasi, infrastruktur kekuasaan terutama terlembagakan di dalam partai politik. Namun, seorang kandidat atau tokoh bisa juga menguasai infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai politik, misalnya melalui jejaring alumni perguruan tinggi, organisasi pergerakan, organisasi profesi, serta ikatan-ikatan keorganisasian lainnya, yang ketika ia memegang kekuasaan bisa dikonversi dan didayagunakan untuk membantu mengoperasikan kekuasaannya.


Padahal, seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai.

Hanya saja, meskipun ada infrastruktur kekuasaan di luar kelembagaan partai politik, infrastruktur kekuasaan itu biasanya tidak digunakan secara langsung dan tiba-tiba untuk mengoperasikan kekuasaan. Infrastruktur tadi biasanya digunakan melalui kelembagaan partai politik juga. Tentunya bukan merupakan rahasia bahwa untuk menguasai infrastruktur kekuasaan yang terlembagakan di dalam partai politik, seorang tokoh memang harus memiliki modal infrastruktur kekuasaan lain yang telah disebut sebelumnya. Jadi, pada akhirnya, infrastruktur kekuasaan yang efektif digunakan untuk mengoperasikan kekuasaan pemerintahan adalah yang terlembagakan di dalam partai politik. Sebab, bagaimanapun partai politik merupakan miniatur kehidupan politik, sehingga ia memang menjadi basis perhitungan bagi infrastruktur kekuasaan pemerintahan.

Selain soal agenda dan program politik, soal infrastruktur kekuasaan ini tidak banyak diperhatikan dalam perbincangan politik di tanah air, terutama yang biasa ditampilkan di layar dan halaman media. Padahal, seorang kandidat yang populer sekalipun, termasuk jika ia memiliki agenda dan program politik yang jelas, belum tentu bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif jika yang bersangkutan tidak menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai.


Demokrasi yang Efektif

Salah satu persoalan serius terkait pelembagaan demokrasi di era post-otoritarian saat ini adalah bagaimana mengefektifkan demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi memang tidak otomatis menghasilkan pemerintahan yang bekerja untuk demos (rakyat). Apalagi jika pelembagaan demokrasi jauh dari efektif, akan membuatnya semakin berjarak dari kepentingan rakyat. Kita pernah mengalami masa demokrasi parlementer dengan puluhan partai, dan pasca-Reformasi kita hidup dalam sistem presidensial yang juga dengan puluhan (kini belasan) partai politik. Jumlah partai yang terlalu banyak ini telah membuat demokrasi jadi tidak efektif, karena kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan juga jadi terlalu banyak.

Hadirnya gagasan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom pada masa Soekarno dan dilakukannya fusi partai politik dan pemberlakuan asas tunggal pada masa Soeharto, di luar tuduhan stigmatik bahwa itu dilakukan untuk menegakkan otoritarianisme, sebenarnya bisa dibaca sebagai pilihan politik untuk mengefektifkan demokrasi. Hatta, yang sering diposisikan sebagai berseberangan dengan Soekarno terkait soal demokrasi, secara tegas menyebut bahwa gagasan Nasakom merupakan cara yang harus ditempuh untuk menghindari “free fight democracy”. Melalui Nasakom, demikian Hatta, maka kepentingan partai-partai politik yang jumlahnya puluhan coba diagregasikan, sehingga demokrasi tak menjadi arena pertempuran liar. Istilah free fight democracy, yang diperkenalkan Hatta, sepertinya mengadopsi istilah free fight capitalism yang telah diperkenalkan Soekarno lebih dahulu, dimana konsep yang terakhir terutama ditadaruskan untuk melegitimasi gagasan Ekonomi Terpimpin, sebuah gagasan yang juga turut disetujui Hatta.


Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif.

