Oleh Tarli Nugroho
Peneliti Mubyarto Institute; Kepala P2M
(Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)
Pada akhirnya,
cepat atau lambat, sepertinya kita harus membuka kembali kotak pandora
Konstituante. Perdebatan politik yang berlangsung sejak Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden 2014 lalu, jika kita periksa anatominya, sepertinya akan menjadi
perdebatan tanpa ujung hingga bertahun-tahun ke depan. Ada beberapa sebab
kenapa semua perdebatan itu akan berakhir tanpa ujung, baik secara politik
maupun akademis.
Pertama, secara politik perdebatan itu
tidak pernah benar-benar hendak membangun konsensus (baru), sehingga tidak berusaha
mencari titik temu, melainkan sekadar menegaskan premis-premis dasar dari masing-masing
posisi awal.
Kedua, perdebatan itu terlalu diwarnai
oleh sentimen politik warisan Pilpres 2014, yang kebetulan memang telah membagi
perkubuan politik hanya jadi dua. Kentalnya sentimen tersebut telah membuat banyak
perdebatan penting jadi sulit untuk mencapai poin substansial, dan lebih banyak
terjebak di soal-soal atributif yang residual.
Ketiga, perdebatan yang terjadi, baik di
wilayah politik, hukum, ekonomi, maupun pendidikan, tiga dari beberapa topik
yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini, hanya terbatas pada
persoalan-persoalan di hilir, padahal persoalan-persoalan yang diperdebatkan tersebut
merupakan derivat dari persoalan-persoalan yang ada di hulu. Tentu saja, karena
hanya berkutat di hilir, sekeras apapun perdebatan itu tidak akan menyelesaikan
persoalan yang sesungguhnya.
Keempat, secara akademis perdebatan yang
terjadi terlalu didominasi oleh sudut pandang normatif dan behavioral. Sudut
pandang normatif mengandaikan bahwa segala urusan politik, hukum, ekonomi, tata
negara, bisa begitu saja dideduksi dari norma dan teori. Sementara, sudut
pandang behavioral hanya menghasilkan pesimisme, karena terlalu fokus pada
perilaku aktor dan lembaga politik yang dianggap dekaden.
Kombinasi dari
dua sudut pandang ini telah melahirkan bukan hanya pandangan skeptis, tapi juga
apatis, dan bahkan anarkis. Tak sedikit kalangan terdidik yang kemudian
menganggap bahwa sebaiknya semua lembaga politik dibubarkan saja. Perdebatan akhirnya
tidak pernah sampai ke soal substantif di hulu, karena orang kemudian jadi
kehabisan energi dalam perdebatan di hilir.
Dan kelima,
sebagai akibat dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai
politik, perdebatan politik yang terjadi sekarang ini tersebar luas kepada publik
sebagai individu, tak terkanalisasi di dalam institusi politik. Buntutnya, spektrum
perdebatan jadi terlalu luas, baik ideologi maupun kepentingannya. Dinamika politik
pun akhirnya bersifat dualistik, antara yang berlangsung di tengah masyarakat,
dengan yang terjadi di institusi politik formal, dimana pada masing-masingnya melibatkan
spektrum perbedaan yang luas.
Meskipun sebagian
kalangan akan sulit mengakui, ketegangan politik yang kini terjadi sebenarnya
bukan berakar di soal Pilpres 2014, melainkan berakar pada konstitusi “baru” hasil
amandemen. Setelah diamandemen empat kali, sistem tata negara kita, sebagaimana
diakui oleh sejumlah ahli tata negara, termasuk mereka yang terlibat dalam
proses amandemen itu sendiri, memang mengidap sejumlah persoalan sistemik. Jika
tidak diselesaikan, persoalan itu akan terus-menerus merongrong kita di masa
depan.
Apakah amandemen
kelima merupakan solusi?
Di tengah
kepercayaan publik yang semakin rendah pada partai politik dan pemerintah, agak
sulit membayangkan opsi ini. Lagi pula, lazimnya proses amandemen adalah
meneruskan perubahan-perubahan dasar yang telah ditetapkan di awal, dan bukan
mengkoreksinya secara fundamental.
Bagaimana dengan
kembali kepada UUD 1945?
Mengulang kembali
apa yang pernah dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mestinya
tidak lagi terbayangkan. Meskipun kita mungkin telah melakukan banyak kebodohan
dalam proses amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi, namun kembali lagi kepada UUD
1945 malah menunjukkan bahwa kita memang tak sanggup menjadi pewaris negeri yang
cakap, karena ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan fundamental harus terus-menerus
kembali ke pencapaian di masa lalu sebagai solusinya.
Persis di
situ kita mungkin harus membayangkan sesuatu yang pastinya tidak menyenangkan
dan memiliki beban sejarah tidak ringan: membuka kotak pandora Konstituante.