Namun, menyederhanakan jumlah partai politik, atau melakukan fusi ideologis sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu, bukanlah solusi untuk mengefektifkan demokrasi di masa kini, karena akan gampang dituduh menyalahi prinsip demokrasi dan bisa dicurigai sebagai hendak melembagakan oligarki. Persis di sinilah urgensi dan relevansi isu infrastruktur kekuasaan. Jika dan hanya jika calon presiden menguasai infrastruktur kekuasaan yang memadai, maka ia bisa efektif mengoperasikan kekuasaannya, atau dengan kata lain mengefektifkan demokrasi. Sebaliknya, tanpa infrastruktur kekuasaan yang memadai, kita akan selalu berhadapan dengan dilema free fight democracy. Bahkan, di level yang paling buruk, karena institusi politik semakin banyak menjadi kepanjangan tangan para pemodal, tanpa modal infrastruktur kekuasaan yang memadai, seorang calon presiden yang populis sekalipun akan mudah didikte oleh pasar.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana bisa popularitas dan dukungan publik yang besar dalam pemilu tidak bisa menjadi jaminan seorang kandidat atau tokoh bisa mengoperasikan kekuasaannya secara efektif?

Dukungan publik yang besar dalam pemilu memang tidak selalu bisa dikonversi untuk mengoperasikan kekuasaan secara efektif. Kasus kepemimpinan Jokowi-Basuki di DKI Jakarta merupakan contoh yang baik. Terlambatnya pengesahan APBD DKI tahun 2014, serta ditolaknya pengadaan truk sampah oleh DPRD DKI, menjadi contoh bahwa popularitas dan dukungan publik yang luas terhadap keduanya tidak menjamin mereka berada dalam posisi yang sangat kuat ketika harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik, dalam hal ini yang ada di DPRD.


... sekadar menjadi simpatisan politik saja tidak akan memberikan  perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan.

Proses perumusan kebijakan secara teknis memang hanya melibatkan lembaga-lembaga kekuasaan formal, baik yang berada di wilayah politik maupun ekonomi. Posisi publik, seberapapun besar dan massifnya, hanya akan menempatkan mereka sebagai kelompok penekan (pressure group) saja. Tanpa penetrasi ke dalam lembaga-lembaga kekuasaan formal tadi, dukungan besar itu tidak bisa dikonversi menjadi infrastruktur kekuasaan.

Persis di sini publik harus menyadari bahwa sekadar menjadi simpatisan politik saja tidak akan memberikan  perbedaan apapun, kecuali hanya di hari pemilihan. Proses politik selanjutnya, dimana seorang pemimpin terpilih harus bernegosiasi dan bertanding dengan berbagai kepentingan dalam proses perumusan kebijakan, membutuhkan dukungan infrastruktur kekuasaan. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui para partisipan, yaitu mereka yang terlibat di dalam institusi-institusi resmi pengambilan kebijakan, mulai dari lembaga politik, birokratik, dan sejenisnya. Para partisipan inilah yang bisa dijahit dan dikonversi menjadi infrastruktur kekuasaan. Dan hal yang sama tidak bisa terjadi pada dukungan para simpatisan.


Demokrasi Terbajak

Jika beberapa riset yang pernah dilakukan sejumlah lembaga survei menyebut bahwa jumlah swing voters (pemilih mengambang) dan golput merupakan penentu kekuatan perubahan, maka penilaian itu bernilai benar sejauh yang dimaksud sebagai perubahan itu sebatas yang terjadi di hari pemilihan. Kalau diperhatikan, angka golput dalam tiap Pemilu di Indonesia sejak Reformasi 1998 memang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1999 angkanya hanya 10,21 persen, maka pada Pemilu 2004 dan 2009 masing-masing angkanya menjadi 23,34 persen dan 29,01 persen. Sedangkan, angka swing voters bisa dilihat dari fluktuasi perolehan suara partai-partai politik, yang angka dan konfigurasinya terus-menerus berubah. Jumlah swing voters ini berkisar antara 14 hingga 19 persen, jika dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam perolehan suara partai-partai politik sejak Pemilu 1999 hingga 2009.

Angka swing voters ini memang menjadi penentu perubahan, sekali lagi, jika yang dimaksud adalah perubahan di hari pemilihan. Pada Pemilu 2009 lalu, ketika suara Partai Golkar turun 8 persen, PDI-Perjuangan turun 4,5 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa turun 5,5 persen, pada saat yang bersamaan suara Partai Demokrat naik menjadi 14 persen. Pada Pemilu 2009, swing voters telah berhasil membuat Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu.

Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih rakyat.

Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, karena kemenangan itu hanya ditentukan oleh para simpatisan saja, yang tak menjadi bagian organik dari kekuatan harian institusi politik dan ekonomi di tanah air, kemenangan itu tak bisa dikonversi oleh Partai Demokrat menjadi infrastruktur kekuasaan yang mampu menyokong mereka dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka masih harus menjalin berbagai koalisi yang kebanyakan tidak perlu, dan akhirnya memang tersandera dalam mengoperasikan kekuasaan pemerintahan secara efektif. Di luar faktor lemahnya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana telah sering diulas selama ini, faktor penjelas yang mengena mengenai kenapa posisi Partai Demokrat tetap lemah meski memenangi Pemilu adalah bahwa kemenangan itu tak membuat infrastruktur kekuasaan mereka jadi lebih kuat. Kondisinya mirip dengan posisi PDI-Perjuangan pada Pemilu 1999. Meski bisa menjadi pemenang Pemilu dengan meraup suara hingga 33,75 persen, namun modal suara yang besar itu tak mampu mengantarkan Megawati ke kursi presiden, karena suara yang besar itu terbukti disumbang oleh swing voters, sekadar simpatisan, yang terbukti dalam Pemilu setelahnya mengalihkan dukungan politiknya ke partai lain.



Menghadapi pemilihan presiden 2014, para pemilih sebenarnya mudah saja untuk mengukur apakah para kandidat calon presiden yang bertarung memiliki kompetensi untuk merealisasikan janji dan programnya atau tidak, dengan melihat infrastruktur kekuasaan yang telah dibangun para kandidat. Jika mereka sudah cukup lama membangun infrastruktur kekuasaan, kita bisa menyebut bahwa kompetensi mereka jauh lebih baik daripada kandidat yang sekadar mengandalkan popularitas tapi belum apa-apa dalam menyiapkan infrastruktur kekuasaan. Tanpa infrastruktur kekuasaan yang kuat, seorang kandidat bisa sangat mudah dipaksa untuk mengerjakan agenda-agenda pemilik infrastruktur kekuasaan lain yang lebih kuat, meskipun mereka yang terakhir ini tidak pernah ikut Pemilu dan dipilih rakyat.

Jika yang terakhir itu kembali terjadi dalam Pemilu 2014 ini, maka demokrasi sesungguhnya kembali telah terbajak.


*) Tulisan ini dimuat di Tabloid The Politic No. 11/III, 04-17 April 2014, hal. 20.

Senin, 29 September 2014

PERLUKAH KONSTITUANTE JILID DUA?


Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


Pada akhirnya, cepat atau lambat, sepertinya kita harus membuka kembali kotak pandora Konstituante. Perdebatan politik yang berlangsung sejak Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 lalu, jika kita periksa anatominya, sepertinya akan menjadi perdebatan tanpa ujung hingga bertahun-tahun ke depan. Ada beberapa sebab kenapa semua perdebatan itu akan berakhir tanpa ujung, baik secara politik maupun akademis.

Pertama, secara politik perdebatan itu tidak pernah benar-benar hendak membangun konsensus (baru), sehingga tidak berusaha mencari titik temu, melainkan sekadar menegaskan premis-premis dasar dari masing-masing posisi awal.

Kedua, perdebatan itu terlalu diwarnai oleh sentimen politik warisan Pilpres 2014, yang kebetulan memang telah membagi perkubuan politik hanya jadi dua. Kentalnya sentimen tersebut telah membuat banyak perdebatan penting jadi sulit untuk mencapai poin substansial, dan lebih banyak terjebak di soal-soal atributif yang residual.

Ketiga, perdebatan yang terjadi, baik di wilayah politik, hukum, ekonomi, maupun pendidikan, tiga dari beberapa topik yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini, hanya terbatas pada persoalan-persoalan di hilir, padahal persoalan-persoalan yang diperdebatkan tersebut merupakan derivat dari persoalan-persoalan yang ada di hulu. Tentu saja, karena hanya berkutat di hilir, sekeras apapun perdebatan itu tidak akan menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya.