Kita tentu
tidak ingin menjadi seperti pernah disebut Hatta, kita hidup di zaman besar,
namun hanya menjadi generasi yang kerdil. Kita hanya berani berdebat di
soal-soal hilir yang risikonya kecil, dan tak berani mengambil tanggung jawab berdebat
di soal-soal fundamental. Kita menyebut perubahan UUD 1945 yang disahkan pada 2002
itu sebagai “amandemen”. Coba bayangkan, betapa pengecutnya generasi yang telah
memperjuangkan Reformasi itu. Ya, sekali lagi: PENGECUT!
Mereka,
termasuk kita hari ini, menyebutnya sebagai “amandemen”, padahal perubahan yang
dilakukan itu bersifat fundamental. Kenapa tak berani menyebut proses amandemen
yang terjadi pada periode 1999-2002 itu sebagai “proses perumusan konstitusi
baru”? Karena mereka adalah generasi kerdil, yang tak hendak memikul beban
sejarah dari judul megah “perumusan konstitusi”.
Di hadapan
tikungan sejarah, yang mungkin dalam hitungan beberapa tahun ke depan akan
semakin jelas datang ke hadapan kita, pilihan manakah yang akan kita tempuh?
Kontestasi Pilpres
2014 lalu secara manipulatif akan menjebak kita hanya pada dua pilihan. Pertama
adalah meneruskan saja jalan cacat-sistemik yang kini telah dan masih
berlangsung; atau kedua, kembali lagi kepada UUD 1945.
Tapi benarkah
hanya dua pilihan itu yang bisa kita tempuh?
Persis di
sini kita harus bisa keluar dari kepicikan pikiran masing-masing. Soal politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan tata negara kita bukan hanya soal
Prabowo versus Jokowi. Bangsa Indonesia jauh lebih besar daripada sekat
imajiner “pendukung Prabowo” dan “pendukung Jokowi”. Mensubordinatkan Indonesia
hanya kepada dua figur itu jelas bukanlah produk pikiran yang matang dan
dewasa. Hanya jika kita mampu melepaskan diri dari sekat sentimental itu, kita
bisa menyusun pilihan lain.
Mungkinkah jalan
lainnya adalah dengan membentuk kembali Konstituante, untuk merumuskan “konstitusi
baru”?
Mestinya itulah
yang kita pikirkan. Kemungkinan-kemungkinan membicarakan hal ini harus mulai
kita buka, dan gagasan-gagasan yang akan dibahas terkait dengan itu mulai
dipersiapkan. Itu sebabnya, energi intelektual kita seharusnya tidak dihabiskan
untuk membahas soal Pilkada dan harga BBM, atau entah soal-soal hilir lainnya
apalagi yang akan datang menyerbu esok pagi.
Tentu saja,
ini baru lamunan saja. Berbeda dengan Dewan Konstituante dahulu yang juga
membahas dasar negara, maka Konstituante yang baru hanya bekerja dalam koridor
sebagaimana proses amandemen dahulu, dimana dasar negara, pembukaan, serta
bentuk negara, serta sejumlah nilai dasar, tidak lagi diperdebatkan. Di situlah,
dalam Konstituante, soal tata negara Indonesia ke depan akan dirumuskan ulang,
dengan pemikiran dan logika sistemik yang lebih matang, koheren dan konsisten.
Saya membayangkan,
agar menjadi representasi dari kepentingan rakyat, sekaligus keluar dari
problem kronis yang diidap partai politik hari ini, Konstituante hanya 40
persen saja yang berasal dari partai politik, sementara sisanya direkrut dan
dipilih dari anggota masyarakat, kaum cendekiawan, utusan organisasi keilmuan,
keagamaan, perguruan tinggi, dengan mekanisme dan prosedur tertentu. Mungkin separuh
dipilih, separuh lagi ditunjuk. Jadi, 40 persen perwakilan partai politik yang
ada di parlemen, 30 persen dipilih oleh masyarakat non-partai, dan 30 persen
adalah utusan-utusan.
Memang,
cukup berat membayangkan itu. Terutama cukup berat untuk membayangkan ada dari
generasi kita yang lahir dan dibesarkan dalam trauma rezim totalitarian sanggup
diserahi tugas bukan sekadar menjadi pengamat, peneliti, aktivis, akademisi, atau
politisi yang terbiasa asyik-masyuk pada isu-isu dan persoalan-persoalan yang temporal
dan parsial, sekadar jadi man of public
meeting yang terbiasa menggebrak meja dan menunjuk-nunjuk lawan bicara, melainkan
untuk jadi negarawan perumus konstitusi yang sanggup berpikir jernih dan
bijaksana.
Jika kita
ingin mengambil tanggung jawab itu, maka sebelumnya kita harus bisa menjamin
bahwa kita telah membaca sejarah negeri dan pemikiran para pendiri Republik ini
dengan jernih, sanggup membaca perubahan zaman dengan cermat, serta telah menjadi
individu otonom yang sanggup mendayagunakan akal budinya sendiri dengan arif, tak sekadar membebek pada pandangan orang lain. Tanpa itu, sebaiknya
kita mengalihkan tugas itu kepada generasi yang akan datang, yang akan kita
bina melalui sistem pendidikan nasional yang harus segera kita benahi.
Ah, saya kira,
saya sudah melamun terlalu panjang.
Yogyakarta, 29 September 2014