Keempat, secara akademis perdebatan yang terjadi terlalu didominasi oleh sudut pandang normatif dan behavioral. Sudut pandang normatif mengandaikan bahwa segala urusan politik, hukum, ekonomi, tata negara, bisa begitu saja dideduksi dari norma dan teori. Sementara, sudut pandang behavioral hanya menghasilkan pesimisme, karena terlalu fokus pada perilaku aktor dan lembaga politik yang dianggap dekaden.

Kombinasi dari dua sudut pandang ini telah melahirkan bukan hanya pandangan skeptis, tapi juga apatis, dan bahkan anarkis. Tak sedikit kalangan terdidik yang kemudian menganggap bahwa sebaiknya semua lembaga politik dibubarkan saja. Perdebatan akhirnya tidak pernah sampai ke soal substantif di hulu, karena orang kemudian jadi kehabisan energi dalam perdebatan di hilir.

Dan kelima, sebagai akibat dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, perdebatan politik yang terjadi sekarang ini tersebar luas kepada publik sebagai individu, tak terkanalisasi di dalam institusi politik. Buntutnya, spektrum perdebatan jadi terlalu luas, baik ideologi maupun kepentingannya. Dinamika politik pun akhirnya bersifat dualistik, antara yang berlangsung di tengah masyarakat, dengan yang terjadi di institusi politik formal, dimana pada masing-masingnya melibatkan spektrum perbedaan yang luas.




Meskipun sebagian kalangan akan sulit mengakui, ketegangan politik yang kini terjadi sebenarnya bukan berakar di soal Pilpres 2014, melainkan berakar pada konstitusi “baru” hasil amandemen. Setelah diamandemen empat kali, sistem tata negara kita, sebagaimana diakui oleh sejumlah ahli tata negara, termasuk mereka yang terlibat dalam proses amandemen itu sendiri, memang mengidap sejumlah persoalan sistemik. Jika tidak diselesaikan, persoalan itu akan terus-menerus merongrong kita di masa depan.

Apakah amandemen kelima merupakan solusi?

Di tengah kepercayaan publik yang semakin rendah pada partai politik dan pemerintah, agak sulit membayangkan opsi ini. Lagi pula, lazimnya proses amandemen adalah meneruskan perubahan-perubahan dasar yang telah ditetapkan di awal, dan bukan mengkoreksinya secara fundamental.

Bagaimana dengan kembali kepada UUD 1945?

Mengulang kembali apa yang pernah dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mestinya tidak lagi terbayangkan. Meskipun kita mungkin telah melakukan banyak kebodohan dalam proses amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi, namun kembali lagi kepada UUD 1945 malah menunjukkan bahwa kita memang tak sanggup menjadi pewaris negeri yang cakap, karena ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan fundamental harus terus-menerus kembali ke pencapaian di masa lalu sebagai solusinya.

Persis di situ kita mungkin harus membayangkan sesuatu yang pastinya tidak menyenangkan dan memiliki beban sejarah tidak ringan: membuka kotak pandora Konstituante.

Kita tentu tidak ingin menjadi seperti pernah disebut Hatta, kita hidup di zaman besar, namun hanya menjadi generasi yang kerdil. Kita hanya berani berdebat di soal-soal hilir yang risikonya kecil, dan tak berani mengambil tanggung jawab berdebat di soal-soal fundamental. Kita menyebut perubahan UUD 1945 yang disahkan pada 2002 itu sebagai “amandemen”. Coba bayangkan, betapa pengecutnya generasi yang telah memperjuangkan Reformasi itu. Ya, sekali lagi: PENGECUT!





Mereka, termasuk kita hari ini, menyebutnya sebagai “amandemen”, padahal perubahan yang dilakukan itu bersifat fundamental. Kenapa tak berani menyebut proses amandemen yang terjadi pada periode 1999-2002 itu sebagai “proses perumusan konstitusi baru”? Karena mereka adalah generasi kerdil, yang tak hendak memikul beban sejarah dari judul megah “perumusan konstitusi”.

Di hadapan tikungan sejarah, yang mungkin dalam hitungan beberapa tahun ke depan akan semakin jelas datang ke hadapan kita, pilihan manakah yang akan kita tempuh?

Kontestasi Pilpres 2014 lalu secara manipulatif akan menjebak kita hanya pada dua pilihan. Pertama adalah meneruskan saja jalan cacat-sistemik yang kini telah dan masih berlangsung; atau kedua, kembali lagi kepada UUD 1945.

Tapi benarkah hanya dua pilihan itu yang bisa kita tempuh?

Persis di sini kita harus bisa keluar dari kepicikan pikiran masing-masing. Soal politik, ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan tata negara kita bukan hanya soal Prabowo versus Jokowi. Bangsa Indonesia jauh lebih besar daripada sekat imajiner “pendukung Prabowo” dan “pendukung Jokowi”. Mensubordinatkan Indonesia hanya kepada dua figur itu jelas bukanlah produk pikiran yang matang dan dewasa. Hanya jika kita mampu melepaskan diri dari sekat sentimental itu, kita bisa menyusun pilihan lain.




Mungkinkah jalan lainnya adalah dengan membentuk kembali Konstituante, untuk merumuskan “konstitusi baru”?

Mestinya itulah yang kita pikirkan. Kemungkinan-kemungkinan membicarakan hal ini harus mulai kita buka, dan gagasan-gagasan yang akan dibahas terkait dengan itu mulai dipersiapkan. Itu sebabnya, energi intelektual kita seharusnya tidak dihabiskan untuk membahas soal Pilkada dan harga BBM, atau entah soal-soal hilir lainnya apalagi yang akan datang menyerbu esok pagi.

Tentu saja, ini baru lamunan saja. Berbeda dengan Dewan Konstituante dahulu yang juga membahas dasar negara, maka Konstituante yang baru hanya bekerja dalam koridor sebagaimana proses amandemen dahulu, dimana dasar negara, pembukaan, serta bentuk negara, serta sejumlah nilai dasar, tidak lagi diperdebatkan. Di situlah, dalam Konstituante, soal tata negara Indonesia ke depan akan dirumuskan ulang, dengan pemikiran dan logika sistemik yang lebih matang, koheren dan konsisten.

Saya membayangkan, agar menjadi representasi dari kepentingan rakyat, sekaligus keluar dari problem kronis yang diidap partai politik hari ini, Konstituante hanya 40 persen saja yang berasal dari partai politik, sementara sisanya direkrut dan dipilih dari anggota masyarakat, kaum cendekiawan, utusan organisasi keilmuan, keagamaan, perguruan tinggi, dengan mekanisme dan prosedur tertentu. Mungkin separuh dipilih, separuh lagi ditunjuk. Jadi, 40 persen perwakilan partai politik yang ada di parlemen, 30 persen dipilih oleh masyarakat non-partai, dan 30 persen adalah utusan-utusan.

Memang, cukup berat membayangkan itu. Terutama cukup berat untuk membayangkan ada dari generasi kita yang lahir dan dibesarkan dalam trauma rezim totalitarian sanggup diserahi tugas bukan sekadar menjadi pengamat, peneliti, aktivis, akademisi, atau politisi yang terbiasa asyik-masyuk pada isu-isu dan persoalan-persoalan yang temporal dan parsial, sekadar jadi man of public meeting yang terbiasa menggebrak meja dan menunjuk-nunjuk lawan bicara, melainkan untuk jadi negarawan perumus konstitusi yang sanggup berpikir jernih dan bijaksana.




Jika kita ingin mengambil tanggung jawab itu, maka sebelumnya kita harus bisa menjamin bahwa kita telah membaca sejarah negeri dan pemikiran para pendiri Republik ini dengan jernih, sanggup membaca perubahan zaman dengan cermat, serta telah menjadi individu otonom yang sanggup mendayagunakan akal budinya sendiri dengan arif, tak sekadar membebek pada pandangan orang lain. Tanpa itu, sebaiknya kita mengalihkan tugas itu kepada generasi yang akan datang, yang akan kita bina melalui sistem pendidikan nasional yang harus segera kita benahi.

Ah, saya kira, saya sudah melamun terlalu panjang.


Yogyakarta, 29 September 2014

TIKUNGAN DENG DAN GORBY



Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)


Pengujung dekade 1980-an merupakan periode penting bagi siapa saja yang tertarik belajar politik, terutama dalam kerangka bagaimana menimbang sebuah kebijakan politik dalam horison jangka panjang, tidak sekadar on the spot.


Tak ada negara yang menyedot begitu besar perhatian pada dekade itu selain dua raksasa Uni Soviet dan Cina. Keduanya sama-sama negara komunis tapi selalu mengambil jalan yang bersimpangan.


Satu dasawarsa itu perekonomian Cina menanjak pesat. Berbeda dengan para pemimpin sebelumnya, Deng Xiaoping membuka perekonomian Cina sehingga bisa berkembang, namun ia tetap mengunci rapat-rapat laci politiknya. Apa yang terjadi di Cina berkebalikan dengan Soviet. Di penghujung dekade itu, melalui Perestroika dan Glasnost a la Mikhail Gorbachev, Soviet mereformasi baik politik maupun perekonomiannya. Tak ada lagi negeri tirai besi.

Meski perkembangan ekonominya menarik perhatian dunia, Deng gagal mendapat simpati dunia. Ia kalah sembada dibanding Gorby yang banyak dipuja-puji, terutama di negeri-negeri Barat. Tragedi Tiananmen 1989, kita tahu, kemudian menjadi tapal batas antara Deng dan Gorby.

Ironisnya, meski banyak dipuja-puji warga dunia, dan kelak mendapat hadiah Nobel Perdamaian, Gorby gagal mengangkat Soviet yang sedang terpuruk. Reformasi politik dan ekonominya tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Dan sebagai pemimpin, di negerinya sendiri ia dianggap sebagai pecundang yang tak berwibawa.

Apa yang kemudian dipetik Cina dan Soviet?

Usaha reformasi ekonomi sembari tetap mengontrol ketat politik, meski tak populer di mata warga dunia, telah mengantarkan Cina menjadi negara adidaya di abad ini. Sementara, reformasi politik dan ekonomi yang dilakoni Soviet, yang dulu disanjung-sanjung itu, telah mengubur Soviet ke dalam laci sejarah. Negeri itu bubar justru ketika pemimpinnya sedang disanjung-sanjung dunia.

Apa yang dilupakan Gorby dan para demonstran Tiananmen, dengan segala hormat terhadap seluruh ikhtiar kemanusiaannya, adalah menganggap demokrasi bisa disulap. Mereka mengira transformasi politik dan ekonomi bisa dilakukan sekadar dengan mengubah prosedur. Padahal, transformasi sosial tak mungkin bisa dilakukan jika infrastrukturnya belum siap. Soal prosedur dan infrastruktur ini memang sering kali dipertukarkan, seolah keduanya memiliki hubungan substitusi.

Dalam skala yang lebih mikro, kesalahan serupa juga yang telah membuat kenapa Adi Sasono dulu gagal menjalankan agenda ekonomi kerakyatan ketika menjadi menteri koperasi dalam kabinet Habibie. Anggaran dan political will saja tidak cukup untuk memberdayakan ekonomi rakyat, tanpa terlebih dahulu menyiapkan infrastrukturnya. Program-program itu akhirnya berhenti bekerja begitu dana dan pejabatnya berhenti.

Menengok kembali tikungan yang pernah dilewati Deng dan Gorby, jika memperhatikan karakter rakyat Indonesia hari ini, kebanyakan rakyat kita pasti lebih memilih tikungan Gorby daripada Deng. Repotnya, meski memilih tikungan Gorby, mereka selalu ingin mendapatkan hasil yang diperoleh tikungannya Deng.

Ya, begitulah kita. Hipokrisi adalah kita!


Yogyakarta, 22 Agustus 2014